Cerpen Hajriansyah: Monologila
Ya, bisa saja kau datang dengan tangan mengepal, tapi aku sudah lupa dengan masa lalu. Kenangan di kepalaku seperti jarum di tumpukan jerami. Terlalu absurd! Kenangan hanyalah bayangan dari mana aku akan berjalan ke depan. Sebuah lubang telah kulalui tadi, dan aku telah melupakannya. Jadi sekali lagi, kutegaskan tak perlu kau kepalkan tangan dengan membawa cerita masa lalu. Kalau kau ingin berbincang, mari bicara tentang hari ini saja. Apa yang kau bawa? Sebuah pikiran? Kulihat seperti ada beban di kepalamu, tapi bukan yang tentang masa lalu itu. Ya, tampaknya memang ada beban, mari bicarakan kalau kau mau. Ya, aku bisa mendengarkan. Apa? Ya?Ya..ya, ya aku bisa merasakan keraguanmu. Aku pernah merasakan hal yang sama. Seringkali kita memang tak bisa menghindar dari realitas yang menusuk. Kita selalu terbiasa membayangkan kehidupan yang mudah. Kehidupan yang indah yang dapat kita kejar. Kita memang kadang bisa juga membayangkan hal terburuk dalam rencana-rencana hidup kita, tapi kita tak pernah benar-benar siap menghadapi hal-hal yang buruk. Tapi sejauh ini, apa yang sudah kau lakukan untuk mengantisipasi rasa sakitmu. Berobat? Dengan cara bagaimana? Kau pergi ke orang pintar? Apakah kau benar-benar yakin bahwa orang yang kau datangi itu lebih pintar darimu? Lebih tahu masalah hidupmu daripada dirimu sendiri? Kau tak tahu! Lalu mengapa kau datang kepadanya? Karena temanmu! Karena kau tak tahan dengan nasihat temanmu. Dan kau ingin meyakinkan bahwa ia bisa saja salah; makanya kau mencobanya. Tapi bagaimana kemudian? Kau tak merasakan apa-apa. Kau tak merasa menemukan kesembuhan atas rasa sakitmu.
Oke..! bolehkah aku bercerita sedikit untukmu, ya..hitung-hitung sebagai bahan perbandinganlah. Boleh? Oke, begini ceritanya.
***
Di suatu waktu ‘Yang Tercerahkan’ mengalami keputusasaan. Ia yang selalu mendambakan kebahagiaan orang lain, merasa sedih bahwa teman terdekatnya melakukan kesia-siaan yang amat sangat; segala hal tentang kebaikan yang pernah mereka diskusikan tak bermanfaat ketika maut datang kepada temannya dengan segala penderitaan yang tak logis. Temannya terbunuh dengan mengenaskan dalam seburuk-buruk akhir kehidupan. Ia Yang Tercerahkan begitu sedih. Hatinya bagai tertusuk-tusuk, dan Ia begitu bingung, dan hampir linglung. Seperti orang yang kehilangan orientasi pada umumnya, ia berjalan dengan tatapan yang kosong. Segala yang cerah yang pernah menghiasi wajahnya seperti tak pernah ada. Ia kemudian menjadi lebih sensitif dari kebiasaannya, menjadi lebih emosional dalam bertindak. Orang yang sesabar itu menjadi sering tak yakin dengan apa yang dilakukannya, dan masa lalu sering menghantuinya. Kesalahan seseorang begitu dipikirkannya. Ia sering tak dapat tidur, dan geram menguasai hatinya untuk hal-hal yang penuh kesia-siaan.
Dalam satu kesempatan Ia menyerang lawan bicaranya dengan begitu sinis. Ia menusuknya dengan kata-kata, dan hampir saja mereka bertengkar secara fisik, ketika terlintas di benaknya, betapa lemahnya dirinya. Ia pergi begitu saja ketika sebuah pukulan hampir bersarang di kepalanya. Kawan sekaligus musuhnya itu terpana. Yang Tercerahkan tersadar, bahwa segala permasalahan ada jalan keluar, dan tak seharusnya membuat masalah baru dengan masalah lama. Sambil berjalan Yang Tercerahkan merenungkan kembali masalahnya. Di jalan ia melihat betapa pohon yang tersengat panas begitu tenangnya. Ia berhenti sebentar di bawahnya. Sembari berteduh, duduk, dielusnya kulit pohon itu; begitu kasar, bahkan banyak luka di sana-sini. Mungkin seseorang yang pernah duduk di bawah sini ingin mengukir namanya sebagai kenangan, pikirnya. Yang Tercerahkan menerawang ke atas. Pohon itu begitu kokoh dan rindang. Rasa sakit dan kekasaran tubuhnya tak membuat pohon itu menjadi kecil. Helai-helai daunnya yang ditiup angin membuat lingkungan di sekitarnya menjadi sejuk, yang berada di bawahnya merasa terlindungi dan aman. Pohon ini begitu tenang, ia menjadi sedemikian indah bagi Yang Tercerahkan. Ia Yang Tercerahkan membayangkan, suatu saat nanti orang-orang menjadi senang berada dekat pohon yang rindang itu, dan mereka kemudian membangun tempat tinggal, kemudian beranak-pinak. Di suatu waktu, keturunan mereka sudah sedemikian banyak dan pohon itu menjadi aikon kampung mereka, sampai di suatu waktu pohon yang indah itu menjadi penghambat laju pembangunan, dan orang-orang yang obsessif kemudian memerintahkan menebang pohon yang pernah menjadi mimpi indah nenek moyang mereka itu.
Yang Tercerahkan merenungkan hal ini secara mendalam, dan Ia mendapati dirinya yang kecil begitu naif dengan permasalahannya yang sepele. Ia Yang Tercerahkan sadar bahwa dirinya bukanlah apa-apa, dan takdir hidup bukanlah kewenangannya. Sejak saat itu senyumnya mengembang kembali, dan ia menjadi lebih bijaksana…
***
Ya, seperti itulah! Mungkin cerita ini terlalu berlebihan untukmu. Tapi sebagai bahan renungan, kupikir bagus untukmu.
Bagaimana? Kau tak memahami apa-apa? Wah, itu bukan kewenanganku untuk membuatmu paham. Kemampuanku hanya sekedar bercerita, mungkin kau bisa merenungkannya di rumah. Kau tak ingin merenungkannya? Ceritaku membuatmu tambah pusing? Tapi itu bagus, baik untuk hidupmu. Bingung dan pusing memberimu ruang untuk introspeksi; masuk ke dalam diri, dan kuharap kemudian kau keluar darinya dengan lebih bijaksana lagi.
Apa? Tak penting bagimu? Kau ingin yang instan, yang langsung bereaksi dan dengan cepat menyelesaikan masalahmu. Aku bukan tabib; andaipun jadi tabib aku takkan menerima pasien yang menginginkan kesembuhan instan. Segala hal memerlukan proses, apalagi kesembuhan. Ya, semuanya memerlukan proses, tidak mengertikah kau? Kau harus memahami hal sederhana ini seperti halnya kau menginginkan hidup yang mudah. Hidup yang tak mengenal rasa sakit, bukankah itu yang kau inginkan.
Heii.. kau jangan menjadi sewot begitu. Sedikit berbahagialah karena hari ini kau sudah mendengar hal-hal yang baik dariku.
Kau ingin ke mana sekarang? Apa? Kau hanya ingin duduk sebentar di sini dan berbincang. Oke, tak masalah!
Beberapa hari ini rumahmu menjadi lebih sumpek. Mertuamu menyuruhmu lagi bekerja di tempat yang kau tak sukai itu, dengan alasan ‘kasihan anak-anak’. Tapi kau benar-benar tak ingin lagi menyia-nyiakan hidupmu untuk sesuatu yang tak kau sukai, dan kau berselisih paham dengan mertuamu, dan ia menyindir-nyindir keberadaanmu beserta istri dan anak-anakmu di rumahnya yang sudah terlalu lama. Belum lagi datang kabar tentang kecelakaan yang menimpa adikmu, yang selama ini dekat denganmu, dengan membawa motor pinjaman dari temannya. Teman adikmu yang baru saja mendapatkan motor itu dari orang tuanya sebagai hadiah prestasinya di sekolah mendatangi ibumu yang tinggal sendiri beserta adik-adikmu beserta orang tuanya, dan meminta pertanggungjawaban atas kerusakan motornya. Dan bla..bla..bla.., dan kau pusing, dan kau bingung, dan kau hampir gila, dan kau benar-benar bertingkah hampir seperti orang gila. Dan kau datang kepadaku dengan tangan mengepal, karena tiba-tiba saja kau teringat padaku, dan akulah orang yang mula-mula menjadi awal dari semua masalahmu meskipun kau tak begitu yakin dengan hal itu. Begitu pikirmu! Ya?
Selamat datang wahai yang dijabahi, yang diridlai.
Bila engkau menghilang maka keputusan yang datang akan menyempitkan dada.1
Ada banyak lagi persoalan hidup yang lebih besar dari persoalan kegilaan seperti yang kau alami. Itu hanyalah kegilaan dalam rumah tangga, padahal ada kegilaan dalam bernegara, kegilaan dalam masyarakat, kegilaan dalam suatu sistem sosial yang luas. Apa menurutmu invasi ekonomi yang mengakibatkan hancurnya sebuah negara beserta sistem kenegaraannya yang telah mapan, seperti kasus Irak dan lain-lain, bukan sebuah kegilaan? Apa terjajahnya kebudayaan dengan hegemoni budaya yang lebih besar dan lebih agressif bukan sebuah kegilaan? Apakah pernah kau lihat anak-anak kecil seumur anakmu yang terkecil, yang berusia empat tahun, yang bermain di trotoar median jalan sambil sekali-kali membunyikan kecrekannya dan menadahkan tangan ke pengendara-pengendara yang terhalang lampu merah; dan apakah mereka bukan sebuah kegilaan?
Bukan..bukan, Teman! Bukan itu maksudku. Aku tidak sedang membandingkan hidupmu yang sangat sederhana dengan kompleksitas kehidupan yang lebih besar. Aku hanya sedang memasang cermin di muka kita berdua, saat ini, dan berharap kita dapat melihat wajah kita yang sejati, yang maha luas. Potensi kita adalah yang tak terbendung, pun potensi masalah yang akan kita hadapi, tapi enjoylah. Aku punya sebuah amsal, kau ingin mendengarnya? Ayolah, hanya sebuah kisah! Dan kisah ini kisah yang karikatural, mungkin kau bisa tertawa mendengarnya. Ya, setidaknya tersenyum.
***
Suatu hari seorang yang penuh keraguan datang kepada ‘Yang Bijak’ dengan sebuah kegalauan. Ia bertanya. “ Wahai Guruku Yang Bijak, aku tinggal bersama istri dan anak-anakku juga mertuaku dan anak-anaknya yang lain, dan rumah kami begitu kecil sehingga rumah itu terasa sempit dan sesak. Sesak sampai ke hatiku, rasanya. Tolonglah aku bagaimana melapangkan dadaku, karena aku jadi tak keruan bekerja karenanya.”
Ia Yang Bijak bertanya, “ apakah kau memelihara kucing di rumah?” dan kemudian ketika sang murid menjawab tidak, serta merta Ia memberi jawaban seperti tanpa berpikir, “ peliharalah kucing!”
Sang murid yang begitu percaya kepada gurunya pulang ke rumah dengan membawa seekor kucing yang ditemukannya di jalan. Sampai satu hari ia kembali ke rumah Yang Bijak, dan kembali mengeluh ” Guru, kucing yang Engkau sarankan itu membuat pusing istriku dan tentu saja membuatku pusing juga.” Sang Bijak agak terlihat tersenyum, dan ia berkata “peliharalah kelinci di rumahmu.” Sang murid berkerut mukanya, tapi tak berani membantah dan pamit disertai ucapan terima kasih.
Kini di rumah sang murid terlihat keramaian yang riuh. Kucingnya yang ternyata betina tanpa diketahui siapa suaminya telah memiliki empat ekor anak kucing, begitu pula kelinci yang dibelinya sepasang telah memiliki keluarga kecil pula. Dan rumah yang kecil menjadi benar-benar sesak. Atas saran keluarganya si murid kembali ke gurunya dengan maksud bertanya, tak dinyana ia malah pulang dengan membawa kambing ke rumahnya. Setelah dua hari ia sudah merasa tak tahan lagi, dengan geram ia datang kepada gurunya. Di gubuknya yang sederhana Sang Guru menyambutnya dengan senyum. Kali ini dengan bijak Ia berkata, “lepaslah kambingmu!” Si murid pulang dengan sedikit lega. Kali lain ia datang lagi pada gurunya dan berkata “Guru, kini aku merasa sedikit lega, tapi itu tak cukup.” Sang Guru dengan bijak berkata “lepaskanlah kelinci-kelincimu, mungkin bisa kau berikan kepada orang yang senang memelihara kelinci.” Si murid kembali pulang dengan senyum. Beberapa waktu kemudian ia mendatangi gurunya dengan sedikit keraguan yang masih tersisa, “ Wahai Yang Bijak, sekarang aku merasa cukup lega, tapi terasa ada sedikit yang mengganjal?”
“Kalau begitu biarkanlah kucing-kucingmu keluar dari rumahmu” kata Sang Guru dengan senyum yang mengembang. Kali ini si murid merasa cukup puas dengan jawaban gurunya.
Beberapa waktu berlalu, guru dan murid itu bertemu di jalan, si murid dengan keriangannya berkata pada gurunya “terima kasih Guru, kini aku merasa sangat lapang..”
***
Bagaimana?
Tak cukup lucu? Ya sudah, mungkin aku yang gila karena telah berharap kau akan menjadi waras dengan cerita-cerita semacam ini. Mungkin aku perlu berkaca padamu, atau..
Ya, mungkin aku yang salah karena selalu bercerita seperti ini setiap kau datang padaku dengan masalah-masalahmu. Mungkin aku yang bodoh, sehingga kau jadi ikut-ikutan bodoh karena berteman denganku. Mungkin kau tak perlu ke sini lagi bila datang masalah kepadamu. Mungkin kau harus mencari sendiri; dan aku pun perlu mencari sendiri, untuk segala kebodohanku. Entahlah……………………………………………………………...
yang gerimis tak lain dewa/ dan awan hanya bayangan/ yang menjerit adalah hati,/ tetes air mataku jadi bayangan2
Banjarmasin, Pebruari 2008
Keterangan:
1. Rumi; dari Masnawi
2. Anonim; Galla, Afrika
Sumber:
Hajriansyah. 2009. Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami. Bantul: Frame Publishing
http://aukorganizer.blogspot.co.id/2009/05/monologila.html
0 komentar: