Cerpen M. Rifki: Pelangi Sie Sie

23.20 Zian 0 Comments

Lelaki tua itu mengigit bibir, menatap iba gadis kecil yang memeluk boneka panda itu terbatuk-batuk menyebut namanya. Berterimakasih setulus mungkin. Napas gadis kecil itu tak teratur lagi, hampir habis. Ia memaksakan, sekali lagi menyeringai tersenyum. Senyum yang mungkin terakhir kalinya ia sumringahkan.
"Izinkan Sie Sie memanggil Pak Penjaga Panti ayah." Gadis kecil itu benar-benar memaksakan diri. Tak peduli dengan dadanya yang menusuk-nusuk dari tadi. Lihatlah, matanya penuh embunan yang hampir pecah. Matanya yang penuh sembilu, melesat terlontar dan menusuk-nusuk hati. Lelaki tua itu tak tahan lagi untuk tidak menyeka pelupuk matanya. Susah payah dari tadi sok tegar tak menangis yang kini semua itu hanya sia-sia. Ia sungguh terharu, menyesal. Kini ia sadar, sayang kesadaran itu kesadaran itu datang amat lambat sejalan siput. Meski ia mengeluh, mengaduh, membayar waktu dengan semua uangnya, berharap ia bisa membayar kesalahannya, memperbaiki masa lalunya yang buruk. Sayang, semua itu mustahil.
Gadis kecil itu pelan menutup matanya, ini untuk terakhir kalinya ia melihat lelaki tua itu tersenyum untuk menganggu-ngangguk canggung yang berarti jawaban ya untuk Sie Sie.

"Te.. ri.. ma.. ka.. sih.. a.. yah."
Hening menyambar ruangan bercat putih di sana. Peralatan medis ini rupanya tak banyak membantu. Baru saja lelaki tua itu menangis, baru saja lelaki tua itu menyesal atas segalanya. Meronta sendiri entah apa, dan baru saja waktu melesat menghajarnya. Menyeretnya kembali mengingat masa lalu itu.
Ya, waktu itu...

***

Sie Sie nama gadis kecil itu. Sore tadi ia sungguh menyesal. Pak penjaga panti itu pasti marah besar saat tahu peci barunya rusak, kotor, ketumpah kopi. Pekat hitam utuh membalut peci itu. Gadis kecil itu tadi tak sengaja bersih-bersih ke kamar pak penjaga panti. Niatnya baik, ingin membersihkan kamar. Semua masih baik-baik saja waktu itu. Sie Sie hanya terlalu baik sok melipatkan baju-baju pak penjaga panti. Membereskan buku-buku yang berserakan. Sie Sie hanya berharap sekali saja pak penjaga panti itu baik padanya layaknya seorang ayah. Sayang niat baiknya itu malah membuatnta celaka. Ia tadi tak sengaja merapikan buku, tersenggol secangkir kopi dan jatuh, tumpah. Celaka, percikan hitam kopi itu mengenai peci baru pak penjaga panti. Padahal baru kemaren ia beli di pasar. Sangat mahal. Niatnya sih mau dipakai pas acara Mauludan Rasul di Masjid Al Karomah Martapura. Maunya sih biar bisa pamer. Tapi lihatlah, peci itu kini tak lagi sebagus asalnya. Hitam. Bau. Kotor. Tak cukup sehari saja untuk membuatnya bersih kembali. Sie Sie lantas mencicit melihat itu, lalu buru-buru ia bersihkan. Buru-buru pula pergi. Menggigil ketakutan saat keluar dari kamar. Pupus sudah niat baiknya. Semua telah roboh, bagai lumpuh. Tidak. Gadis kecil itu masih lah berharap, masih bermimpi, suatu saat nanti pak penjaga panti itu pasti akan jadi ayah yang baik untuknya.
Entahlah, saat malan tiba, saat semua anak yatim itu berkumpul di ruang tamu. Pak penjaga panti itu datang menggarang. Melotot, mukanya memerah padam. Mengepalkan tangan kirinya dan tangan kanannya mengenggam erat sebuah rotan. Bagai siap mengaduk-ngaduk seisi rumah dengan amukannya. Berteriak kencang.
"Siapa yang melakukan ini!" Pak penjaga panti itu nyaris kehabisan suara.
Semua anak tertunduk. Menelan ludah. Maka satu libasan rotan langsung melesat mengahantam dinding, tanda membentak.
"SIAPA!"
Sekali lagi hanya diam. Tak ada seorang pun yang berani bersuara.
"S-I-A-P-A, kalau tidak kalian semua akan..."
Belum selesai pak penjaga panti itu berbicara, belum sempat libasan rotan berikutnya ia pecutkan, Sie Sie buru-buru berdiri. Mengakuinya. Suaranya terdengar lirih. Tercekat.
Tanpa ampun, tanpa kasihan pak penjaga panti itu menyeret Sie Sie. Mendorongnya hingga jatuh. Memukulnya hingga menangis. Dan pecutan-pecutan rotan pun juga tanpa ampun menghantamnya. Sie Sie mengaduh kesakitan. Berteriak meronta pedih. Percuma. Pak penjaga panti itu sama sekali tak menghiraukannya. Ia tak peduli. Malah benar-benar marah, toh, bukankah peci barunya rusak sebelum ia pakai. Padahal ia sudah bersusah payah menyisihkan uang untuk menabung, buat membeli peci itu. Tapi gadis kecil itu begitu mudah merusaknya.
"Dasar anak yang tak tahu berterimakasih."
Sie Sie menelan ludah. Menangis.
"Pak, maafkan Sie Sie pak, maafkan Sie Sie."
"Kamu pikir maaf saja sudah cukup!?"
Sie Sie meraung kesakitan. Pecutan rotan itu semakin keras. Bertubi-tubi menghantamnya.
Dan saat malam semakin pekat dengan hitamnya, rinai kecil perlahan berlarian jatuh dari langit. Sie Sie akhirnya bisa bernapas lega. Malam itu ia kesakitan, tak bisa tidur. Meringis.
Ayah, maafkan Sie Sie yang merusak peci itu.

***

Hari-hari ia dibentak. Hari-hari dimarahi. Tapi Sie Sie tak pernah mengeluh, membalas semua itu dengan tersenyum. Malang nasib anak-anak yatim itu. Pagi-pagi mereka disuruh kerja. Pagi-pagi disuruh minta-minta ke pasar, ke toko-toko penjual intan, ke toko-toko penjual kain sasirangan, terminal, ah dimana pun, mereka semua dipaksa kerja oleh pak penjaga panti. Dan ketika senja baru dimulai baru mereka boleh pulang dengan membawa hasil minta-minta seharian. Semua anak yatim itu hanya sandiwaranya pak penjaga panti, lelaki tua itu juga sandiwara. Ya, Sie Sie sebenarnya sadar tentang semua itu. Di kampung Melayu, desa mereka siapa yang tak mengenalnya. Semua orang tau dengan pak penjaga panti yang sok alim, sok baik dengan anak yatim ketika di hadapan orang. Semua itu hanya kepura-puraan. Bagai fatamorgana. Sama ketika ia berjalan keluar rumah, ketika ke masjid, ke majlis, ke manapun ia selalu memakai jubah, memilin tasbih di tangannya. Sok alim, sok banyak ibadah. Namun semua itu hanya bayangan, lihatlah sosok aslinya, mengerikan. Anak-anak yatim itu bukannya mendapat hak mereka, disayangi, dikasihi, eh malah dibentak, dipaksa kerja dan tiap hari pula mesti menyetor hasil kerjanya.
Semua anak yatim di sana juga tahu tentang semua itu. Sayang, tak ada yang berani melawan. Mereka benci, ingin memberontak, tapi mereka bisa apa? Mereka seolah ditikam oleh pak penjaga panti. Cemas, entahlah, yang pasti mereka takut dengannya. Dan ketika semua anak itu membencinya, Sie Sie selalu membela pak penjaga panti. Ia tak pernah membenci malah berterimakasih. Meski paling sering dibesut pecutan rotan, dimarahi habis-habisan, namun gadis kecil itu tak pernah memedulikannya. Bahkan sejak ketika ia tak sengaja mengotori peci pak penjaga panti, ia kerap tiap hari dimarahi. Selalu disalahkan. Namun, ia memang bebal, anak yang keras kepala. Meski begitu ia masih berharap pak penjaga panti pasti akan menjadi ayah yang baik untuknya. Ia pasti berubah. Entah kapan itu, ah ini hanya mimpi kecil Sie Sie.
Hari itu Sie Sie lagi-lagi tak sengaja minta-minta ke toko sasieangan. Padahal ia tak pernah ke sana, biasanya pun hanya minta-minta di terminal. Entah mengapa hari itu ia tak sengaja ke sana. Meneteng kotak kecil bertulisan Rumah Anak Yatim Kampung Melayu, berbaju muslim dengan kerudung coklat bermotif bunga-bunga. Wajahnya dibikin mengiba sebisa mungkin, meminta dengan suara pelas, begitu seperti yang diajarkan pak penjaga panti kepada anak-anak yatim.
Mata gadis itu tak sengaja pula tertuju pada kain sasirangan warna ungu. Anggun. Ia selama ini tak pernah lagi punya baju baru. Terakhir kali ia punya baju baru setahun yang lalu, itupun hasil tabungannya sendiri. Tapi, tentunya kain itu mahal, ia tak begitu banyak punya uang. Bukankah kain itu mirip kain yang dipakai pak Presiden SBY, kata pak penjaga panti sewaktu bercerita, itu kain khas daerah Kalimantan Selatan.
"Dek, dek, ini tante mau nyumbang." Perempuan penjual kain sasirangan itu memasukkan dua lembar uang berwarna merah ke dalam kotak kecil Sie Sie, memecahkan lamunannya.
"Terimakasih..."
Sie Sie beranjak pergi. Meninggalkan toko itu dengan langkah berat terseret. Hatinya mulai meraba-raba penuh harap. Berharap pada pak penjaga panti?
Oya, dua hari lagi Sie Sie 'kan ulang tahun. Gadis kecil itu pun menyeringai sendiri.

***

Malam itu Sie Sie sibuk sendiri di teras rumah. Tak peduli meski rinai membaur di tengah indahnya taburan bintang, sedikit usil mengganggunya. Dingin. Gadis kecil itu tak peduli, tetap sibuk menulis-nuliskan sesuatu di atas kertas. Besok pagi-pagi ia ingin menyerahkannya kepada pak penjaga panti, sekalian mau mengingatkannya tentang dua hari lagi ia akan berulang tahun. Tidak. Sie Sie ragu, takut. Bukankah pak penjaga panti teramat membencinya. Tidak, tidak ada salahnya 'kan mencoba. Ah, gadis kecil itu plin plan.
Malam itu Sie Sie sedang membanting hatinya di antara dua pilihan. Sebenarnya ia sangat menginginkan kain sasirangan itu.
Setetes air menyentuh lembut pipinya. Rinai tadi kian membesar, semakin melebat hingga memaksanya masuk kedalam rumah. Dan malam itu, ketika hujan menyentuh bumi dengan lebatnya, deras. Pak penjaga panti tak ada di rumah. Tak ada pula yang tahu ia di mana.
Ctar..
Guntur meraung. Petir pun ikut mengakar di langit-langit hitam. Pak penjaga panti itu tak ada di mana pun. Sie Sie telah mencarinya ke tiap ruangan. Namun tak ada, di mana ia?
"Sie Sie, kau mencari pak penjaga panti?" Seorang laki-laki tiba-tiba mengejutkannya. Gadis kecil itu hanya menggangguk.
"Untuk apa, kawan? Bukankah selama ini dia jahat dengan kita, menyiksa kita sehina binatang."
Sie Sie diam.
"Dia tetaplah orang baik," Sie Sie akhirnya sanggup untuk berujar.
"Kamu yakin? Bukankah dia sering memukulmu, menghukummu kejam. Ya tuhan Sie Sie, kamu masih menganggapnya orang baik?" Lelaki yang bernama Farhan itu lalu asyik mengusap rambutnya. Lelaki itu benar juga.
"Kamu khawatir? Mencemaskannya?"
Sie Sie hanya mengangguk lemah mengiyakannya.
"Dia itu kejam, Sie Sie.. K-E-J-A-M."
"Tidak!" Sie Sie menyela, "dia.. dia adalah ayah kita. Aku percaya itu. Kamu ingat? Siapa lagi yang mau memungut kita dari kerasnya hidup di jalanan? Hanya dia Farhan, hanya dia. Kamu boleh saja menganggapnya kejam. Boleh. Tapi, aku masih yakin, suatu saat ia pasti akan menjadi ayah yang baik untuk kita."
Demi mengucapkan kalimat itu, Sie Sie bersusah payah menahan airmatanya. Memeluk erat boneka pandanya yang ia bawa dari tadi.
"Kamu ingat, Farhan? Ini ialah boneka yang dia hadiahkan saat aku ulang tahun dua tahun yang lalu, aku masih ingat, aku sangat menghargainya."
Perdebatan itu akhirnya usai dengan airmata. Sie Sie memeluk erat boneka pandanya yang ia dapat saat berumur delapan tahun.
"Kamu tau di mana dia sekarang?" Farhan mulai memancing lagi.
"Malam ini tampaknya dia sedang berpesta judi di terminal bersama teman-temannya dengan uang yang kamu dapatkan di toko sasirangan tadi. Mungkin besok baru pulang." Farhan pun lalu pergi, tak lagi memedulikan gadis kecil itu. Sie Sie menggigit bibir. Benar saja, ia teringat, bukankah tante di toko tadi memberinya uang dua ratus ribu. Lumayan banyak.
Pak penjaga panti berjudi? Ia tak percaya. Besok, pagi-pagi ia akan membuktikannya.

***

Pagi-pagi ia pergi. Saat hari baru dimulai. Saat semua orang dengan harapannya mulai merangkai mimpi, siap untuk memulai hari. Sie Sie juga memulai hari itu dengan penuh pengaharapan. Berharap kabar baik dari langit itu benar untuknya. Maka, sambil membawa boneka panda dan kertas yang ia tulis malam tadi, ia pun pergi mencari pak penjaga panti di terminal. Menerobos pasar yang jejal dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk berjual beli. Menikmati sunrise yang menyingkap malam. Indah. Sudah lama ia tidak menikmati semua itu. Biasanya tiap pagi, ia harus menyiapkan segalanya untuk pak penjaga panti. Beres-beres rumah pagi-pagi, mengambil air sumur pagi-pagi. Ya, pagi-pagi ia selalu sibuk. Tak sempat untuk bersantai meski sekedar untuk menatap indahnya sunrise. Namun, meski begitu, Sie Sie tak pernah merasa jengkel dan benci pada pak penjaga panti. Ia amat tulus melakukannya, seperti kebaktian seorang anak kepada ayahnya.
Terminal itu terlihat lengang. Tidak. Tidak seperti kelihatannya, gadis kecil itu mendengar kegaduhan hebat di belakang terminal. Ia bergegas ke sana, berlari. Ia amat yakin pasti di sana ada pak penjaga panti. Sie Sie benar. Lihatlah, pak penjaga panti itu memang di sana sedang meringis ketakutan. Ada lima orang di hadapannya yang terlihat menggarang. Bersiap memukul. Ada apa ini? Apa salah pak penjaga panti?
"Hei, kamu tak akan bisa pergi. Malam tadi hingga pagi ini kamu boleh saja menang judi. Tapi pagi ini kami sudah hilang kesabaran. Serahkan uang itu atau kamu mau mati di sini, MATI!" Salah satu di antara lima orang itu berkata lantang sambil memegangi erat sebuah tongkat. Bersiap menghantamkannya.
"Tidak. Kalian tidak boleh menyakiti orang ini. Tidak boleh. Ia ayahku."
Sie Sie mendadak berdiri di hadapannya. Merenggangkan tangan sebagai tanda ingin melindungi.
Sayang lima orang itu menuli. Sama sekali tak peduli dengan gadis itu. Malas berdebat. Maka tanpa tuding langsung saja menghajar Sie Sie. Memukul kepalanya keras dengan tongkat. Berdarah. Melihat itu pak penjaga panti demi pertama kalinya nyaris menangis, susah payah melindungi Sie Sie. Tidak. Tidak akan bisa. Ia hanya menciut ketakutan melihatnya. Beruntung tak berselang lama polisi pun datang dan mereka pun bercerai berai pergi entah kemana. Meski begitu, Sie Sie sudah terlanjur sekarat. Tubuh ringkihnya menggigil kesakitan. Dan demi pertama kalinya pak penjaga panti itu menangis sambil mengangkat tubuh ringkih Sie Sie yang erat tangannya memeluk boneka panda.
Pak penjaga panti pun menelan ludah.

***

Sie Sie baru siuman setelah enam jam terkapar di rumah sakit. Kepalanya penuh oleh liliran perban. Selang-selang kecil semacamnya, entahlah.
"Pak penjaga panti baik-baik saja?" Sie Sie langsung bertanya pada lelaki tua di hadapannya, lalu saling bersitatap. Lelaki tua itu pun lalu mengangguk kaku. Mulai berpikir tentang ya tuhan, padahal kondisinya ini lebih memprihatinkan. Sekarat. Tapi masih sempat memikirkan nasib orang lain.
"Izinkan Sie Sie memanggil pak penjaga panti ayah."
Lelaki tua itu samakin tak terkendali lagi menahan airmatanya. Ia mengangguk canggung lagi. Tak kuasa berucap apa-apa.
"Te.. ri.. ma.. ka.. sih.. a.. yah.."
Dan hari itu, untuk terakhir kalinya lelaki tua si pak penjaga panti itu mendengar suara Sie Sie. Sie Sie yang selalu baik padanya. Sie Sie yang amat menghargai boneka panda pemberiannya dua tahun lalu.
Hei, tunggu! Gadis kecil itu menggenggam erat secarik kertas. Sungguh, ketika lelaki tua itu membaca isinya, ia benar-benar dibuat sedih, mengutuk dirinya sendiri. Menyesal. Sedih karena telah menyia-nyiakan gadis kecil itu.
Lihatlah, kertas itu bertulisan amat memilukan; terimakasih karena pak penjaga panti sudah mau baik hati menjaga Sie Sie, telah menjadi ayah yang baik untuk Sie Sie. Sehari lagi Sie Sie ulang tahun, kalau boleh Sie Sie mau minta belikan kain sasirangan warna ungu. Ayah terimakasih untuk semuanya. Maaf karena Sie Sie sering membuat ayah marah. Maaf, Sie Sie harap pak penjaga panti adalah ayah yang menjadi pelangi untuk Sie Sie.
Lelaki tua itu pelan bersuara parau saat membaca kalimat 'pelangi untuk Sie Sie'.
Pelangi untuk Sie Sie?


Maibelopah, Sabtu 28 Nov 2015

0 komentar: