Cerpen M. Rifki: Rembulan yang Hilang di Mataku
Tampaknya senja telah tiba. Ada banyak terdengar suara teriakan anak-anak yang saling bersahutan. Ibu-ibu yang juga sibuk meneriaki anak mereka untuk masuk ke dalam rumah. Kini, ketika senja mulai datang sebelum menjumpai waktu magrib, anak-anak akan cepat berlari masuk ke dalam rumah. Tergesa-gesa menutupi kaca-kaca rumah dan jendela dengan menirai garden.Kata orang, saat senja raib dan malam turun, saat itulah para syaitan dan jin muncul dari langit. Berwajah seram menakutkan. Di kampungku, orang-orang selalu takut pada senja. Anak-anak di sini akan menciut ketika malam baru dimulai. Ya, lingkungan tak pernah berlaku adil. Lingkungan selalu mengajarkan pada anak-anak untuk takut pada hantu meski kenyataannya semua itu hanya imajinasi yang berlebihan.
Sayangnya, sejak kecil aku tak pernah tahu tentang senja, tak pernah mengenal malam. Bagiku semuanya hanya gelap gulita, bagai seorang gadis yang tersesat dalam kegelapan. saat ibu masih ada, ibu selalu menceritakan padaku tentang indahnya senja, langit yang tampak hebat dengan kilauan jingganya. Juga malam, ketika malam tiba, akan ada rembulan yang indah dengan ratusan bintang yang berserakan mengelilinginya. Sayang, aku tak pernah punya kesempatan untuk mengenalnya.
Dulu, waktu aku masih seorang gadis kecil yang manis, ibu telah meninggalkanku dan ayah. Hanya kami berdua dan ibu selamanya tak akan kembali. Tentu tak ada pula yang akan menceritakan padaku tentang senja, malam dan rembulan. Ayah? Ah, percuma, ia tak pernah peduli. Setiap hari kerjaannya hanya membentak dan marah-marah. Sejak ibu tiada, rumah seperti sangkar burung dan akulah sebagai burungnya.
Sungguh, aku menyesal pernah berharap ada orang yang mau berbaik hati mengenalkanku tentang rembulan.
Aku menyesal. Dan saat itulah dia datang.
***
Dulu, sejak ketika ibu pergi, tak ada lagi orang yang sepeduli ibu. Ayah entah mengapa berubah ganas. Dan aku setiap hari hanya seperti mangsanya, satu kali membuatnya geram, maka satu libasan rotan akan membantai punggung. Untunglah masih ada Bu Masnah, tetangga yang masih peduli pada kami, mungkin lebih tepatnya padaku.
Namun, semua tetap tak berubah. Tetap sepi. Semua bagiku hanya gelap, kosong dan hampa. Tak ada lagi ibu, tak ada lagi cerita-ceritanya tentang rembulan, senja dan malam. Dan di saat itulah dia datang. Tak ada seorangpun yang tahu dan mengenalnya. Awalnya aku juga ragu dan merasa takut, namun dia terus menyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ketika itu dia datang menemuiku saat bunyi jangkrik saling bersahutan, kata dia kala itulah malam tiba.
setiap hari dia akan datang menemaniku ketika senja perlahan memudar. Jujur, sebenarnya aku tak pernah tahu kapan senja itu datang, tapi yang kutahu lewat ceritanya, jika dia datang saat itulah bersamaan langit melenyapkan cercahan senja. Dan aku akan selalu senang menunggunya dari balik bingkai jendela. Aku tak pernah tahu bagaimana dia bisa masuk ke kamarku, sempat rasa penasaran itu ingin kutanyakan namun urung. Dia selalu mengalihkan pertanyaan yang kulontarkan dan malah hanya kembali melanjutkan ceritanya.
Aku juga tak pernah mengerti mengapa dia mau berteman dengan gadis buta sepertiku dan berbaik hati menggantikan peran ibu. Sayangnya, semua pertanyaan itu tak lagi begitu kupedulikan.
Kata dia, senja itu bagai rumah. Rumah yang teramat nyaman. Dan dia selalu menikmati senja terlebih dahulu sebelum datang menemuiku. Entah sudah senja yang keberapakah dan dia tak pernah sekali pun tidak datang dan bercerita. Kata dia juga, kini banyak anak-anak yang tak pernah lagi mengagumi keelokan senja dan malah ketakutan, dia sangat benci mereka itu.
Aku jadi teringat dengan Bu Masnah, ia pernah bilang sesekali saat memberikan makanan untukku tentang senja. Ketika itu juga sedang asyik-asyiknya langit dipenuhi jingga, ia waktu itu terburu-buru berlari menemuiku. Aku tahu itu dari nafasnya yang kian tak teratur.
“Kenapa, bu?
“Aisyah, ibu sangat takut senja. Anak-anak ibu semuanya sudah ibu peringatkan agar tidak keluyuran saat senja.”
“Ada apa dengan senja? Bukankah senja itu indah?”
“Tidak. Kamu salah, malah ibu takut, sangat takut, karena saat senjalah makhluk-makhluk jahat bermunculan untuk mengganggu hidup kita, Aisyah.”
“Makhluk jahat? Maksud ibu?”
“Hantu.. Ah udah ah, ibu pulang dulu.”
Aku menelan ludah. Hantu? Untungnya aku tak pernah bisa melihatnya. Dan dia pun saat kutanya tentang hantu hanya tertawa menanggapi. Semula aku ragu, namun akhirnya keraguan itu luntur dan aku tak pernah lagi percaya akan hantu.
Suatu hari ayah akhirnya tahu bahwa aku berteman dengannya. Celaka. Tapi, ada yang aneh, sebenarnya ayah tak pernah marah padanya atau mengusirnya. Tak pernah. Ayah hanya membentakku dan mengatakanku orang gila yang bicara sendiri, tertawa sendiri.
Dan semua semakin ganjil, saat dia di suatu malam mengajakku jalan-jalan di tengah cemerlangnya bintang dan ketika rembulan sangkut di tengah langit. Kami pun tertawa sepanjang jalan, anehnya, keesokan harinya orang-orang pun juga mengganggapku orang gila. Tak terkecuali Bu Masnah, ia juga ikut-ikutan menganggapku tak waras. Ayah pun semakin geram dengan semua itu dan tak segan-segan membantaiku semalaman dengan pecutan rotan. Toh, kala itu semua orang menjauhi keluarga kami, bahkan gara-gara tingkahlakuku itu ayah dituduh memelihara tuyul. Astaga, sebenarnya aku pun tak tahu mengapa semua orang bersikap begitu padaku.
Maka malam itu ayah benar-benar menghajarku dengan pecutan rotannya tanpa kasihan. Aku mengaduh, mendadak dia pun datang. Suasana juga mendadak hening. Suara seperti lenyap. Kebisingan malam turut sontak senyap seketika. Juga ayah, entah mengapa menjadi tenang, aku tak tahu sedang apa yang terjadi. Yang kutahu dia datang dan ayah langsung begitu saja mengakhiri libasan rotan yang ia libaskan ke tubuhku. Lalu dia pun dengan riangnya seperti biasa mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Ayah juga akan baik-baik saja, malah kata dia ayah tak akan lagi berlaku kasar padaku. Tak akan lagi. Justru ia akan jadi ayah yang ramah.
Dia benar. Besoknya ayah sempurna benar berubah, tidak seperti biasa yang selalu kasar saat menemuiku. Tak ada lagi bentakan keras. Tak ada pula lagi pecutan rotan yang mengamuk-amuk. Aku sangat senang, nanti saat menemuinya lagi, aku akan berterimakasih sekali. Seharian aku menunggunya, meraba-raba kaca jendela, apa panas atau tidak, karena hanya itulah cara yang kubisa untuk tahu siang ataukah malam. Meraba-raba layaknya seorang gadis terkurung dalam penjara kaca.
Malam itu aku sungguh kaget ketika dia mengajakku dan ayah untuk pergi ke rumahnya di tengah hutan, di sebelah barat kampung. Kata dia ini yang harus kulakukan sebagai balasan terimakasih. Hei, tunggu! Sejak kapan dia dan ayah menjadi akrab. Ah, sudahlah, itu tak penting.
Dia juga berjanji jika aku mau ikut, maka rembulan di langit itu dapat kulihat. Aku takkan lagi menjadi gadis buta. Benarkah? Aku ragu, namun dia terus memaksa dan berusaha menyakinkan, bahkan ayah ikut menyeretku agar mau ikut kesana.
“Untuk apa?” tanyaku penasaran.
Dia tertawa kecil. Kata dia, semua itu untuk menunjukkan padaku betapa indahnya rembulan. Betapa indahnya saat seseorang itu punya mata dan dapat melihat segalanya. Sungguh? Aku bahagia sekali mengetahuinya lantas membiarkan dia membimbingku dan ayah menuju rumahnya. Namun, entah mengapa saat itu aku merasa begitu ketakutan. Burung hantu juga meneriakiku. Suara malam yang mistis ikut seolah memainkan melodi kematian. Mencekam.
Lalu dia perlahan menempelkan telapak tangannya di mataku, menyuruhku untuk serapat mungkin menutup mata. Aku gemetaran, lalu ayah memelukkan erat jari-jarinya ke jariku. Menyakinkan. Tapi aneh, tangan ayah seperti beku, terasa sangat dingin. Dan dia pun kemudian menghitung mundur, dan saat hitungannya berakhir, dia menyuruhku untuk membuka mata dan mendongakkan kepala ke langit.
“Ya tuhan, benarkah? Aku bisa melihat, ini sungguh nyata. Rembulan itu nyata. Sangat indah seperti yang diceritakan ibuku,” teriakku kegirangan.
Sayangnya, ketika aku menoleh ke samping, ingin menatap wajah ayah, namun oh ibu, orang yang memegang tanganku itu bukan ayah. Tak mungkin ia ayahku. Tak mungkin. Aku tak percaya, orang itu bahkan tak mempunyai mata dengan mulut yang menganga hingga ke telinga. Mungkinkah itu hantu?
Aku menyesal mengenal dia. Di mana ayahku?
Ibu, Aisyah takut, bu.
***
Kata orang, aku di temukan di tepi sungai. Tubuhku larut dan dipenuhi oleh luka dan bekas darah. Untungnya aku masih bisa selamat meski tak sadarkan diri seminggu. Bu Masnahlah yang entah mengapa masih berbaik hati mau menolong dan merawatku. Tapi, aku kembali menjadi gadis buta. Tak apa. Aku tak pernah menyesali menjadi gadis buta. Tak pernah menyesal dengan takdir ini. Seperti debu yang dihembuskan angin, dengan ringan hati berpasrah diterbangkan entah ke mana, tersesat entah ke mana. Namun, debu tak pernah mengeluhkan angin. Ya, aku juga tak perlu mengeluhkan takdirku.
Sedang ayah, yang kutahu, ia telah meninggal. Kata Bu Masnah, ia meninggal tiga hari sebelum aku terkapar di tepi sungai. Mayatnya juga baru kemaren ditemukan seseorang saat sibuk mencari ranting kayu di hutan.
Kini, semuanya telah pergi. Ibu, ayah, semuanya benar meninggalkanku. Semua telah hilang. Juga rembulan, sungguh telah menghilang dari pandanganku. Aku tak akan pernah lagi dapat memandangnya.
Tak seperti waktu itu, meski sesaat, namun aku sangat menikmati betapa indahnya menatap rembulan, dan mungkin itu pula terakhir kalinya aku bisa melihat. Sayang, kini rembulan sungguh hilang dari pandanganku.
Rembulan hilang di mataku.
Maibelopah, 31 Desember 2015
Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/01/cerpen-mistis.html
0 komentar: