Cerpen Hatmiati Masy’ud: Tak Seindah Harapan
Udin bergegas, hari ini adalah hari terakhir pengumpulan berkas calon anggota legislatif. Ketua Partai Maju Bersama sudah beberapa kali menelponnya, agar segera melengkapi berkas pencalonannya. Udin masih ragu-ragu, tetapi hari ini tekadnya telah bulat. Dia ingin berpartisipasi dalam pembangunan di wilayahnya melalui anggota dewan yang terhormat.Matahari sudah seujung tombak jaraknya, panasnya masih hangat-hangat kuku. Udin masuk ke kantor Partai Maju Bersama dan langsung menuju ruangan ketua. Berkas yang dimasukan ke dalam kantong plastik terasa lumayan berat.
“Pak Udin, bagaimana? Sudah beres berkasnya?” Ketua bertanya sambil menatap Pak Udin yang terlihat masih kelelahan.
Nafas Udin masih kembang kempis, pertanyaan ketua partai hanya dijawabnya dengan anggukan.
“Uangnya juga sudah disiapkan?” Lagi-lagi Udin mengangguk. Diserahkannya amplop cokelat, berisi uang tunai sepuluh juta rupiah. Uang hasil pinjaman isterinya dari koperasi sekolah, maklum saja untuk meminjam ke bank sudah tidak mungkin. Udin beruntung, istrinya yang bekerja sebagai guru SD itu masih mau membantunya, mau mencarikan pinjaman uang untuknya. kalau tidak, Udin tak akan bisa maju sebagai calon dari partanya. Partai tempatnya bernaung telah mensyaratkan bahwa setiap calon yang ingin maju melalui partai mereka harus menyetor sejumlah dana untuk keperluan partai dan anggota.
Ketua Partai Maju Bersama menganbil amplop cokelat itu dan memasukannya ke laci meja. Kemudian mengambil berkas yang diserahkan Pak Udin.
“Berkas ini akan diverifikasi oleh KPU Pak Udin. Apakan sudah dicek oleh Pak Udin seluruhnya?”
“Sudah, Pak. Semua sudah lengkap.” Pak Udin menyahut dengan cepat.
“Pokoknya Pak Udin, partai akan mengupayakan supaya Bapak berhasil mendapatkan kursi dan duduk di dewan yang terhormat agar dapat menyalurkan aspirasi politik kita, juga dapat menyalurkan aspirasi masyarakat. Uang dari Pak Udin ini juga kita gunakan untuk biaya pemenangan dari dapil 3, di mana Pak Udin sebagai salah satu calon. Mulai sekarang Pak Udin juga harus bergerak, bergerilya di masyarakat. Dekati masyarakat, lakukan semaksimal mungkin, beri janji-janji agar mereka mau memilih Bapak.” Ketua memberikan wejangan kepada Pak Udin.
Udin hanya mengangguk-angguk, didengarkannya dengan takzim apa yang disampaikan ketua partai. Udin merasa sebentar lagi dia akan menduduki kursi dewan yang terhormat.
“Sekarang Pak Udin, berkas ini sudah saya cek ulang dan silakan diantar ke kantor KPU kabupaten. Selebihnya kalau ada informasi terbaru, Pak Udin akan dihubungi. Yang penting, Pak Udin juga proaktif dan sering-sering datang ke kantor partai.” Ketua partai menyerahkan berkas yang baru saja dibolak-balik begitu saja.
“Iya, Pak. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi mau ke kantor KPU kabupaten.” Udin berjalan dengan gontai, perutnya keroncongan, pagi tadi belum sempat sarapan, tetapi dia harus cepat ke kantor KPU. Sesampainya di sana, Pak Udin ditemui ketua KPU, berkas itu kemudian diserahkan.
“Pak Udin, berkas bapak sudah lengkap, tinggal menunggu hari-H saja.” Ketua KPU tersenyum menatap Pak Udin yang manggut-manggut.
“Pak Udin harus semangat menghadapi pemilu ini, jangan seperti orang kehabisan semangat.” Ketua KPU kembali berbicara saat melihat Pak Udin yang manggut-manggut tak jelas.
Sepulang dari KPU, Udin merasa perutnya sudah luar biasa lapar. Warung murah meriah di samping kantor KPU menjadi tujuannya. Sepiring nasi sop dan teh es manis menemani makan paginya yang sudah kesiangan. Udin merogoh saku celana, selembar sepuluh ribuan dan lima ribuan teraba olehnya, untunglah uang itu cukup untuk membayar makanannya. Udin meringis, uangnya sudah habis. Ludes tak tersisa.
Malam menjelang, Udin duduk di ruang tamu. Malam ini, sesama anggota Partai Maju Bersama akan bertemu di rumahnya. Menjelang pukul 21.00 wita beberapa temannya sudah datang. Obrolan berlangsung sampai jam 02.00 subuh. Mereka sibuk menyusun strategi pemenangan di setiap dapil yang ada calon Partai Maju Bersama. Teh, kopi, dan pisang goreng yang disajikan istri Udin menjadi sajian yang tak bertahan lama. Semua sudah masuk ke perut masing-masing, rupanya mereka kelaparan.
Udin tersenyum, terbayang dalam benaknya, bagaimana gagahnya dia memakai jas dan dasi ketika pelantikan anggota dewan yang terhormat. Senyum itu terbawa sampai ke mimpi. Udin bangun kesiangan.
Tiga hari menjelang hari-H, makin banyak orang berkunjung ke rumah Udin, padahal itu sudah masa tenang. Tak boleh ada kampanye atau apapun yang bersinggungan dengan pengerahan masa yang berkaitan dengan pemilu. Tetapi Udin tidak peduli karena tak mungkin menolak orang yang bertamu.
TV 29 inci, milik Udin sudah berpindah ke poskamling depan rumahnya, parabola diambil oleh RT tetangga. Satu demi satu barang di rumah Udin berpindah ke tempat lain. Tetapi, tak sedikitpun Udin marah atau kesal, dia malah bangga, membayangkan masyarakat menyukainya. Hanya kadang-kadang, telinganya panas mendengar sindiran istrinya. apalagi dua orang anaknya yang protes karena tidak bisa menonton TV lagi. Susah payah, Udin membujuk istri dan anaknya agar bersabar, nanti kalau dia terpilih, apa saja akan dia belikan. Istrinya cuma mencibir.
“Iya kalau terpilih, kalau tidak? Bapak itu tidak sadar ya, kalau selama ini orang kurang menyukai Bapak. Mana pernah Bapak bermasyarakat. Setiap kali orang kawinan atau selamatan, Bapak selalu tidak hadir, alasan sakitlah, sibuklah, atau apalah. Apalagi shalat berjamaan di mushala, kapan Bapak sempat?”
“Ibu ini bagaimana? Suami itu harus didukung.”
"Lho, tidak mendukung bagaimana? Uang simpanan sudah habis, uang koperasi juga bapak pakai, gelang, kalung, semua sudah pindah ke pegadaian. Ibu cuma mengingatkan saja, agar Bapak itu sadar.”
Udin diam, tak lagi menyahut perkataan istrinya. Dia sadar apa yang dikatakan istrinya itu benar, tak mungkin dia membantah.
Dua hari mendekati hari-H, seluruh calon dari partai politik ribut, tiba-tiba saja ada peraturan terbaru yang menyatakan bahwa calon terpilih adalah calon dengan suara terbanyak, dengan catatan partai berhasil meraih kursi pada dapil tersebut. Aturan ini jelas mengubah peta politik di setiap partai, artinya nomor satu belum tentu terpilih kalau tidak meraih suara terbanyak. Itu pun dengan catatan partai memperoleh kursi di dapil tersebut.
Udin juga gundah, meskipun dia berada pada nomor urut 2 di dapil 3, tetap saja ketar-ketir kalau berdasarkan suara terbanyak. Dia membanyangkan perkataan istrinya, jangan-jangan benar masyarakat tidak suka dengannya. Kalau begitu tidak berguna dia berada pada nomor urut 2. Namun dihiburnya hatinya, masyarakat pasti suka dengannya. Segala keinginan masyarakat sudah diturutinya, satu saja yang belum bisa dilakukan yaitu memperbaiki jalan gang yang sudah rusak karena dia sudah tidak punya uang lagi.
Hari-H tiba, pagi-pagi Udin sudah bersiap. Nasi goreng yang disajikan istrinya hanya disantapnya sedikit, perutnya terasa kenyang. Pukul 07.00 wita tepat, Udin berangkat ke TPS didampingi istrinya. Dengan senyum sumringah, Udin dan istrinya menyapa para petugas dan masyarakat yang juga menggunakan hak pilihnya.
Udin dan istrinya langsung diberi kartu suara dan mencoblos ke dalam bilik. Setelahnya, Udin berbincang-bincang sebentar kemudian langsung kembali ke rumah.
Menjelang siang, Udin dan teman-temannya satu partai berkeliling di setiap dapil di daerah pemilihan. Menjelang sore, hampir bisa dipastikan suara Udin berada di posisi ketiga. Udin sumringah, masih ada kesempatan suaranya bertambah karena perhitungan manual KPU belum disampaikan. Udin bersiul-siul kegirangan menuju rumahnya. Dalam pikirannya, dia sudah pasti menjadi anggota dewan yang terhormat.
Akhirnya finalisasi perhitungan suara manual KPU diumumkan, rekap hasil disampaikan dalam rapat pleno terbuka. Udin termangu, partainya hanya mendapat satu kursi pada dapil 3 dan itu artinya dia tidak terpilih karena sampai akhir jumlah perolehan suaranya tetap di posisi ketiga.
Mata Udin berkunang-kunang, terbayang petuah mertuanya, “ Kada usah umpat bapolitik Din ai, mangalihi.” Terbayang pula kemarahan istrinya, hutang yang menumpuk, barang yang tergadai. Udin pingsan.***
6 April 2013
0 komentar: