Esai Sainul Hermawan: Ziarah ke Sajak-sajak Eza Thabry Husano

07.02 Zian 0 Comments

eza thabry husano


Eza Thabry Husano telah banyak menebarkan sajak-sajaknya di berbagai antologi puisi dan media massa cetak tetapi dalam salah satu sajaknya dia mengakui betapa jerih payahnya menjadi sia-sia ketika sajak-sajak yang telah ditulisnya “tidak dibaca” dalam pengertian tak disambut layaknya sesosok figur terhormat atau bersahaja yang setiap kali hadir mendapat kalung bunga dari para penyambutnya. Husano akhirnya merasa sajaknya bagai kuburan tak berharga bagi kamatian yang sangat diharapkan: .... sajakku adalah kuburan/ tak pernah diziarahi sampeyan/ menabur kembang wewangian/ selain karak-karak sunyi/ yang mengheningkan ruh sajakku/ ....(“BA”: 22)
Dalam kultur yang memandang ziarah kubur itu sesuatu yang panting untuk menjalin komunikasi abstrak antara yang hidup dan mati, tak berziarah dapat dipandang sebagai sesuatu yang “murtad ritus.” Demikian pula dalam kultur yang memandang bahwa sajak ditulis untuk dibaca, diapresiasi, dan dikritisi, tak peduli pada puisi dapat disebut sebagai “ingkar seni”. Setiap pengingkaran dalam konteksnya masing-masing tentu berimplikasi secara langsung atau tak langsung terhadap kultur yang melingkupinya.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menziarahi sajak-sajak yang telah ditulis Husano di beberapa antologi puisi dalam rangka menghormati ruh yang ada di dalamnya karena ruh puisi kadang tak dapat bicara langsung dengan pembacanya yang belum memiliki sarana untuk menangkapnya. Ruh puisi seringkali bersembunyi di balik kata-kata yang telah mati di dalam kamus dan oleh Husano dicoba dihidupkan kembali dalam sajak-sajaknya. Ruh sajaknya pun pasti tak akan bicara sama dalam media bantu yang berbeda. Bahkan bagi orang yang ahli menangkap ruh sajak, sarana bisa tak diperlukan lagi karena ruh dan mereka tak berjarak.
Tulisan ini mencoba membaca 25 sajak Husano dalam 5 antologi kolektif penyair Kalsel yang terbit dalam kurun waktu yang berbeda, yaitu sajak “Maha (M),” “Sepatu Kapal (SK),” “Bunga Api (BA),” dan “Zat (Z)” dalam antologi  Bunga Api (1994); “Improvisasi Abad-abad Kehidupan (IAK),” “Sebelum Kota-kota Padam (SKP),” “Abad-abad Mengulum Musim (AMM),” “Bayang-bayang Jemuran (BJ),” “Rumah Ramadhan (RR),” “Sketsa Wajah (SW)” dalam antologi Gerbang Pemukiman (1997); “Obsesi Monumen Retak (OMR),” “Episode Embun (EE),” “Bahana (B),” “Khalwat Percintaan (KP),” “Aransemen Kematian Saudaraku Bernama Api (AKSBA)” dalam antologi Bahana (2001); “Nyanyian Duka Pendulang (NDP),” “Tafsir Kebun 24 Jam,” “Sirkuit Kabut,” “Jendela di Seberang Airmata,” “Lukisan Dzikir” dalam antologi Notasi Kota 24 Jam (2003); dan “Membayangkan Baitullah,” “Membayangkan Arafah,” “Jejak Liang Penghabisanmu,” “Tangis Berisik di Ujung Tidurku,” “Surat dari Duri Bukit” dalam antologi Anak Zaman (2004). Dari kelima antologi ini sajak-sajak Husano tampak menjadi ruh karena judul sajak atau frase dari salah satu sajaknya menjadi judul atau inspirasi judul antologi-antologi tersebut.
Ruh sajak Husano antara lain terletak pada kemampuan, kemauan, dan kecenderungan dalam merayakan personifikasi atau memberikan nafas bagi yang mati. Dalam antologi Bunga Api (1994), kita dapat menemukan matahari yang berwasiat kepada lautan, dan sajak yang mendirikan sungai dan perahu (“M”: 22). Di samping itu kita juga bisa menjumpai senja yang memasukkan kabut ke dalam sepatu, dan laut yang menghentikan kapal (“SK”: 23). Dalam sajak “Bunga Api” (hlm. 24), pembaca dapat menemukan bunga api yang menyalakan dinamit, dan matahari yang melukai sunyi. Tetapi kecenderungan semacam ini tak berlanjut pada sajaknya yang terakhir, “Zat”.
Gairah memberikan ruh pada kolokasi wajar yang sering terkapar dalam persepsi kita yang serba otomatis semakin diintensifkan oleh Husano dalam beberapa sajak dalam antologi Gerbang Pemukiman (1997). Ada rumah yang mengantung cakrawala dalam vas bunga, ada ribuan serangga yang membangun jembatan (“IAK”: 20), ada kota yang mengusir masa kecil (“SKP”: 22), ada kemarau yang diragukan mampu menajamkan taji-taji hujan, ada  angin hujan yang melantunkan gerimis kerinduan, ada kamar-kamar sejarah yang menghukum abad-abad kemanusiaan (“AMM”: 23-24), ada kamar yang menidurkan rumah (“BJ”: 25), ada kapal merindukan pelabuhan, ada rambut rembulan yang tergerai di trotoar (“RR”: 26), dan ada surat-surat yang pingsan karena kehilangan alamat, ada sajak yang menggendong luka, serta ada matahari yang melirik ke barat (“SW”: 27). Segala yang biasanya wajar menjadi segar, bergerak karena ada permainan kolokasi yang unik.
Segala yang segar dalam puisi Husano bisa saja ditepis oleh naluri yang setia pada rasionalitas tata bahasa yang otomatis dan familiar. Kesegaran bahasa yang dikelolanya dalam ketaktertataan semacam itu cenderung berangkat dari kemauan untuk menghadirkan fantasi. Dalam sajak “IAK,” Husano berfantasi tentang tubuh kontemporer yang mati. Kematian tubuh kontemporerlah yang menjadi kegelisahan sajak-sajaknya: jika kau ziarahi tubuhku, di situ pun ada darah/ mengalirkan ribuan komputer, ribuan buku-buku, ribuan cerobong asap, jutaan rumah para pemukim yang menyusui sajak-sajakku. jika kau melayat airmataku, disitu pun ada darah/ mengalirkan ribuan botol vodka, ribuan minuman lainnya, menyumbat anak-anak sendiri jadi jutaan busa kegelisahan sajak-sajakku (“IAK”: 20)
Darah dalam tubuh yang mati tak dialiri zat-zat bergizi tetapi penuh dengan sampah-sampah industri, atau segala sesuatu yang berpotensi membuat generasi yang stagnan, macet, malas. Fantasi yang lain disuguhkan Husano dalam sajak “SKP” yang melukiskan lanskap kota dalam perut dan mata yang dialiri sesuap nasi: akankah sungai diseberangkan pula oleh perahu pengembara ke kota-kota. Sesuap nasi mengalir di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga yang lapar sungai kerinduan. Namun dalam perutku berdiri kota-kota pendakian yang kesekian (“SKP”: 22)
Ungkapan fantastis ini sangat bernuansa sebagai sebentuk transformasi tekstual dunia pepatah yang banyak dikenal: dari mata turun ke hati. Akan tetapi SKP mencoba memahami ide romantis itu dalam bingkai ironis dan materialistis sehingga terciptalah dunia baru: dari mata turun ke perut. Kembali romantis atau kembali ke masa kecil, masa yang jujur, menjadi persoalan hidup kontemporer yang mustahil. Romantis menjadi dunia utopis, mudah dibicarakan tetap susah diwujudkan dalam kenyataan, di tengah kecenderungan populer membangun kota di dalam perut. Gayutan referensial dari dunia tekstual yang ditawarkan sajak ini bukan dunia yang sangat jauh. Dunia fantasi itu dunia kita sehari-hari.
Jika pembacaan terhadap sajak-sajak Husano kita teruskan sampai ke antologi Bahana, mungkin ada satu kesan yang sangat dominan: sajak-sajak Husano terlalu berfoya-foya dengan kata-kata. Fantasi atau imajinasi tekstual yang ditawarkan kurang terkendali sehingga seringkali sulit mencari pijakan yang cukup kuat untuk memahami ide yang mau disampaikan oleh sajak-sajaknya. Dalam sajak “OMR,” misalnya, imajinasi pembaca diayun tanpa simpul bandul yang kokoh dan dapat dipakai untuk merunut sumber persoalan yang ada di balik sajak ini. Inilah sebagian kutipannya: .... jalan ditempuh melintas jembatan runtuh/ seperti untaian tasbih butiran luruh/ di deraian kelam nasib/ sayatan demi sayatan menumbuhkan darah dan mawar/ dalam vas matahari dan kelelawar/ di rajutan jaring laba-laba kelalaian/ keranda dilayarkan akar-akar tanah/ senyap dan dingin, sesenyap dan sedingin buah jeruk dalam sebuah kulkas/ di antara sekeranjang buah-buahan penderitaan/ yang diperam musim demi musim kesunyian (“OMR”: 27)
Bait ini tampak ingin bicara tentang kesedihan dan kesunyian. Namun, pencitraan inderawi yang digunakannya lebih dominan bersifat visual dan audial daripada sensual. Akibatnya, aura kesedihan dan kesunyian kurang intensif, kurang menggidikkan bulu kuduk, atau kurang mampu membawa pembaca ke dalam suasana sedih dan sepi yang menyakitkan. Dengan kata lain, bait ini cukup lemah untuk membuat pembacanya mengalami, merasakan situasi yang mau ditawarkan. Pembaca hanya mampu diantarkan pada situasi mengetahui bahwa sepi dan sunyi itu sakit. Keretakan semacam inilah yang juga perlu ditambal pada sajak-sajak Husano yang monumental.
Menulis sajak dengan kata-kata yang “besar” tentu bukan hanya kecenderungan Husano. Tetapi siapapun penyairnya perlu menyadari apa yang pernah disampaikan almarhum Linus Suryadi, bahwa sajak-sajak dengan kata-kata besar tak menjamin sajak itu menjadi sajak besar. Bacalah, misalnya, nukilan sajak Chairil Anwar “Kawanku dan Aku” yang menarik perhatian A. Teeuw (Membaca dan Menilai Sastra, 1991: 38). Sajak ini begitu sederhana tetapi tidak kehilangan ruh kebersahajaannya karena ada bagian di dalamnya yang bersinggungan dengan universalitas dan partikularitas, yaitu pertanyaan tentang waktu: Kawanku hanya rangka saja/ Karena dera mengelucak tenaga/ Dia bertanya jam berapa!
Dari kelima sajak dalam antologi Bahana, hanya dua sajak yang berhasil menjadi sajak yang tidak kausalistis. Memang hak kreatif pengarang untuk membentuk sajaknya menjadi sedemikian rupa, tetapi Husano adalah penyair yang menyadari bahwa sajaknya perlu pembaca. Pembaca juga memiliki kepentingan untuk tidak dibuat bosan oleh kehadiran leksem yang kurang bermakna dan mengganggu intensitas bunyi sajaknya. Kata sebab dan padanannya yang hadir dalam sajak “EE” (hlm. 28), “KP” (hlm. 31), dan “AKSBA” (hlm. 34) menyiratkan kehadiran jawaban yang pasti bagi setiap keadaan yang diresponnya. Imajinasi yang dibuka ditutup kembali.
Sajak-sajak Husano dalam kelima antologi tersebut menegaskan bahwa Husano pernah mencoba untuk melepaskan diri dari kecenderungan menulis puisi lirik, tetapi dia tak mampu. Sajak-sajak non-liriknya seperti “OMR” dan “KP” dalam Bahana, sajak “NDP” dalam Notasi Kota 24 Jam, dan sajak “AMM” dalam Gerbang Pemukiman tampak kurang bergairah. Ada diri yang mencoba ambil jarak dengan realitas yang dilihatnya tetapi belum total. Jadilah ketiga puisi tersebut seolah-olah liris.
Selain itu intensitas personifikasi, metafora, dan kolokasi dalam sajak Husano kurang diimbangi dengan keberagaman tema sehingga sajak-sajaknya terkesan mengalami keterbatasan pandang. Konsekuensi konvensi puisi lirik semacam ini perlu disiasati agar sajak-sajak Husano yang akan datang tak melulu berkutat dalam kubangan perasaan dan alam. Ada wilayah tema yang sangat luas yang juga perlu dirambah, misalnya soal etnisitas, seksualitas, modernitas, dan sebagainya.

Banjarmasin, 4 April 2005


Sumber:
Radar Banjarmasin, 1 Mei 2005
http://www.geocities.ws/ejabudaya/esai_ziarah.html

0 komentar: