Cerpen M. Rifki: Andai Saja
Ibu semakin menundukkan kepalanya sambil menekuk lutut. Alang-alang cemas dengan duduk di paling pojok kursi. Tak ada senyum atau gurat tawa pada lengkung bibirnya. Ia selalu begitu setiap hari. Biarlah. Mana mungkin aku berharap pada sosok ibu saat ini yang pada rasa cemasnya pun kalah, apalagi menolongku. Ia memang dihantui rasa cemas dan khawatir yang melimpat batas. Kerap takut dan sering memilih membenamkan diri dalam pelukan setengah badan. Atau kadang, tanpa bisa ia kendalikan rasa cemanya meresap di pikirkannya yang memaksanya mengamuk buta. Rasa khawatirnya kadang sangat menggila, menghantam apa saja tanpa peduli. Maka jangan heran jika kaca-kaca rumah kami tak ada yang utuh.Mungkin inilah yang menjadi alasan kakek merubah rumah serupa sangkar dan aku sendiri yang menjadi burungnya. Semenjak ayah meninggal, sejak itulah rasa cemas ibu melonjak besar. Penyakitnya itu membuat rumah ini resah. Rasa depresi berat dan takut tercampur aduk dan kerap melecuti ibu. Hingga aku terpenjara di rumah ini oleh kakek. Hanya saat sekolah lah aku bisa melangkah bebas di luar rumah, selain itu hanya kuhabiskan sisa jengkal umur di rumah ini. Kakek bilang, takut kenapa-napa, takut nanti penyakit cemas ibu akan bertambah parah. Tentang ayah, cukup sudah membuatnya menderita. Kakek memang takut semua itu dan dengan kepala batu ia memaksaku jadi burung yang tersangkar di sini.
Aku benci ini. Aku 'kan sudah dewasa, bisa sendiri menjaga diri. Tapi kakek memang berkepala batu, alasannya selalu saja ia buang dan tak peduli. Malam ini, kuharap ia mengerti, semoga tak ada bentak atau perdebatan yang menjengkelkan. Dan kini, sudah lebih satu jam aku menemaninya duduk di teras rumah, meresapi setiap hembusan nafas malam yang dingin dan kian larut. Melewati detik demi detik yang membosankan.
"Kek.." tegurku.
Ia menoleh, memperbaiki posisi duduknya yang menghadap halaman rumah. Menatapku. Sebenarnya ia buta, tak pernah sungguh memandangku dan mana tau ia bahwa semenderita apa aku dibuatnya.
"Kek, besok Kaila mau pergi."
Ia tak jauh beda berposisi dari pertanyaanku yang pertama. Masih bungkam.
"Besok Kaila mau pergi melihat untuk melihat gerhana."
"Tidak," jawabnya santai.
"Mengapa? Tapi mengapa, kek?"
"Tidak.." ia kembali mengatakan kata itu.
"Kakek egoes. Apa hidup harus aku habiskan di tempat yang tak lebih beda dari sel tahanan. Untuk apa? Agar aku baik-baik saja?"
Ia diam
"Kek,.untungnya Kaila punya mata untuk menikmati keindahan tuhan, tidak seperti kakek yang buta," tambahku.
"Cukup!" kakek berteriak garang. Suaranya tak kalah garang dari mandor-mandor terminal. Sayangnya, teriakannya itu menyeret penyakit tuanya. Ia terbatuk-batuk, bahkan sampai menyemburkan darah dari mulutnya. Sontak, aku pun panik. Bi Inap yang dari tadi takut-takut mengintip bergegas menjemput kakek. Gegabah membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ka-kek tetap tak me-ngizin-kan-mu." itulah kata penutup yang ia muntahkan malam ini.
Ah, hidup ini jahat! Hidup ini tak adil! Malam inipun menjadi yang kesekian kalinya aku mengumpat. Andai aku tidak dilahirkan, mana mungkin aku akan punya kakek buta yang bagai diktator mengurungku di rumah. Andai saja, mungkin aku takkan repot melayani ibu yang entah bisa kapanpun mengamuk. Andai saja, ah, percumalah mengutuki hidup. Untuk apa? Tak merubah apapun.
Pintu kamarku malam ini kembali menjadi budak pelampiasan kekesalan. Dibentak kasar, di dihantam kasar, lantas tertutup dengan menyisa getar hentakan. Dan dalam selimutlah pula aku akan membenamkan diri.
Tok tok tok.
(Ada bunyi ketukan)
Tok tok tok.
Aku tak peduli.
***
"Kaila, bangun!"
Sebuah elusan lembut menyentuh tiap helai rambutku. Sebenarnya aku tak ingin bangun. Malas menyikap pekupuk mata, rasa kecewa malam tadi masih menggelanyuti separuh hatiku. Toh, buat apa bangun? Tapi elusannya itu semakin lama kian kuat memaksaku bangun.
"Ah, ibu.." sontak aku terkejur. Bagaimana bisa ia masuk ke kamarku, bukankah malam tadi telah kukunci rapat.
"Jadi 'kan hari ini kita melihat gerhana?" tanyanya.
Hah? Melihat gerhana? Ini baru kali pertama ia mengajakku pergi. Bagaimana mungkin?
"Yuk cepat siap-siap," ajaknya.
Belum sempat rasa penasaranku pecah, ia buru-buru menyuruhku bersiap. Hei, apa yang terjadi? Lantas bagaimana dengan kakek?
"Kakek?"
"Tenang, sudah ibu bereskan."
Ya, mungkin semua baik-baik saja. Tak ada yang perlu dicemaskan. Bahkan wajah wanita itu tampak bening, tak ada raut atau cemas seperti hari-hari biasa.
"Kaila cepat!"
***
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi saat kami pergi, ibu sama sekali tak mengkhawatirkan apapun. Penyakitnya seolah raib pagi ini. Biarlah, aku tak peduli, yang terpenting rasa jejal di penjara itu kubobol hari ini. Aku bebas. Ini kali pertama pula aku dan ibu pergi berdua menyisiri taman kota. Ikut bergabung di kerumunan orang-orang berkacamata hitam. Mereka ke sini juga ingin menyaksikan akrobatik matahari dan bulan yang beradu. Berbondong-bondong menyesaki taman kota. Sejak pagi masih buta, mereka rela menunggu di sana, hingga bayang gelap perlahan menggauni langit. Lalu lalang jalanan pun terhenti sejenak dan ibu untuk pertama kalinya merasa sangat senang menyaksikan langsung detik demi detik ketika matahari menjadi cincin.
Dan sehabis itu kami akhirnya pulang. Aku masih penasaran dengan kakek. Tapi ibu selalu diam saat ditanya. Wajahnya entah kenapa kian pucat setiba di rumah. Sayangnya, aku tak begitu menghiraukannya dan langsung menerobos pintu rumah. Rasa senang yang memuncak ingin segera kuceritakan pada kakek. Tapi...
"KAKEK.."
Tidak. Ini tidak mungkin. Kakek terkapar di paling pojok kamar dengan luka menganga di bagian perut. Ya Allah, siapa yang melakukan ini?
Tak lama setelah itu, tiba-tiba sebuah langkah berat terseret mendekat. Itu ibu yang datang sambil menggenggam pisau berlapis darah.
Aku tak percaya, rasa cemasnya itu kembali menggila.
"Tuhan, ini kah takdirku?"
Maibelopah, 19 Maret 2016
Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/03/bc.html
0 komentar: