Cerpen Hatmiati Masy’ud: Second Flower

23.29 Zian 0 Comments

“Tok…Tok…Tok!” Bunyi palu hakim seakan menghantam dinding pertahanan Irena hingga jebol dan membentuk aliran sungai di pipinya. Lelah memilih bahasa yang mampu mewakili selaksa perasaannya. Lara menerima kenyataan pahit yang harus dihadapinya, meskipun ini adalah putusan yang telah diperjuangkan dengan susah payah dan final dari perjuangannya memaknai hidup.
Cerai. Irena tafakur. Malam makin rebah dan sepi mulai menyulam dingin yang menggigit kulit, meninggalkan gigil sampai ke sum-sum. Perlahan Irena beranjak, kamarnya masih menyisakan kehangatan matahari sore, membungkus tubuh Irena dalam aroma merah jambu. Senyap sekali. Kesenyapan yang membius Irena dalam kilas kenangan dan mengajaknya dalam tidur tergelisah sepanjang hayatnya.
Irena tersenyum giris. Masih terekam jelas tatapan heran para hakim di pengadilan setelah membaca biodatanya sewaktu memasukan gugatan cerai. Heran, mengapa dia? Masih muda, menarik, jebolan magister sebuah PTN ternama, pintar, bahkan PNS di sebuah instansi pemerintah harus tersia-sia oleh seorang lelaki. Lelaki pengangguran, lelaki parasit yang justru terus-menerus menyakiti hatinya. Dengan nama cinta, lelaki itu tetap dipertahankan menjadi pendampingnya, meskipun hidupnya harus berbagi dengan tangis. Tetapi, lelaki itu juga yang memberinya seorang jagoan tampan, investasi masa depan yang dipunyainya. Mungkin, permata hatinya yang mengajarinya menjadi tangguh sehingga mampu bertahan dalam sebuah ikatan pernikahan amburadul selama bertahun-tahun.
Jam di dinding menunjukkan pukul 10.33 menit ketika Irena terbangun. Matahari telah membara, cahayanya memancar rata melumuri bumi. Irena tetap memaku diri di pembaringan. Tubuhnya lemah dan tak mampu beranjak, baru disadari bahwa dia alpa menunaikan hajat jasmaninya. Kesedihan, kenangan, dan kesepian telah menyedot tenaga dalam labirin sel-sel tubuh miliknya. Tak pantas sebenarnya dia mengeluh, bukankah tempaan membuatnya kuat dan makin liat. Tetapi, empat belas musim menempa diri dalam balutan nasib yang tak sempat hindari, telah meninggalkan jejak luka yang tak hilang begitu saja dilewati waktu.

Irena bolos ke kantor hari ini, padahal Pak Taufik, atasannya yang brilian itu pasti mencarinya, maklum dengan jabatan sekretaris, ketidakhadirannya pasti terekam dengan jelas. Tapi, tak sanggup Irena bekerja dengan kondisi tubuh seperti ini, sedangkan hatinya pun masih penuh lumuran duka. Dia takut dan tak kuasa, seandainya nanti air mata tak mau kompromi dengan keadaan, sementara pekerjaannya selalu menuntut kondisi prima. Sedangkan, dia masih berbenah menata hati dan pikirannya.
Menjelang sore, Irena mencoba memaksakan diri berjalan ke luar kamar. Mengambil air minum dan merasakan segar air melewati tenggorokannya. Melihat persediaan makanan yang dipunyainya. Akhirnya, sepiring mie goreng, telor ceplok, dan segelas teh manis hangat, menemaninya sore itu menghabiskan waktu. Meskipun minim gizi, makanan itu telah menyuplai kekuatan untuk tubuh, pikiran, dan jiwanya.
Senja merah tembaga. Cahayanya menyapu rumah mungil Irena, memberikan nuansa kuning gading tembaga tercerah sepanjang hidupnya. Irena telah mampu berdamai dengan hatinya, senyum manis menyeruak dari bibirnya. Di perumahan Griya Permai itu, hanya dia yang tinggal sendiri karena bocahnya memilih untuk ikut dengan kedua orang tuanya. Irena sadar betul bahwa dia rawan gosip dan akan menjadi buah bibir kalau sedikit saja dia salah bertindak.
Di penghujung usia dua puluhan, Irena memang tampil menawan. Tak keliru seandainya ada ibu-ibu yang rawan hati, mencemaskan kehadirannya di perumahan itu yang notabene dihuni oleh pasangan-pasangan muda usia. Para eksekutif muda yang sibuk wira-wiri di instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan asing di daerahnya. Sedangkan, istri-istri mereka adalah para wanita glamour yang sibuk dandan, pamer perhiasan, dan pakaian. Dan, tentu saja Irena berbeda dengan mereka. Irena, wanita karier yang cerdas, menarik, dan pintar berdebat memberikan nuansa berbeda dengan ibu-ibu muda di perumahan itu.
Kembalinya Irena dari studinya, perceraiannya, dan kehalusan budi pekertinya menjadi buah tutur menarik. Terkadang, sore menjelang malam, arisan, atau hanya sekedar beli sayur mayur, Irena menjadi pembicaraan tak habis-habis.
Irena, dia masih bisa menutup mata dan telinganya, seandainya sore itu teman sekantornya tidak menyinggung keadaanya.
“Ren! kamu merasa berat nggak dengan keadaanmu sekarang?” Julia, temannya akrabnya bertanya, lengkap dengan dialek ‘r’ yang cadel.
“Why? I think this is not big problem. This is my life. So, aku punya otoritas penuh di dalamnya.” Irena menyahut sekenanya. Dia sibuk mengetik surat-surat yang harus ditandatangani atasannya.
“Good, kalau begitu. Soalnya aku cemas dengan keadaanmu.”
“Memangnya ada apa?” Irena telah membereskan pekerjaannya. Jam sudah lebih 15 menit dari pukul 16.00 sore. Dia bersiap pulang. Julia menjejeri langkahnya menuju pintu. Julia nebeng Irena sore itu. Di pertigaan, di sebuah café, Irena menghentikan motornya. Dia kelaparan, jadilah lunchbreak sore itu sekaligus dinner yang terlalu cepat.
“Ayolah cerita? Ada apa? Soalnya, tidak biasanya kamu menanyakan keadaanku.” Irena menatap Julia yang sibuk dengan jus wortelnya.
“Ehm, gini Ren. Kamukan tahu, kalau keadaanmu rawan gosip.”
“Oh, itu aku sudah tahu.” Irena memotong.
“Bentar dulu, Non. Ini bukan sekedar gosip biasa. Soalnya yang suka menggosipkan biasanya para ibu. Tetapi, ini justru bapak-bapaknya.”
“Lho, serius Julia. Masa sih bapak-bapak yang menggosip aku. Yang benar aja. Memangnya mereka ngomong apa?” Irena nyerocos. Julia tersenyum menatap face sahabatnya yang kebingungan.
“Katanya kamu pernah diantar cowok malam-malam. Mungkin, sekitar pukul 22.00 malam. Mereka bilang kalau kamu mau nikah, nikah aja. Tidak usah pakai pamer pacaran atau apa gitu. Kalau nggak cowok itu bakal mereka kerjain.”
Irena melongo. Dia bingung. Otaknya tidak connect dengan berita yang baru saja disampaikan Julia.
“Masa sih? Di perumahan elit seperti itu, ada bapak-bapak yang sempat menggosip aku. Impossible. Terus pakai acara ngancam lagi.” Irena tertawa.
“Non, ini serius. Bukan sekedar gosip. Benar nggak kamu pernah diantar teman cowok?”
“Kalau itu benar. Yang ngantar Ferdian. Kebetulan dia baru dimutasi di sini. Jadi, tidak salahkan kalau aku menemani dia jalan-jalan. Itupun cuma satu kali, keluar malam dengannya. Masa harus disuruh nikah. Yang benar aja. Memangnya nikah semudah membalik telapak tangan. Mentang-mentang saya sendirian, terus mereka mau seenaknya menentukan hidupku.” Untaian kalimat panjang terlontar dari mulut Irena.
“Ferdian? Ferdian jangkung? Teman sekolah kita dulu? Jangan-jangan dia masih cinta denganmu?“
“Iya. Siapa lagi? Rupanya bapaknya yang memaksa dia pindah ke sini. Padahal, aku tahu kalau dia sudah betah di Malang. Cinta? Tak tahulah aku. Tetapi, ngomong-ngomong kamu utusan siapa agar menasehati aku?”
“Ah, nggak usah kamu pikirkan lagi, Ren. Mungkin mereka sirik aja. Tetapi, ada baiknya juga kalau itu menjadi modal buat instropeksi diri. Ayo, makan. kamu kan paling malas masak. Nanti kumat lho penyakitmu.” Julia menatap Irena yang sedang melamun.
Irena menatap makanannya. Dia kehilangan minat menyantapnya. Telah menguap rasa laparnya entah ke mana. Cuma jus tomat yang menjadi pengganjal perutnya.
“Udah selesai, Julia? Ayo, kuantar kamu pulang.” Irena beranjak ke kasir membayar makanan mereka. Sepanjang perjalanan pulang, Irena membisu. Sementara Julia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak terasa Julia telah sampai di rumahnya. Irena menolak diajak mampir. Dia ingin segera sampai di rumahnya. Memasuki komplek perumahannya, Irena menghela nafas panjang. Dia tahu, pasti akan jadi perhatian, soalnya menjelang malam seperti ini, mereka pasti lagi asyik ngumpul di luar. Memberi makan anak-anak atau hanya sekedar ngerumpi. Tepat seperti dugaannya, mereka sedang asyik bercengkrama di luar rumah. Irena memberi senyum sambil mengucapkan ‘permisi’.
Perumahan Griya Permai, pukul 10.00 pagi.
“Eh, tahu nggak. Aku sebel banget sama jandi di ujung blok itu. Sok cantiklah, sok pintarlah, sok sibuklah, kaya orang penting saja.” Desta, ibu muda yang baru punya anak satu itu, mulai melontarkan bola gosip sambil memilah-milah sayur yang akan dibelinya.
“Iya tuh. Aku juga sebel liat dia. Kemarin ketika lewat depan rumahku, masa sok ramah gitu. Pakai acara senyam-senyum segala. Dasar gatel! Padahal aku tahu, dia paling melakukan itu karena ada suamiku saja.” Emeli, ibu muda yang sudah tiga tahun menikah, tetapi belum punya momongan, nimbrung, menambah panas suasana.
“Kabarnya dia lagi cari-cari mangsa, lho!” Desta menyahut kembali.
“Makanya yang punya suami-suami cakep harus ekstra hati-hati. Siapa tahu jadi mangsanya.” Andini, seorang wanita awal empat puluhan yang masih sorangan wae itu turut ngomong. Yang lain tertawa cekikikan. Abang sayur geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu-ibu muda itu. Dia kenal betul dengan orang yang sedang mereka bicarakan. Ibu Iren, dia biasa menyapanya. Seorang perempuan baik hati yang sering membagi rezeki dengan mereka yang tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh.
Lapangan tenis Griya Permai, pukul 17.30 sore.
“Yudhi, gimana kabarnya second flower kita?” Gery bertanya pada Prayudhi yang sibuk ngelap keringat. Mereka berdua istirahat setelah bermain tenis 3 set langsung.
Yudhi tertawa mendengar pertanyaan Gery. Second flower itu istilah yang mereka pakai jika sedang membicarakan Irena, teman sekantornya.
“Makin cantik dan menarik. Jujur, aku heran dengan mantan suaminya. Bodoh betul orang itu, apa sih yang kurang dari Irena? Menarik, asyik diajak ngomong, dan agak manja. Kalau aku doyan banget sama dia. Sayangnya, perempuan seperti dia tak akan bersedia kalau jadi istri kedua.” Gery tersenyum mendengar ungkapan Yudhi. Tapi, dia sepakat dengan pendapat Yudhi tentang Irena. Dia juga suka dengan perempuan itu, dia tidak hanya menarik, tetapi juga cerdas. Gelar Magisternya diperoleh hanya dalam waktu 22 bulan. Bukan orang yang sekedar ikut-ikutan kuliah S2, kemudian memperoleh ijasah. Irena memang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Dia punya skill sekaligus inner beuty yang menawan.
“Dhi, kamukan sekantor dengan dia. Bagaimana sikapnya kalau di kantor?” Gery bertanya kembali.
“Wow, dia profesional banget. Perfect. Kerjaannya selalu beres. Pak Taufik sangat suka dengannya karena Irena mampu menghandle semua pekerjaan yang diberikan padanya.”
“By the way, dia udah punya gebetan belum ya?” Gery bertanya lagi.
“Gebetan? Maybe? Aku tidak terlalu tahu tentang hal itu. Tetapi, ada sih yang ngomong kalau dia suka jalan sama cowok. Tahu nggak, Ry, para bapak senang banget ngerumpiin dia. Kemarin kudengar malah ada yang mau ngerjain cowok yang pernah ngantar dia pulang malam-malam.”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Tahu? Mungkin naksir kali, Irena memang agak cuek sama bapak itu. Tapi, ngapain sih kamu nanya-nanya Irena terus dari tadi? Suka ya?” Yudhi balik bertanya dengan Gery.
“Suka? Iya kali. Tapi, nggak deh. Aku tidak selevel dengannya.” Gery berlalu dari tempat duduknya, Yudhi mengikutinya dari belakang.
Pukul 22.00 malam.
Irena memaku diri di tepi jendela. Sinar bulan temaram menyapu wajahnya. Menampilkan lukisan eksotis saat kilau airmata mengalir di pipinya. Irena meratap dalam bahasa purba anak manusia. Bahasa tanpa kata, tanpa suara, hanya senyap yang merajut benang-benang kepasrahan di hatinya. Mewartakan selaksa duka pada gemerisik angin yang berlalu, menebarkan ngilu yang tertinggal di pelataran sukma.
Pukul 7.30 pagi.
Irena bersiap berangkat ke kantor. Di belokan jalan dia berpapasan dengan Desta.
“Pagi, Bu Iren! Mau berangkat ya? Nggak dijemput nih?” Desta menyindir halus.
“Dijemput siapa, Bu? Saya terbiasa berangkat sendiri kok.” Sahut Irena.
“Lho, yang pernah jalan sama Ibu siapa? Saya pikir teman dekatnya Ibu.” Desta menyahut getas.
“Maaf Bu, saya harus cepat ke kantor, nanti terlambat.” Irena tidak menjawab pertanyaan Desta. Dia malas melayani topik pembicaraan yang disodorkan Desta.
Café Pojok pukul 14.00 siang
Dua gelas jus wortel terhidang di meja Irena dan Ferdian. Sementara senyap membungkus atmosfir di sekeliling mereka. Irena dan Ferdian memilih bercakap dengan pikiran masing-masing.
“Ren!” Suara Ferdian membuyarkan sunyi yang melingkupi mereka. Irena tersentak, ditatapnya Ferdian dengan sayu.
“Ren, tawaranku dulu masih berlaku. Perasaanku juga masih tak berubah, kamu pasti tahu itu. Tetapi, kamu punya waktu untuk memikirkannya. Aku tak mau memaksamu.”
Irena terdiam mendengar perkataan Ferdian. Dia mengerti apa yang dimaksudkan Ferdian. Dulu, Ferdian memang sangat gigih mendekatinya, tetapi Irena terlanjur jatuh cinta pada Ajie, mantan suaminya. Sekarang, ketika dia sendiri dan tersia-sia, Ferdian tetap menjaga cintanya dan menawarkan rasa itu padanya. Irena ingin menyambutnya, namun belitan logikanya tak mau menerima tawaran Ferdian.
“Fer, Irena berkata serak. “Kamu tahu aku, siapa aku, bagaimana aku. Masa sih kamu mau terlibat dalam alur hidupku yang begitu berliku. Kamu masih bujangan Fer, masih banyak punya pilihan, dan bukankah lebih baik kamu menikah dengan seorang gadis daripada denganku. Seandainya aku serupa kembang, wanginya sudah hilang, Fer. Masa kamu mau memetik dan meletakkannya di jambangan.”
“Ren, memangnya kamu bisa memesan untuk dilahirkan sebagai apa? Memesan untuk jatuh cinta kepada siapa? Memesan untuk menentukan takdir seperti apa? Memesan untuk menentukan jalur hidup sebagai apa? Tidak bisa Ren. Kita cuma manusia, tak akan mampu memesan garis takdir sendiri, waktu, dan juga tempat yang sesuai dengan keinginan kita. Bahkan, cinta pun tak akan bisa kita pesan kepada siapa kita akan memberikannya. Please…Ren! Apakah salah kalau aku jatuh cinta denganmu dan berniat membahagiakanmu. Apapun adanya dirimu, telah jauh-jauh hari kupersiapkan hatiku untuk menerimamu. Andaipun bisa kutulis guratan takdirku sendiri, pasti kutulis aku ingin bersama denganmu. Selamanya. Karena, aku mencintaimu, Ren.” Kalimat panjang berlomba keluar dari bibir Ferdian. Sarat dengan emosi. Irena terpaku.
“Beri aku waktu berpikir.” Pendek Irena menjawab.
Dua minggu yang lalu
Matahari sepenggalahan sibuk memetakan warna pelangi, membagi keindahan ke semesta raya. Sementara itu, Irena juga sibuk memilah-milah perasaan yang dipunyainya. Mencari simpul akhir dari putusan yang akan diambilnya. Berat memang memunguti serpihan hati yang tercecer, berulang menyusun dan menata, selalu saja ada yang tertinggal. Menyisakan aroma anyir darah duka masa lalu. Tetapi, matahari tidak pernah berhenti pada satu titik kulminasi, selalu bergerak dan berputar, itulah yang membuat Irena masih punya semangat untuk mendaur ulang hidupnya. Kini, memutuskan untuk menerima cinta Ferdian adalah hal terbaik yang pernah dilakukan Irena.
Hari ini, menjelang senja
Adalah semarak jingga yang tersisa di rumah Irena, menebar aroma kembang setaman yang meruap dari kamar pengantin, membius segala dimensi yang tertinggal. Irena cantik dalam balutan gaun tidur berenda biru. Menawan dalam temaram cahaya senja yang membungkusnya lewat kisi-kisi jendela. Ferdian terkesima. Adakah ini cuma mimpi.***

Sumber:
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1175685725806868

0 komentar: