Cerpen Hatmiati Masy’ud: Buaya Muara

23.35 Zian 0 Comments

Kampung Muara geger, Irwan, anak makelar tanah, mati disambar buaya ketika sedang mandi di sungai. Yang tersisa hanya onggokan baju yang tersampir di jamban lanting.
Mata Maradina serupa bara, lindap dalam kerangkeng. Dia gila, atau sengaja dibuat gila. Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan hanya menatap iba, sepiring nasi dengan sayur kangkung dan ikan asin tak sedikitpun disentuh oleh Maradina. Tubuhnya yang dulu sintal kini tinggal kulit pembalut tulang, kulit putih kuning yang dulu selalu dipuja setiap orang kini telah keriput, meskipun bukan dimakan usia, tetapi karena Maradina telah memutuskan gila.
“Makanlah Mara!” Suara ibu sepelan angin yang lewat di depan Mara.
Sekejap mata itu sayu, tetapi kembali menjadi bara. Baru Irwan, masih ada Salman, Jali, Ipan, Rusli, dan Darto. Namun Irwanlah, penyebabnya, jadi dia yang pertama.
“Mara, makanlah, ini spesial abang belikan untuk Mara.” Sebungkus nasi goreng dengan lauk ayam goreng menggugah selera. Mara memandang Irwan sepenuh cinta. Lelaki ini telah mengubah dunianya.
Irwan telah bertaruh dengan teman-temannya ketika dia baru kembali dari perantauan. Kembang kampung Muara, Maradina, teman masa kecilnya telah menjelma menjadi gadis jelita. Irwan bermain-main sejenak.

***


Maradina menatap bintang yang berpendar di gelap malam, saat ini bulan tak tampak secuil pun. Mara meratap dalam bahasa purba manusia, airmatanya menetes dalam sedu yang bahkan anginpun akan berhenti di dekatnya. Kerangkeng telah dibukanya, di sini, di tepi sungai Muara, Maradina berbicara dengan bahasa isyarat dengan makhluk hidup yang separuh tubuhnya berada di sungai. Mata makhluk itu juga berkabut. Mara memasukkan tangannya ke dalam mulut makhluk itu sepanjang siku, sejumput nasi kuning dan putih, ketan kuning dan putih, telur ayam kampung, dan pisang talas, telah lenyap ke mulut makhluk itu. Subuh kali ini ditemani hujan gerimis, Maradina meringkuk, sehelai tapih bahalai menyelimuti tubuhnya yang ringkih. Ibunya telah berdiri di depan kerangkeng, membuka kuncinya dan memapah Maradina ke dalam rumah. kali ini mata Maradina, begitu sayu. Maradina dibaringkan di sebuah tilam tipis tengah rumah, ibu dengan hati-hati menyeka tubuh anak gadisnya.
“Mara, makan ya, Nak.”
Maradina mengangguk. Dua sendok nasi putih dan segelas teh manis hangat melewati tenggorokan maradina. Lagi-lagi airmatanya menetes. Tiba-tiba, ketukan di pintu, sederas air hujan yang tumpah dari langit.
Ibu Mara tergopoh-gopoh membuka pintu, segerombolan warga telah ada di depan pintu.
“Bu, kerangkeng Mara telah terbuka, Maradina hilang.” Bertangguk-tangguk mata itu menatap ruang tengah di mana Maradina sedang duduk menghadapi nasi dan segelas air minum. Ibu diam tanpa suara.
“Ibu, mengapa Maradina dikeluarkan, apakah ibu tidak takut dia akan mengamuk seperti biasa?”
Mata Maradina berkilat, serupa berlian yang baru dibersihkan dari lumpur.
“Tidak, Pak, Bu. Maradina tidak mungkin mengamuk. Dia tidak gila.”
“Ibu harus bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dengan kampung Muara.” Suara itu mendengung.
“Semenjak anak ibu gila, hal-hal buruk selalu terjadi di kampung ini.” Ibu Maradina diam.
“Ibu harus masukkan lagi Maradina ke dalam kerangkeng, atau ibu dan anak ibu harus pergi dari kampung ini.” Suara itu mengguruh di telinga ibu. Belum lagi, segerombolan warga itu beranjak pergi, suara tawa melengking Maradina terdengar dari ruang tengah.
Mereka tersentak, sebagian laki-laki bergegas masuk, dan menyeret Maradina masuk ke dalam kerangkeng. Mata ibu berair.
Di sungai Muara, sehelai handuk dan perangkat sabun mandi terlempar dari lanting. Jali lenyap tanpa seorang pun tahu.

***

Sudah dua orang lenyap, sungai Muara mengalir tenang. Maradina tertidur dalam kerangkeng. Salman lewat, sepada motornya memekakkan telinga, mata Maradina terbuka sesaat. Salman singgah di samping kerangkeng Maradina. Sesaat ada silet yang terasa menggores hatinya, ditatapnya tubuh ringkih yang terbaring berbantal tangan.
“Mara, maukah kau memaafkanku?” Pelan suara Salman, Maradina menutup matanya serapat mungkin, namun airmatanya merembes juga. Salman menyentuh tangan Maradina. Salman berlalu dengan menunduk. Dua orang temannya telah hilang. Ada ketakutan dalam hatinya. Mereka berenam. Satu demi satu.

***

Kepala desa kampung muara memanggil warganya untuk mengadakan rapat. Saat ini telah berkumpul sekitar 50 orang.
“Jadi bagaimana Bapak, Ibu, kampung kita mulai tidak aman, sering sekali orang kampung melihat buaya menampakkan diri di sungai, bahkan pak Irwan salah satu warga kita kemarin menjadi korban buaya, dan kini pak Jali juga menghilang dan diduga juga dimakan buaya karena menurut istrinya dia pergi mandi ke sungai kemudian menghilang.”
“Pak, bagaimana kalau kita laporkan ke kepolisian saja.” Suara Haji Ridwan terdengar di tengah kerumunan.
“Iya Pak Haji, kemarin kita sudah sampaikan. Mungkin esok mereka sudah datang membantu untuk menangkap buaya itu. Kabarnya mereka akan membawa pawang buaya ke sini.”
Suara masyarakat mendengung, mereka berbicara bersamaan.
“Ini semua gara-gara gadis sial, Maradina itu. Usir mereka dari kampung kita!” Suara lantang Darto memecahkan kebisingan.
“Pak Darto, jangan sembarangan Pak. Kita semua tahu Maradina dalam kerangkeng dia telah gila dan itu terjadi setelah dia diperkosa ditepi hutan kampung kita. Apa daya perempuan yang sudah gila?”
Darto, lelaki berumur menjelang 30 tahun itu terdiam. Dia tak berani membantah perkataan Haji Ridwan.
Di dalam kerangkeng, Maradina berbisik serius.
“Ini harus secepatnya. Jangan lama-lama. Masih tersisa empat orang lagi.” Setelah itu, hanya geraman yang terdengar.
Kampung sunyi senyap, rapat berakhir tanpa keputusan jelas. Hanya masing-masing diwanti-wanti untuk tidak ke sungai, kalaupun harus ke sungai harus berteman atau ditemani orang lain.
Darto berjalan dengan Salman, mereka melewati kerangkeng Maradina yang diterangi dengan sebuah lampu teplok. Maradina sedang duduk, siluetnya bergerak di bayangan lampu. Salman melirik Darto, pikiran mereka sama.

***

Irwan memandang Maradina yang sedang lahap menyantap nasi goreng, sesaat kemudian, Maradina merasa lemas, matanya sangat mengantuk, buru-buru Irwan menggandeng Maradina dan membawanya ke dalam mobil. Melewati jalan-jalan kota kecamatan yang lengang dan memasuki desa Muara sampai ke ujung. Di hutan itulah, sekitar satu jam Irwan memandangi Maradina yang pulas tak berdaya. Sampai akhirnya dia memanggil kawan-kawannya dan mereka telah mengilirnya bergantian.

***

Salman dan Darto menghampiri kerangkeng tempat Maradina dikurung.
“Mara, maafkan kami. Kami bersalah. Jangan hukum kami, kasihanilah kami.” Suara Darto pelan. Maradina mendengus, matanya berkilat serupa bara. Darto bergidik, di belakangnya Salman merinding memandang siluet tubuh Mara yang bergerak serupa angin di bawah bayang-bayang lampu teplok.
Darto dan Salman berjalan beriiringang di jalan desa berada di tepian sungai. Di rimbunan pohon bambu, sepasang mata semerah saga menggeram. Makhluk sepanjang tujuh meter itu siap memangsa dua orang yang berjalan beriiringan. Teriakan minta tolong, terdengar menyayat hati di malam itu. Salman berlari sekuat tenaga. Darto telah lenyap bersama makhluk itu ke dalam air.

***

Pagi itu, segerombolan warga telah berada di tepi sungai, seorang pawang buaya dengan pakaian kuning telah siap di tepi sungai. Beberapa sesajen berada di depan pawang itu yang sedari tadi duduk bersila dengan mata terpejam dan mulut komat-kamit merapal mantra.
Sebuah perahu disiapkan. Mereka akan menyusuri sungai Muara untuk memancing agar buaya itu muncul ke permukaan. Tubuh pawang buaya sudah mandi keringat, berjam-jam menyusuri sungai, buaya yang dicari belum bertemu juga, akhirnya menjelang senja mereka kembali. Hari itu, pencarian telah gagal.
Di kerangkeng, Maradina bersidekap, kain kuning di tangannya telah basah oleh keringat. Dua cangkir kopi manis dan kopi pahit telah hilang baunya. Tubuh ringkihnya bergetar, namun masih tegak. Maradina perkasa dengan mata berkilat serupa pisau yang baru diasah.

***

Tiga orang, Salman, Jali, dan Rusli bersepakat pergi. Mereka akan meninggalkan kampung Muara. Meninggalkan sanak saudara dan handai taulan. Tak seorang pun mengerti alasan sebenarnya dari kepergian mereka. Mereka hanya mengatakan untuk mencari pekerjaan di kota karena di desa mereka huma-huma sudah terjual, kebun karet sudah habis dibabat untuk penambangan batu bara, sedangkan sungai, saat ini sudah penuh limbah sehingga ikan-ikannya pun enggan untuk berenang di situ.
Satu hari sebelum keberangkatan mereka, tiba-tiba jembatan yang menghubungkan jalan desa dengan desa seberangnya tanpa sebab runtuh, seperti ditarik oleh sebuah tronton besar. Untuk sementara penyeberangan melalui getek. Salman, Jali, dan Rusli tergetar. Mereka akan melalui sungai Muara. Namun, pawang buaya yang hadir di sungai Muara memberikan sepercik ketenangan.
Lanting berjalan pelan, tukang getek terus berpegangan pada tali untuk menarik getek sampai ke seberang. Sementara di tengah-tengah sungai, pawang buaya ditemani beberapa orang berada dalam perahu sambil terus memandangi sungai dan mencari-cari di mana gerangan buaya itu bersembunyi. Getek yang ditumpangi oleh Salman, Jali, dan Rusli bergoyang, lama-lama semakin keras, tiba-tiba lanting itu terbalik, Salman, Jali, dan Rusli terjatuh. Di dalam air, seekor makhluk raksasa telah siap. Tanpa sempat berteriak, Jali sudah masuk ke perutnya, sedangkan Rusli sempat berteriak minta tolong sebelum akhirnya hilang dengan air penuh darah. Salman menggigil melihat teman-temannya lenyap dari pandangan. Pawang buaya dan beberapa orang lainnya menarik tubuh Salman. Pawang buaya terus merapal mantra, sampai akhirnya makhluk berwujud buaya itu muncul ke permukaan. Buaya itu tunduk dan berenang ke tepian. Bersimbah keringat, buaya itu kemudian diikat. Pawang buaya menatap mata makhluk di depannya. Mata itu berkabut. Pawang buaya mengerti, ada luka yang membuat buaya ini memangsa manusia.

***

Malam gerhana bulan total. Gelap serupa gulita yang pekat. Maradina mendatangi pawang buaya.
“Mengapa Bapak menggangguku?”
Pawang buaya terdiam. Asap kemenyan menyesakkan nafas.
“Kau terlalu berlebihan.”
“Apa yang berlebihan, mereka yang membuatku begini. Mereka yang membuatku gila.” Pawang buaya tertunduk. Dia paham luka yang diderita Maradina.
“Jangan menggangguku, tugasku belum selesai. Kalau Bapak masih menggangguku, maka keluarga Bapak juga menjadi korban berikutnya.” Maradina menghilang. Buaya itu telah lepas dari kandang. Kembali ke sungai Muara.

***

Pagi dibuka dengan cahaya matahari yang sayup-sayup menyapu tubuh Maradina. Ibu menatap tubuh ringkih itu dengan iba. Sepiring nasi dan lauk telur sudah berada di depan maradina. Kopi pahit dan kopi manis juga telah tersedia.
“Anakku, tolongi akhiri semua ini. Kasihani ayahmu, nenekmu, mereka tidak suka kalau kamu melakukan ini semua.” Mata Maradina berbalur gerimis, kopi pahit dan kopi manis hanya dihirup aromanya. Nasi tak sedikitpun dilirik.
Dua tahun yang lalu, dengan pakaian compang camping, dan tubuh penuh luka, Maradina pulang ke rumahnya. Dengan tertatih-tatih menahan sakit, dia telah menghabiskan separuh malam untuk berjalan pulang. Tetapi, sakit di hatinya jauh lebih parah, sehingga sejak itu dia mengurung diri di kamar. Ketika ayahnya meninggal karena sakit hati akibat anak gadisnya dinodai. Maradina semakin meradang, sakit hatinya semakin lengkap, namun tetapi dikuncinya mulut rapat-rapat, biar pelaku ini dia sendiri yang membereskannya.
Suatu malam, Maradina membuka kamar ayahnya, sebuah kelambu kuning dipojok kamar telah menarik perhatiannya. Sebuah buku catatan kumal tulisan tangan ayahnya tentang ritual makhluk besar pelan-pelan dipelajarinya. Sejak itu Maradina mulai sengaja mengamuk tanpa sebab, sampai suatu ketika dia berlari ke sungai dan membawa potongan kelambu kuning. Seekor makhluk serupa cecak telah lahir hari itu. Maradina kemudian dikurung dalam sebuah kerangkeng karena dianggap membahayakan.

***

Salman kembali ke rumah. Rumah yang sepi karena ayah dan ibunya telah lama meninggal, sedangkan saudara-saudaranya sudah tinggal di tempat terpisah. Hanya Salman yang sendiri dan belum menikah. Dia sudah pasrah, malam ini dia hanya ingin berdoa kepada Yang Mahakuasa, semoga diberi keselamatan dan perlindungan.
Maradina mengigil dalam udara hangat tanpa sebab. Salman terus berdoa. Maradina semakin bersimbah keringat. Salman membentang sejadah, shalat malam, shalat terlama yang pernah dilakukannya. Maradina meringis, hulu hatinya seperti ditusuk sembilu. Salman berdoa dengan kekhusyukan yang nyata. Maradina terjerembab, dia terluka dalam. Salman mengakhiri doanya. Malam ini dia harus menemui Maradina.
Di kegelapan malam, Salman berjalan menuju rumah Maradina. Kerangkeng itu telah terbuka, Maradina sedang berdiri dengan separuh tubuh berada di sungai. Air bergelombang serupa samudera. Maradina tegak berdiri. Salman mengenalinya dengan sangat jelas.
“Mengapa datang kemari?” Suara Maradina terdengar getas.
“Mara, aku memohon ampunan darimu. Aku siap apapun hukuman yang akan kau berikan padaku.” Suara Salman.
“Kamu harus mati!”
“Aku tidak menyentuhmu.”
Maradina menggeram, “Tetapi kamu membiarkan aku dinodai, kamu bahkan tak menolongku. Kamu membiarkanku di hutan itu sendirian. Kamu sama dengan mereka!” Air tersibak, makhluk raksasa itu hanya beberapa meter dari tubuh Salman.
Salman hanya diam, dia pasrah. Makhluk itu pelan-pelan kembali ke sungai. Maradina meratap. Tangisannya menyayat malam. Kelepak kelelawar menyadarkan Salman, dipapahnya tubuh Maradina, gadis itu telah pingsan.
Salman sampai di depan rumah Maradina, ternyata ibu Maradina sudah berdiri di depan pintu menunggu. Maradina dibaringkan di tilam tengah rumah.
“Nak Salman, tinggallah di sini sampai subuh. Ibu mohon bantulah Maradina. Tak ada siapapun yang bisa ibu harapkan. Dia anak ibu satu-satunya.”
Salman duduk menyandar di dinding rumah. Ditatapnya Maradina yang masih pingsan. Ibu kemudian membuat kopi manis dan kopi pahit, ternyata aroma kopi menyadarkan Maradina. Mata Maradina berkilat menatap Salman.
“Anakku, ibu mohon, cukup Nak, cukup. Mari kita hapuskan segala dendam di hatimu.” Maradina bergeming.
“Ibu ingin arwah ayahmu tenang.” Lagi-lagi bulir bening itu menetes dari mata Maradina. Salman turut merasa hatinya perih.
Subuh datang lebih cepat dari biasanya. Suara azan di mushala terdengar jelas sampai di rumah Maradina. Gadis itu telah tertidur pulas setelah sadar dari pingsan. Salman beranjak pulang, tak ada lagi ketakutan di hatinya. Dia melangkah menuju mushala, menunaikan shalat subuh dan berdoa demi kesembuhan Maradina.
Pagi menjelang siang, kampung Muara mulai ramai, perbincangan dari warung ke warung hanya membahas tentang buaya yang terlepas, tentang pawang yang pulang dan tak mau lagi membantu menangkap buaya itu, juga tentang Maradina, gadis gila yang kini lemah tak berdaya.***

(sebuah cerpen yang dipersembahkan untuk para perempuan tangguh)

Sumber:
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1159890460719728

0 komentar: