Cerpen Kayla Untara: Narasi Kelam Gadis Bernama Mirna

01.07 Zian 0 Comments

Mata itu keruh. Sesekali memancar kemilau. Bukan bola matanya, tetapi tetesan bening yang terkadang luruh karena pantulan cahaya yang menyentuh lembut sebagian wajah tuanya, sisa keindahan masa remaja. Pandangannya menerawang memandang lambaian daun pohon karsen yang sengaja ditanamnya puluhan tahun yang lalu. Sesekali terpejam dengan pelan sekali. Dedaunan itu terkadang sebagian ikut luruh bersama air matanya. Rupanya kelindan kelam masa silam masih merenda dan menyabak dalam benak. Sedang matahari senja berwarna pucat jingga bermula menggincui petang. Bersiap meniti malam.
Di beranda ini, tikuan waktu serasa bergerak pelan sekali. Kepak burung berusaha kembali ke sarang menyinggung muram. Usia telah memangsa fisiknya hingga kini tubuhnya ditopang oleh kursi beroda. Dibiarkannya udara lembut menyapu wajahnya yang penuh garis-garis keriput, jejak-jejak masa lalu. Barangkali sapuan angin itu sengaja dicoba diresapinya sembari berharap mampu menyejukkan panasnya ajang pertarungan pikiran yang berkelebatan antara keinginan untuk mengingat atau melupakan. Yakinlah bahwa pertempuran semacam itu menyiksa sekali. Terlebih ketika keinginan – tepatnya sebuah keterpaksaan – untuk mengingat akhirnya menjadi pemenangnya. Air matanya kembali menyabak.

***



Hari masih pagi. Suasana pasar Kandangan mulai menggeliat dengan kesibukan pedagang. Meski pengunjung pasar belum ramai, tetapi geliat itu sudah begitu terasa. Lapak-lapak jualan mulai di gelar. Bakul(1) dan lanjung(2) berbagi jatah dengan calon pembeli karena sebagian besar diletakan menyisi jalan pasar. Juga karung beras dan bawang. Borneo Shimboen(3) sudah mulai dijajakan oleh loper koran. Kepulan asap dari tungku dapur padagang apam batil(4) mengepung hidung, menggugah selera. Beberapa kempetai(5), polisi milter Dai Nippon, terlihat mulai bergerak menuju halaman kantor Ken Kanrikan(6) untuk melaksanakan seikeirei(7) yang memang menjadi kewajiban pagi mereka. Suasana yang tak jauh berbeda dari hari biasa. Aku pun melakukan hal rutin pula, membawa gula merah hasil olahan uma(8) yang kujajakan keliling pasar.
Bersepeda dari Angkinang, sebuah kampung yang berjarak kira-kira delapan kilometer dari kota Kandangan, menuju pasar Kandangan dengan beban yang tidak ringan, jadi rutinitas mingguanku. Abah seorang petani biasa, terkadang menyadap nira untuk dibuat gula merah. Barangkali, karena pengetahuannya tentang agama hasil timbaan dari sebuah pondok pesantren di Martapura selama enam tahun – atau kurang dari itu, aku lupa – menjadikannya orang yang dituakan. Setidaknya, selain didaulat menjadi imam langgar(9), beliaulah yang saban habis magrib mengajarkan tadarrus Al-Qur’an di langgar kampungku. Beberapa kali juga memberikan rajah(10) kepada kepada pemuda yang akan bergabung dalam kelompok pergerakan sebagai tambahan modal kekuatan bathin. Umurku barangkali mendekati enam belas tahun, setidaknya itu menurut uma suatu hari. Tak pasti, sebab kelahiranku hanya ditandai oleh sebatang pohon sawo yang ditanam abah dekat kubur tambuni(11)ku. Apalah arti bilangan usia jika hidup dalam cengkraman kuku jadah bernama penjajahan. Umaku adalah malaikat, setidaknya bagiku. Meski rumah yang kami tempati bersama dengan dua adik lelakiku tak layak disebut rumah, tetapi uma-lah yang membuat rumah terasa sebuah istana di tengah-tengah kecemasan akan kebiadaban kempetai. Dia adalah wanita sempurna buatku, malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untukku, barangkali juga buat abah dan adik-adik.
Sejak Jepang mengusir Belanda kemudian mengambil alih kota Kandangan beberapa bulan yang lalu, bukannya menghembuskan ketentraman, justru sekadar mengalihkan penderitaan ke penderitaan yang lain, bahkan lebih menyakitkan. Keberadaan serdadu Dai Nippon tak ubahnya sebuah terror baru yang melingkupi sendi kehidupan. Memang, pada mula kehadiran mereka – Jepang, seakan memberikan pelita baru yang akan mengubur kelamnya masa tatkala Belanda menginjak dan membelenggu sesuatu yang bernama kemerdekaan dan kebebasan. Tetapi apa lacur, harapan itu sekejap sirna. Mereka justru membawa kembali ke dalam masa kekelaman baru yang jauh lebih menyeramkan.
Hanya hitungan hari, perilaku biadap mereka pertontonkan. Apalagi sejak Kaigun(12) mengambil alih kekuatan. Penyitaan dan perampasan harta milik penduduk gencar dilakukan dengan alasan untuk membantu pemerintah dan tentara Dai Nippon. Beras mereka rampas, harta mereka sita, jika perlu, nyawa mereka renggut paksa. Seringkali, perampasan itu di iringi oleh jerit tertahan tatkala pedang samurai diselendangkan ke leher mereka yang mencoba mempertahankan hartanya. Insiden berdarah acapkali terjadi, lebih banyak tanpa perlawanan yang berarti.
Suasana pasar, seiring meningginya matahari, terasa semakin ramai. Tidak menunggu waktu lama, gula merah telah habis kujual. Sebenarnya aku bukan betul-betul menjajakan, karena sudah punya langganan pembeli yang sudah menunggu. Sesuai pesan abah dan uma, tiap kali selesai atau gula habis kujual, aku mesti segera pulang. “Jangan terlalu lama di luar rumah, Mirna. Buat gadis turun mayang(13) seperti kau, pamali...” nasehat uma saban hari. Aku pun mulai mengayuh sepeda pancal, pulang.
Nampaknya udara hari ini begitu nyaman. Matahari seakan enggan menampakkan wajah terlalu lama, lebih sering bersembunyi di balik arakan awan-awan. Beberapa kempetai berpatroli di sekitar lingkungan pasar. Begitu melalui bangunan besar yang kutahu kantor redaksi Borneo Shimboen, kulihat beberapa orang sedang asyik ngobrol. Mereka sempat melabuhkan pandangan padaku, setelah itu kembali asyik bicara. Aku meneruskan perjalanan. Di depanku, agak jauh, kulihat segerombol tentara Jepang sedang berkumpul, mereka tertawa-tawa. Tiba-tiba aku disergap perasaan was-was dan keraguan, tetapi aku tetap mengayuh sepeda berusaha mengenyampingkan perasaan yang tiba-tiba menyergap dengan cara aneh itu.
“Hei, berhenti-re!” Tegur salah seorang kempetai itu mencoba menghentikan kayuhan kakiku. Ada sesuatu yang mendesap ke tubuhku, dingin. Aku berhenti.
“Hei! Mau kemana-re?” ujarnya diiringi senyuman menjijikan dan sebagian kawannya berbicara dengan bahasa Jepang yang jelas tak kumengerti. Mereka mendekat, kemudian terkekeh.
“Mau kemana kamu, cantik?” ulangnya dengan tatap mata kurang ajar.
Aku sedikit ragu, juga gugup. “Mau pulang, masta…” jawabku. Mereka saling pandang, kemudian kembali menyeringai.
“Siapa namamu-re? Apakah kau mau mengabdi kepada Jepang, heh?” serdadu yang lain bertanya.
“…eee… Mirna, tuan. Apa maksud tuan mengabdi?” Aku betul-betul tak faham. Tampak wajah mereka memerah.
Tak banyak bicara salah seorang kempetai itu mencengkram sebelah tanganku. Aku berontak. Tetapi kekuatanku tak sebanding dengan mereka. Apalagi kemudian serdadu yang lain juga ikut memegang tanganku yang lain. Aku tak mampu berbuat banyak. Mereka menyeretku ke dalam jeep terbuka. Kemudian jeep itu menderu, melaju entah kemana. Sempat kulihat, sepedaku mereka juga bawa. Mulutku dibekap, kemudian kegelapan mengelambuiku.
Masih dalam keadaan lemas akibat bekapan tangan kasar, aku mulai melihat titik cahaya menembus bola mataku. Aku mencoba berdiri, tak sadar tangan serta kakiku ternyata dalam keadaan terikat. Mulutku penuh dengan sumpalan kain. Tubuhku masih terbaring. Aku berusaha menenangkan diri. Nampaknya aku berada di dalam sebuah tenda. Mataku masih liar berusaha menyusur sudut-sudut sekelilingku.  Tiba-tiba, wajah abah dan uma membayang dalam pelupuk mata. Dengan lirih, di antara sumpalan kain di mulutku, aku memangil mereka.
Uma…, Abah…”. Tangisku merebak.
“Hei, sudah sadar rupanya-re…!” Sebuah suara menghentikan isakanku.
Kemudian suara itu berganti dengan pembicaraan berbahasa Jepang. Setelah ikatan tali di kakiku mereka lepaskan, dua orang kempetai membopongku keluar dari tenda untuk menuju ke tenda lainnya. Aku sadar, saat ini aku disekap di suatu barak tentara Jepang. Dengan tangan masih terikat, tubuhku mereka hempaskan ke sebuah dipan kecil, pakaianku dilucuti. Inilah kali pertama aku merasa seakan dunia di hadapanku telah hancur berkeping-keping. Tangisku pecah, aku mencoba berontak dengan sisa tenaga, meski aku tahu itu semua sia-sia belaka.
“Diam kamu!” hardik seorang dari mereka. “Jika kau ingin nadimu tetap berdenyut, hentikan perlawanan sia-siamu!”
Kali ini mereka menyiramkan air ke seluruh tubuh. Memandikan dan membersihkan seluruh badanku. Tangan-tangan jadah itu merayap ke setiap sudut tubuh telanjangku. Dingin menelusup ke urat-urat darah, tetapi hanya sekejap. Selebihnya tak terasa. Yang terasa hanyalah buliran air mataku bercampur dengan air dingin yang mereka siramkan. Bayangan wajah abah dan Uma kembali hadir.
Hari-hari selanjutnya, aku tak mampu lagi membedakan gelapnya malam atau terangnya siang. Segala daya dan upaya perlawananku hanya akan berakhir dengan tamparan dan bantingan. Sekuat tenaga aku melepaskan jiwa terhadap raga. Aku menjelmakan diri menjadi sebongkah batu tanpa nyawa. Kemauanku, perasaanku, bahkan seluruh perwujudanku, semua menjelma batu. Air mataku pun membatu. Dunia dalamku memutus hubungan dengan dunia luarku, sehingga berapa, apa dan siapapun yang merasuki tubuhku dari liang manapun tak lagi meninggalkan reaksi. Semua membeku.
Ragaku yang berpindah dari dipan ke dipan lain, dari barak satu ke barak yang lain, dari erangan liar satu serdadu ke serdadu yang lain, semua terasa beku dan dingin. Bahkan, setetes air matapun tak mampu kutemukan. Keadaan yang selalu berakhir dengan kebekuan yang sama. Tubuh letih telanjang, mendekap kegelapan. Kosong. Terbui kehampaan.
Entah berapa purnama sudah kulalui. Karena gelap malam dan terang siang bagiku tak lebih dari jarum-jarum waktu yang menusuk, menyakitkan. Wajah abah dan uma yang membayang setiap waktu, membuatku tetap bertahan hidup meski dengan menjelma jadi sebongkah batu. Antara keputus asa-an dan keinginan untuk menisankan kekelaman jiwaku, akupun menemukan sebilah potongan kayu.
Setelah tadi malam dilingkupi oleh hantu-hantu bermata merah, dalam sisa lelah, paginya potongan kayu itu kulesakkan ke rongga rahimku. Seketika darah memancur. Aku meringis. Apakah ini akhir dari derita, entahlah, aku tak peduli. Darah terus memancur, mengalir di antara kedua kakiku. Cahaya matahari menyusup dari celah lubang tenda di mana aku terkulai. Aku mengantupkan kedua mataku, berharap semoga itulah berkas cahaya terakhir yang kulihat.
“Woy! Akira! Eiji…!” samar kudengar teriakan memanggil seseorang.
Serta merta kurasakan pula derap dari beberapa lars sepatu setengah berlari ke arahku. Tubuhku kini dalam dekapan tangan mereka sebelum semua kurasakan benar-benar menjadi gelap.

***

Saat dunia luar kembali melakukan hubungan dengan dunia dalamku, kudapati tubuhku tergolek di sebuah dipan tertutup tapih bahalai(14). Selang kecil terpasang di punggung telapak tanganku, menjulur dari sebuah plastik kecil cairan yang menggantung di pipa besi samping dipan. Mataku masih belum mampu terbuka sepenuhnya. Kemudian terasa ada sebuah genggaman lembut dan hangat di pergelangan tanganku.
“Tenanglah, Nak. Jangan banyak bergerak. Kau saat ini berada di rumah sakit…” ucapnya pelan. Wajahku kuarahkan padanya. Seorang wanita baya berbaju putih itu seakan membaca tanya dalam benakku.
“Tadi pagi, beberapa kempetai membawamu ke sini. Kau mengalami pendarahan hebat, untunglah belum terlambat.” Wanita itu melanjutkan bicara. Aku masih membisu sambil terus menatapnya. Kini dia menyunggingkan senyum. “Istirahatlah dulu, cobalah jangan banyak bergerak sampai pendarahanmu betul-betul berhenti. Malam ini, seseorang akan menjemputmu. Tidurlah sebentar, biarkan letihmu sebagian sirna…”.
Meski aku tak faham apa maksudnya, tubuhku membaca keletihan itu dan mengiyakan perintahnya.

***

Benar saja, malamnya aku dibangunkan seseorang.
“Tenanglah. Ini ada pakaian, kurasa pas dengan ukuran tubuhmu”. Rupanya wanita yang siang tadi bicara denganku.
Sambil mengeluarkan satu setelan pakaian, dia kembali bicara, “Aku tahu, fisikmu masih belum begitu kuat untuk berdiri. Tapi, paksalah! Sebab sebentar lagi kau akan dijemput. Jangan takut, kau akan dibawa ke tempat yang aman. Dan tak perlu cemas tentara Jepang akan mengejarmu, sebab kau sudah mereka anggap sesuatu yang tidak bisa mereka gunakan lagi. Tetapi, langkah ini tetap mesti dilakukan. Kau tetap harus pergi malam ini. Sebelum para anjing Dai Nippon itu berubah pikiran…”
Dengan dibantu wanita itu, aku berganti pakaian. Keheranan masih menyelimutiku. Aku masih tak bisa berkata-kata. Bukan aku tak bisa, tetapi bagaimanapun kejadian-kejadian yang kualami seakan sangat tiba-tiba. Tetapi, mendengar ucapannya tentang tempat yang aman membuat rasa heranku tak berkesempatan untuk menguasai. Aku ikut saja dengan kemauannya, tanpa bertanya. Tak lama, tirai samping dipan disingkap, dari baliknya muncullah dua lelaki yang salah satunya, sepertinya, kukenal. Aku masih membisu.
“Apa kabar, Mirna…?” Lelaki yang kurasa kukenal itu menyapaku dengan pertanyaan, “ah. Maafkan aku, Mirna. Tak seharusnya pertanyaan bodoh itu kuajukan...” sesalnya.
“Obrolan sementara kita tunda dahulu. Lanjutkan nanti setelah kita sampai di markas. Kita terburu-buru!” Kawannya mengingatkan. “Ayo, Mirna. Kuatkan badanmu, usahakan berjalan, nanti kau membonceng dengan Ibur.” Aku hanya mengangguk. Aku ingat sekarang. Dia ka Ibur, pemuda sekampung denganku.
Cil, terima kasih. Kami pamit dan mohon do’anya…” ucap ka Ibur kepada wanita yang kelak kutahu rupanya salah seorang perawat di rumah sakit itu sambil berusaha membopongku berjalan menuju keluar ruangan.
Akupun duduk di ancak(15) sepeda ka Ibur. Udara malam terasa menusuk ke tulang. Dengan penuh kewaspadaan, kami membelah dini hari berharap tidak bertemu dengan patroli kempetai menuju padang batung. Jalan-jalan  lengang. Hanya kerlip lampu di pasar Los Batu Kandangan yang terlihat mengunang-ngunang. Kami mengambil jalan pahantasan(16) melalui kampung Jambu. Selama perjalanan tak ada pembicaraan apapun. Baik antara mereka berdua, terlebih denganku. Kami bertiga membisu, berusaha menjaga kesenyapan yang menyelimuti gelapnya malam.
Perjalanan menuju Padang Batung, kampung yang  kami tuju, terasa sebuah perjalanan syurgawi. Setelah sekian purnama berada di neraka yang dipenuhi oleh siluman berwujud serdadu. Tak terasa, mataku yang telah lama kehilangan sumbernya, kini memancar kembali. Buliran bening itu seakan luruh bersama derita dan kepedihan selama dalam jelmaan batu. Perih di antara kedua kakiku akibat lesakkan potongan kayu pagi tadi tak begitu terasa. Selalu, wajah abah dan uma membayang. Kali ini nampak jauh lebih jelas. Sedang roda sepeda terus melaju, menyisir rerimbun pepohonan di sisi jalan dan embun mulai menggayut di wajah-wajah daun. Menjelang subuh, barulah kami sampai di sebuah rumah, kampung Padang Batung.
“Istirahatlah, Mirna. Begitu kau siap, kita akan bicara lagi…” ujar ka Ibur sambil mengantarku ke sebuah kamar tanpa pintu, hanya disekat tirai kain seadanya. Aku mencoba mengembalikan senyum yang telah lama sirna, tetapi belum mampu, hanya bisa menyahut dengan anggukan kecil.

***

Selama dalam pemulihan di Padang Batung itu, aku mengetahui dari ka Ibur bahwa abah telah tewas di ujung bayonet Jepang sepuluh hari selepas peristiwa penyekapanku oleh serdadu Dai Nippon. Pada saat hari penculikanku rupanya ada beberapa warga yang sempat menyaksikan. Abah yang berusaha mencari tahu keberadaanku esok harinya, mendapatkan kabar jikalau aku diculik oleh tentara Jepang, tetapi tak ada yang tahu dibawa kemana.
Cil(17) Iyam begitu terpukul mendengar kabar itu, Mirna” Ka ibur waktu itu bercerita mengenai kondisi uma-ku, “Apalagi setelah hari kesepuluh pasca kau diculik, ayahmu nekad menyambangi tangsi serdadu Jepang, kemudian mengamuk dengan sebilah parang. Mulanya ayahmu hanya berusaha menanyakan keberadaanmu, dan memohon agar kau dilepaskan. Sebagai gantinya, ayahmu akan menyerahkan seluruh harta yang ada… tetapi, rupanya permohonan ayahmu itu, jangankan dikabulkan, malah anjing-anjing Dai Nippon itu menghardik dan menendang serta mencoba memukulinya…”
Saat mendengar kisah ka Ibur itu, aku tak mampu membendung bah air mata yang datang. Bayangan senyum dan gelak tawa abah berkelindan dalam alam kenangan.
“…Nah, pada situasi itulah, naluri mempertahankan diri ditambah rasa kecewa dan amarah yang membubuk dalam dada ayahmu, memaksanya menghunuskan parang. Belum sempat melukai serdadu-serdadu itu, rentetan peluru dari moncong karaben(18) dan ujung bayonet membingkas raganya”. Lanjut ka Ibur menyambung cerita. “Belum cukup dengan kematian ayahmu, dua hari kemudian, sepasukan tentara Jepang mendatangi rumahmu. Mereka tak peduli meski pada saat itu masih dalam suasana berkabung. Dan ibumu…”ka Ibur tercandak sembari matanya mencoba membaca raut wajahku.
Tak perlu ka Ibur melanjutkan, aku merasa mampu menebak kejadian selanjutnya. Tetapi, “Tak apa, Ka. Lanjutkan cerita pian…” aku berusaha tegar.
“Kehormatan ibumu mereka rudapaksa, sebelum bajingan pengecut itu me-riwas(19)-kan samurainya ke tubuh ibumu!” Ada nada geram dalam suaranya.
Kata-kata ka Ibur seakan lolong pilu di kejauhan. Uma, malaikat pelindungku telah mereka rampas hidupnya. Tangisku pecah. Dunia sekelilingku sekali lagi terasa berkecai, remuk berkeping-keping.
Lama, sebelum aku mampu menguasai dan mengembalikan kesadaran emosiku. Ka ibur pun hanya terdiam. Kemudian, sela isakan tangis, terbata aku bertanya cemas. “Lantas, kedua adikku?”
Dihembuskannya nafas panjang sembari menyalakan rokok sebelum ka Ibur menjawab, “Untunglah, kedua adikmu pada saat itu tidak ada di rumah. Mereka sedang bermain di sungai, dan orang-orang kampung sempat menyembunyikan mereka begitu mengetahui peristiwa penyerbuan ke rumahmu waktu itu. Kini adikmu tinggal bersama dengan Julak Ibas, saudara sepupu ayahmu di Nagara. Kami belum mengabarkan tentang keadaanmu sekarang pada mereka. Belum saatnya…”
Setelah mendengar cerita ka Ibur waktu itu, aku lebih sering merenung. Perasaanku mencipta amarah dan kebencian yang mengumpal dalam tiap urat nadi. Ditambah mimpi-mimpi buruk yang teramat sering terulang. Kehadiran wajah-wajah siluman bermata merah memakai seragam kaigun mengeluarkan lidah-lidah api yang menjilat tiap jengkal kulitku, yang entah bagaimana selalu mampu melompat keluar dari timbunan daun waktu.
Ka Ibur seringkali mengatakan kepadaku agar aku melupakan segala peristiwa yang kualami kemudian membenamkannya di kuburan masa lalu. Tetapi bukankah persoalannya bukan pada melupakan, tetapi terletak pada kemampuan untuk keluar dari prasangka-prasangka negatif terhadap luka sejarah berikut rasa sakit yang muncul darinya. Aku tak tahu apa yang mesti kulakukan menghadapi tatapan mata orang-orang yang menombak rasa maluku akibat aib atas peristiwa yang menimpa. Meski bukan kehendakku, apakah lantas rasa malu itu mampu kunisbikan?

***

Matahari semakin beringsut sembunyi menyambut senja. Wanita  berumur hampir sembilan puluh tahun itu masih termangu di beranda. Wajahnya masih menyimpan sisa kegetiran. Malam-malam jahanam hanyalah kepingan dari sejarah hidupnya yang kelam. Matanya nanar menatap lambaian dedaun pohon karsen yang terkadang luruh dibawa angin senja. Bagaimanapun, benih dendam yang disemai siluman berwujud serdadu itu tetap membara di dadanya. Matanya tak henti jua menyabak. Begitu seorang lelaki, adiknya, memegang pundaknya, barulah sungging senyum sedikit mencerahkan wajah tuanya. Hari semakin senja, sebagaimana usia Mirna.[]

Brb,160217

Keterangan :
1. Wadah (tas jinjing) serbaguna berbahan anyaman bambu/daun purun;
2. Wadah (tas sandang) serbaguna berbahan anyaman bambu/daun purun;
3. Nama sebuah Surat Kabar Harian yang terbit di Kandangan selama pendudukan Jepang
4. Jenis penganan kue tradisional Banjar
5. Sebutan untuk satuan polisi militer Jepang,
6. Istilah asisten residen (petugas manajemen propinsi) pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda setingkat kabupaten
7. Sikap hormat kepada Tenno Heika dengan membungkuk ke arah utara
8. Mama; Ibu
9. Surau; Musholla
10. Semacam Azimat/mantra/do’a-do’a yang langsung dituliskan di tubuh atau baju sesorang (bjr)
11. Tembuni; Plasenta bayi baru lahir
12. Angkatan Laut kekaisaran Jepang pada masa perang dunia II
13. Sebutan kepada gadis perawan yang baru memasuki usia dewasa
14. Kain sarung tanpa jahitan; biasa dipakai wanita Banjar (pen)
15. Sadel belakang/penumpang; biasa ada pada sepeda
16. Jalan tikus; jalan alternatif; jalan memotong supaya lebih dekat (pen)
17. Acil; Bibi; panggilan singkat kepada orang (perempuan) yang lebih tua
18. Jenis senapan serbu otomatis
19. Me-nyabet-kan

Sumber:
Untara, Kayla. 2017. Sirah Darah di Wajah Sejarah. Banjarmasin: Pustaka Banua
https://www.facebook.com/notes/kayla-untara/cerpen-narasi-kelam-gadis-bernama-mirna/1588156364545015/

0 komentar: