Cerpen Hatmiati Masy’ud: Milah Pergi TKW

22.23 Zian 0 Comments

Bulan penuh, angin berhembus selemah lunglai, sesobek sepi membaur dalam resah yang basah. Gemerisik daun yang bergoyang seakan mewartakan ada duka yang terpendam dalam hati yang pilu.
Milah masih tersedu, kepergian suaminya sebulan yang lalu akibat kelotok terbalik menuju Paminggir masih menyisakan luka. Apalagi, suaminyalah yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Dari penghasilannya mencari ikan dapatlah mereka hidup, bahkan sempat pula menyisihkan untuk tabungan, agar anak mereka yang masih berusia 6 tahun tetap dapat sekolah. Namun, sandaran hidupnya itu telah pergi menghadap Yang Mahakuasa, entah bagaimana kehidupannya kelak.
Sesekali, angin mulai berhembus agak kencang, kilat menyambar, petir ikut meningkahi, sementara bulan telah lama bersembunyi. Milah beranjak mengambil air wudhu, kemudian menunaikan shalat 2 rakaat. Dia perlu menenangkan diri dan mencari jalan keluar dari persoalan yang dirasanya sangat rumit.
Di dapur, terdengar suara batuk bapaknya, rupanya beliau juga belum tidur, Milah melihat anaknya telah tertidur. Milah keluar kamar dan menuju dapur.
“Abah belum tidurkah?” Milah bertanya dengan bapaknya.
“Belum ngantuk Nak, Abah juga lagi nunggu ibumu.”

Milah tahu, ibunya lagi bekerja mencabut bulu-bulu ayam di tempat juragan ayam. Dada milah terasa perih, Dia sedih melihat ibunya yang harus bekerja membanting tulang, sementara penghasilan dari mencabut bulu ayam tidak seberapa karena mencabut bulu seekor ayam hanya dihargai Rp 500,00, ibunya paling banyak dapat mencabut 20 ekor ayam semalam. Sedangkan, kalau mencabut bulu itik dibayar Rp 1000,00 per ekor.
“Abah, sebaiknya tidur, biarlah Milah yang menunggu ibu.” Milah mengerti abahnya juga lelah, seharian menjadi buruh di ladang orang tentu saja menguras tenaga. Dilihatnya bapaknya semakin kurus dan mulai sering sakit-sakitan.
“Iya, Nak, abah tidur duluan.” Bapaknya beranjak menuju kamar. Tanpa disadari, airmata milah menetes, hidup dirasanya begitu berat. Sekilas dia teringat warti, sahabatnya yang baru pulang TKW. Dilihatnya, Warti sangat sukses, gelang, kalung, cincin, dan anting yang dipakainya menandakan kalau warti punya banyak duit. Ah, kalau itu dirinya, dia pasti tidak kesulitan membiayai anaknya Ibramsyah, membantu orang tuanya, dan memperbaiki rumah mereka yang mulai reot
Ah, Milah mendesah, khayalannya terlalu tinggi. Didengarnya lonceng berbunyi 1 kali, berarti sekarang sudah lewat tengah malam. Ibunya masih belum pulang. Milah berjalan menuju kamar, disingkainya kelambu, dilihatnya Ibram masih tertidur lelap.
Menjelang subuh, didengarnya ketukan di pintu, rupanya ibunya telah pulang.
“Ma, kenapa lambat sekali?”
“Oh, mama berusaha untuk mencabut bulu-bulu ayam lebih banyak. Malam tadi mama berhasil mencabut 20 ekor ayam, 5 ekor itik. Mama lelah sekali, mama mau shalat dulu, habis itu mau tidur.” Ibunya menyahut sambil berlalu menuju kamar. Milah menutup pintu rumah dan kembali ke kamarnya. Dia juga ingin menunaikan shalat subuh.

***

Pagi menjelang, Milah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Nasi putih, ikan asin, dan tumisan kangkung yang diambil di depan rumah menjadi pelengkap sarapan pagi hari itu.
Sehabis membereskan rumah, Milah duduk di teras rumah dengan kedua orang tuanya.
“Bah, Ma, Milah mau mencari pekerjaan.” Suara Milah memecah kebisuan.
“iya, tidak apa-apa kalau mau bekerja. Di mana?” Tanya bapaknya.
“Milah mau ikut TKW seperti Warti.” Milah menyahut pelan.
“Pergi TKW? Ke mana? Kamu kan tahu banyak sekali TKW yang bermasalah di luar sana. Ada yang diperkosa, disiksa, bahkan ada yang dihukum gantung. Kamu tidak takut?” suara bapaknya terdengar serak.
“Takut Bah, tapi mau bagaimana lagi. Di sini apa yang dapat Milah kerjakan. Sawah kita tidak punya, apalagi kebutuhan keuangan sangat mendesak.”
“Semua ini salah Abah, Milah. Seandainya abah tidak sakit dan masih dapat bekerja, kita tidak akan kesulitan seperti ini.” Abahnya terdengar mengeluh sambil menyalahkan diri sendiri.
Sementara ibunya, diam seribu bahasa. Hanya mukanya yang tampak begitu sedih.
“Tapi, seandainya kamu mau pergi juga, dengan apa kamu berangkat. Uang kita tidak punya, sedangkan mesti berhutang sudah tidak mungkin, hutang kita saja sudah banyak.”
“Milah ada emas Bah, dibelikan Kak Rahman dulu sebelum dia meninggal, 20 gram. Mungkin cukup untuk ongkos selama di penampungan, sedangkan untuk berangkat kata Warti sponsornya dia itu mau saja meminjami nanti dibayar setelah menerima gaji.”
“Sudah kamu Tanya dengan Warti?”
“Sudah Bah, bahkan berangkatnya juga nanti sama-sama dengan Warti.”
“Yah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu, abah dan mama hanya bisa mendoakan saja. Tapi, ke mana tujuanmu nanti?”
“Ke Malaysia saja Bah, supaya tidak terlalu jauh.” Sahut Milah.
Abah dan mamanya terdiam. Angin mulai berhembus agak kencang, cuaca yang tadinya cerah mulai berganti mendung. Gerimis mulai turun, Milah dan kedua orang tuanya masuk ke ruang tengah rumahnya. Milah kemudian menuju dapur mengambil ember untuk menampung air hujan yang menetes melalui atap rumah yang sudah bocor.

***

Seminggu kemudian, Milah mulai melengkapi berkas untuk membuat paspor, dia juga membuat NPWP atas permintaan Pak Badri selaku sponsor yang akan memberangkatkannya pergi TKW. Sementara itu, Ibram, anak Milah mulai agak rewel, sepertinya tahu kalau ibunya mau pergi. Milah hanya bisa bersedih melihat anaknya semata wayang yang mulai masuk sekolah, tak jarang dia juga menangis melihat Ibram. Apalagi waktu kepergiannya sudah dekat.

***

Malam itu, Menjelang berangkat, Milah merangkul erat mama dan abahnya, air matanya tak terbendung lagi, dia juga menenangis ketika melihat Ibram tertidur, anaknya itu sengaja tidak dibangunkan menjelang kepergiaanya. Akhirnya Milah pergi juga. Dia dan sponsornya, juga Warti naik pesawat pagi pukul 07.00 Wita. Karena itulah, dari rumah mereka di Telaga Silaba, Amuntai, mereka berangkat pukul 01.00 Wita dinihari. Perjalanan dari Amuntai ke Bandara Syamsuddin Noor ditempuh kurang lebih 3 jam. Sepanjang jalan itu, Milah memejamkan mata tanpa tertidur, dia tak henti-hentinya berdoa agar dilindungi dan diberkahi.

***

Perjalanan naik pesawat adalah pengalaman pertama bagi Milah, rasa gugup, takut, dan juga mual menemani perjalanannya. Untunglah, Warti sangat baik padanya. Dia selalu menghibur Milah, kadang-kadang juga mencandainya, sehingga perjalanannya itu dapat dilewatinya. Sesampai di Jakarta, Milah seperti orang linglung, kota asing itu begitu hiruk pikuk, macet, dan penuh gedung-gedung pencakar langit. Hari itu, Jakarta diselimuti mendung, perjalanan menuju tempat penampungan begitu lama, apalagi di beberapa tempat juga terjadi banjir, sehingga menambah lama perjalanan. Milah termangu.

***

Sebulan kemudian, Milah berangkat menuju Malaysia. Kabar itu sampai kepada orang tuanya melalui surat yang Milah titipkan pada sponsornya.

Berbulan-Bulan Kemudian Setelah Itu
Tepatnya 7 bulan setelah keberangkatan Milah, sepucuk surat datang ke rumah orang tua Milah. Surat yang dinanti orang tua Milah dan anaknya sepanjang waktu. Surat yang kemudian dengan cepat dibuka Ibram dan dibacanya dengan suara terpatah-patah.

Kuala Lumpur, 23 Rajab 1431 H
Abah dan Mama tersayang
Dan anakku Ibram terkasih
Assalamualaikum, wr, wb
Alhamdulillah, Milah sehat-sehat saja. Semoga abah, mama, dan Ibram juga dilindungi Allah SWT.
Milah hanya dapat mengirimkan surat ini, sedangkan gaji Milah belum dibayar sampai saat ini.
Hanya ini yang dapat Milah tulis. Wasalam
Milah

Surat itu terjatuh di tangan Ibram, hati kecilnya bergetar, seakan sesuatu terjadi pada mamanya. Abah Milah yang sedang sakit dan tak bisa bangun lagi dari tempat tidur juga terdiam. Surat yang ditulis Milah tak ada alamat jelas, hanya nama kotanya. Surat itu juga penuh dengan noda, seperti tetesan air mata, dan ditulis dengan tergesa-gesa. Milah, apa yang terjadi padamu?

Setahun Kemudian
Kali ini, kabar datang melalui Warti yang pulang lebih cepat. Katanya dia ada bertemu Milah sekitar empat bulan yang lalu. Waktu itu Milah terlihat kurus dan tergesa-gesa mengikuti majikannya di salah satu mall di Kuala Lumpur, mereka tidak sempat bercakap-cakap dan dapat saling pandang dari kejauhan.

Seminggu Setelahnya
Di televisi, breaking news, seorang TKW Indonesia tewas setelah terjatuh dari sebuah apartemen lantai 15, saat menjemur pakaian. Tak diketahui secara jelas apa yang menjadi penyebab jatuhnya TKW itu. Dan saat ini masih dalam penyelidikan. Demikian yang disampaikan oleh pembaca berita di televisi.

***

Malam rebah sekenanya, kemudian berlalu menjeput fajar. Abah Milah terbaring lemah di tempat tidur, mimpinya menjelang tengah malam tadi sungguh menggetarkan hari. Milah datang padanya, berpakaian putih bersih, hanya menatap, tanpa bicara, airmatanya luruh satu-satu dipipinya yang tirus. Pucat sekali Milah yang hadir di mimpinya. Petanda apakah ini? Mengapa Milah datang tanpa bicara.
Seminggu Setelah Breaking News
Petugas KBRI ditemani aparat kepolisian datang ke rumah Milah, menyampaikan berita bahwa Milah meninggal karena terjatuh dari apartemen tempatnya bekerja. Seluruh biaya kepulangan jenazah Milah akan ditanggung oleh pemerintah Indonesia, termasuk pembayaran gaji Milah yang sampai saat ini belum dibayarkan. Akan diserahkan oleh majikan Milah yang sampai detik ini masih menjalani pemeriksaan di Kuala Lumpur.

***

Ibu Milah yang mendengar langsung berita itu hanya terdiam, hanya air mata yang jatuh tanpa isak tangis. Ibram, anak Milah, meraung, menangis kencang, tetangga-tetangga Milah juga turut besedih, Mereka menangis bersahut-sahutan. Sementara itu, abah milah tak henti berzikir dari tempat tidurnya. Hatinya sungguh nelangsa, teriris, tetapi agamanya tak membiarkannya untuk meratapi kepergian anaknya, belahan jiwa satu-satunya, harapan hari tuanya. Milah telah pergi untuk selama-lamanya.***

Amuntai, 1 Maret 2013

Sumber:
https://www.facebook.com/hatmiati/posts/1408012869240818

0 komentar: