Esai Sainul Hermawan: Cerita dan Penceritaan di Bulan Mei
Pada umumnya yang menarik orang untuk terus membaca cerpen dan novel atau menonton pertunjukkan drama, sinetron, dan film adalah ceritanya. Bobot cerita sering dijadikan dasar oleh penikmat fiksi untuk menilai apakah cerita fiksi yang sedang dibaca, ditonton, atau didengarnya menarik, menyenangkan, menjengkelkan, membosankan, dan sebagainya. Cerita, kata Burhan Nurgiyantoro (Teori Pengkajian Fiksi, 1998: 89-90), adalah motivator rasa ingin tahu para konsumen fiksi. Perannya sangat sentral. Tanpanya, eksistensi fiksi tak mungkin terwujud. Karena ukuran cerita yang baik dan yang buruk bersifat relatif, mengikuti keberagaman realitas penyambut atau penerimanya, maka tulisan ini tak bermaksud memberikan label baik atau jelek terhadap kelima cerpen yang telah tampil di Cakrawala Radar Banjarmasin sepanjang Mei 2005. Tulisan ini hanyalah cerita tentang apa yang diceritakan oleh cerita pendek. Apakah ceritanya hanya cerita biasa-biasa saja, seperti halnya cerita-cerita non-fiksi yang biasa tak dihiraukan orang, atau apakah ceritanya aneh dan mampu mengejutkan logika “yang sewajarnya”?Kelima cerpen yang diceritakan kembali dalam tulisan ini adalah cerpen “Dulah” karya Maman S. Tawie, “Menunggu Pembebasan Tuhan” karya Setia Budhi, “Bulan Belah Semangka” karya Sandi Firly, “Nyanyi Langgar Sunyi” karya M. Fuad Rahman, dan “Sebuah Mata, Sejuta Sesal” karya Syafiqotul Machmudah. Dari kelima cerpen itu hanya karya Fuad yang ditulis dalam bahasa Banjar dan hanya Syafiqotul penulis perempuan yang hadir di tengah empat penulis laki-laki.
Cerpen “Dulah” bercerita tentang persahabatan tokoh Dulah dan aku. Dulah adalah seorang pembantu di warung Pak Gafuri. Dulah sering memberikan layanan gratis setiap si aku berkunjung ke warung itu. Keintiman mereka membuat istri Pak Gafuri memutuskan untuk memulangkan Dulah ke kampungnya. Tokoh aku menyesal karena menganggap dirinya menjadi penyebab Dulah kehilangan pekerjaan. Setelah hampir empat bulan mereka berpisah, suatu ketika ada kesempatan yang mempertemukan mereka tanpa sengaja. Tokoh aku naik becak yang diyakini setengah hati dikendarai oleh Dulah. Pada pertemuan yang tak sengaja itu Dulah memberikan kebaikan terakhir yang semakin membuat tokoh aku penasaran.
Ceritanya jadi terlalu sederhana karena teknik penceritaanya kurang mengejutkan dalam menyelami kondisi batin tokoh aku yang sedang penasaran. Seandainya rasa penasaran yang digali lebih dalam dan unik, ceritanya mungkin akan jadi lain. Kesederhanaan cerita dan cara bercerita semacam itulah yang membuat cerita ini terkesan datar.
Cerpen “Menunggu Pembebasan Tuhan” adalah cerpen terpendek dari kelima cerita di bulan Mei, tetapi cerpen ini terlalu berpretensi menyampaikan banyak hal dalam ruang fiksi yang terlalu sempit, yang menuntut efisiensi pengarangnya. Akibatnya, ceritanya tak koheren dan nyaris jadi esai politik atau hukum. Kepentingan moralnya mengalahkan kemampuan estetisnya untuk menyampaikan cerita ini dengan cara yang menyegarkan. Cerita di dalamnya tak mampu bergerak lincah. Bahkan cerpen ini terkesan ditulis tanpa konsentrasi atau kontemplasi estetis dan linguistis yang memadai.
Cerpen “Bulan Belah Semangka” bercerita tentang bulan metaforis yang tanggung. Ia tak purnama dan tak juga sabit: tanggung. Karenanya ia menarik banyak perhatian orang untuk berusaha merautnya menjadi sabit. Tak seorang pun yang berhasil. Tokoh-tokoh sakti dan berwibawa gagal. Ironisnya, yang mampu meraih bulan itu hanyalah seorang gelandangan yang sedang lapar. Dia bukan hanya mampu meraihnya, tetapi sekaligus memakannya. Ada nuansa kematian yang samar di akhir cerita yang dikemas dengan teknik penceritaan realisme-magis: penceritaan yang mengedepankan pengakuan terhadap berhimpitnya realitas keseharian yang teratur secara logis dan keajaiban yang serba mungkin dan kacau secara logis pula tetapi berbeda dengan kerangka logis yang pertama.
Dari kelima cerpen di bulan Mei, hanya cerpen Sandi yang tampaknya meyakini pandangan bahwa cerpen menuntut kepiawaian penulisnya dalam memilah dan memilih unsur-unsur mana dalam ceritanya yang harus dibuat tersirat atau tersurat, dan bagaimana membuat bahasa ceritanya hemat, ringkas, dan utuh, atau bagaimana persoalan bentuk (stilistik) atau cara bertutur harus diolah.
Tampaknya penulis ini begitu yakin bahwa cerita yang sederhana dapat jadi luar biasa jika diceritakan dengan teknik penceritaan yang “unik”, dan sebaliknya cerita yang “unik” akan terbaca biasa-biasa saja jika ia diceritakan dengan mengabaikan teknik-teknik penceritaan yang “nyastra” dalam pengertian mampu menyegarkan persepsi pembacanya tentang sebuah peristiwa fiksional. Dengan teknik penceritaan yang unik itu, cerpen “Bulan Belah Semangka” menyodorkan fenomena di sekitar kenyataannya sebagai teks yang terbuka bagi berbagai interpretasi, bukan sebagai paparan moralistik dan dogmatis yang tertutup dan pasang harga mati.
Cerpen “Nyanyi Langgar Sunyi” bercerita tentang tradisi yasinan yang oleh tokoh utamanya, Idup, dianggap sebagai tradisi salah kaprah. Cerpen ini mengingatkan kita pada cerpen pertama A.A. Navis yang terkenal, “Robohnya Surau Kami” (1956). Meskipun ceritanya penuh kritik moral keagamaan, teknik penceritaannya tetap dipertimbangkan dengan baik sehingga ceritanya mengalir lancar. Tetapi, sepertinya penulisnya perlu mempertimbangkan konsistensi penulisan kata ataupun tanda baca karena unsur ini pun merupakan bagian yang ikut menentukan nilai sebuah karya. Medan intertekstual cerpen ini begitu luas. Karenanya, cerpen ini dapat dipakai sebagai pendamping jika kita mau menafsirkan sajak-sajak Ariffin Noor Hasby yang bercerita tentang masjid. Muatan lokal cerpen ini paling kental di antara keempat cerpen lainnya.
Cerpen “Sebuah Mata, Sejuta Sesal” bercerita penyesalan dalam latar yang berbeda dari cerita penyesalan dalam cerpen M. S. Tawie. Cerpen ini mengisahkan trauma tokoh yang mengalami insiden kerusuhan di dalam Mal beberapa saat setelah dia ikut konvoi kampanye partai politik yang dimusuhi. Sebagai pendatang baru di dunia cerita yang didominasi cerpenis laki-laki, penulis cerpen ini terkesan masih coba-coba. Dia bimbang antara mau berpijak setia pada realisme saja atau surealisme.
Akibatnya, ceritanya yang begitu sederhana kurang diolah dengan teknik penceritaan yang mantap. Ada baiknya jika penulis mau membandingkan cerpen ini dengan cerpen “Monster” karya Jamal T. Suryanata dan melihat bagaimana Jamal mempercayakan ceritanya sepenuhnya pada teknik penceritaan surealisme sehingga cerpen Jamal terbaca mantap.
Pendeknya, para seniman seni kata dalam ranah cerita yang nyastra harus selalu berusaha, bekerja keras, berjuang untuk memecahkan rekor baru dalam menyinergikan bahasa, cerita, dan penceritaan dalam mengolah peristiwa fiksional yang mampu memacu jantung pembaca. Ketiganya (bahasa, cerita, dan penceritaan) harus padu dan jangan sampai masing-masing seperti minyak dalam air: sama-sama cair tetapi ngalih untuk lebur. Akhirnya, masing-masing jalan sendiri dan melahirkan prosa yang sangat mujarab buat obat tidur.
Sumber:
Radar Banjarmasin, 10 Juli 2005
http://www.geocities.ws/ejabudaya/esai_cerita_dan_penceritaan.html
0 komentar: