Cerpen M. Rifki: Laki-laki Cantik
Kepul asap kopiku mulai samar, tak lagi begitu tebal. Kopi, ah bagiku kopi bukan sekedar minuman yang hangat. Bukan. Bagiku kopi bagai penghubung yang mengantar tentang masa lalu dengan dia. Aku selalu menikmati detik-detik saat seduhan panasnya menyentuh lidah dan masa lalu itu di detik yang sama pula menyeretku dalam bayangan dia. Terkurung dalam masa lalu bersama dia. Aku selalu menikmati kopi saat rinai-rinai kecil seenaknya berlarian jatuh dari langit, persis ketika dingin membungkus seisi kota dan kopi akan menjadi pendamping setia yang sempurna, seperti dia. Dia yang mendampingiku.Setahun terakhir, hari-hariku harus terbiasa kosong darinya. Membosankan. Setahun penuh aku terus memaksa hati melupakan segalanya tentangnya, mencoba mengubur mati rentetan kenangan itu. Percuma. Semakin segalanya kutikam kuat, malah balik bagai bomerang, menyerang balik tanpa ampun. Menderita. Hingga aku menemukan tambatan hati yang tepat untuk mengusir kegaduhan hati yang merindukannya.
“Mas, pesan satu kopi hangat lagi.”
Ini kopi yang ketiga kalinya kupesan. Biasanya saat kopi kedua kupesan, rinai-rinai kecil hujan sudah berhenti meleleh dari atap. Namun, malam ini hujan merangkak lebih lambat untuk berhenti. Kian asyik menghambur-hamburkan air di malam minggu ini.
Malam minggu yang sama sepinya dengan minggu-minggu lalu. Sama saja dengan malam biasa. Tetap sendirian. Meski begitu kebiasaanku menyeduh kopi hangat di kafe ini selalu berjalan lancar dan indah ditemani ribuan rinai yang bising bagai memainkan melodi musik tanpa larik. Seolah bersamanya, berdialog dengannya melalui rinai hujan dan hembusan kepul asap kopi.
Aku seakan bisa melihatnya, ya, samar terlihat senyumannya mengambang dibalik kepul asap. Malam ini, lagi-lagi masa lalu itu menyeretku.
Dia tersenyum.
***
Malam itu hujan juga sedang asyik menyentuh bumi, tumpah ruah bersama dingin yang malam itu dibalutnya. Aku mengenalnya melalui rinai-rinai hujan. Karena saat hujan beradu dia akan datang menghampiriku untuk sekedar berteduh dan meminta seseduh kopi. Malam itu hujan tak terbendung deras tumpah dari langit. Atap-atap berisik seperti melolongkan kesakitan dihajar hujan. Dan saat itulah dia datang untuk pertama kalinya. Kami pun lalu saling berkenalan. Tak sengaja numpang berteduh, menunggu hujan untuk mempersilahkann ya pergi kala reda. Tadi dia berlari-lari menebas buliran air, hampir terjatuh. katanya, dia baru datang dari masjid. Katanya dia mau pergi ke asrama santri baru. Ya, dia masih santri baru. Dia kelas satu tsanawiyah sedangkan aku kelas 3 Aliyah. Malam itu hanya perkenalan singkat. Malam itu, semua masih biasa-biasa saja. Terkendali
Namun, keesokan harinya, hujan selalu usil tumpah dari langit tiap malam. Maka setiap kali hujan beradu, dia juga selalu datang untuk numpang berteduh. Dan aku juga selalu senang dan menyambutnya bersemangat. Dia kala itu menggigil, sayang, saat aku baik menawarkan segelas kopi hangat, dia selalu menggeleng. Malu-malu menundukkan wajahnya. Tersipu manis.
“Kau dari mana?” tanyaku di sela-sela ceritanya.
“Dari masjid,” jawabnya singkat.
“Masjid? Ngapain?”
“Menemani kaum masjid, hanya itu.”
Aku tersenyum tipis. Kaum masjid? Anak ini memang baik, bahkan tiap hari dia ke masjid yang mungkin membantu kaum masjid membersihkan debu-debu yang menebal, kitab-kitab yang berserakan tak jelas. Memang, akhir-akhir ini masjid seperti terabaikan. Debu-debu kaca bahkan terkesan mencoklat, kitab-kitab yang tak teratur berserakan di mana-mana. Tentu kaum masjid itu pasti repot membersihkannya sendiri apalagi kudengar ia selalu terlihat murung. Kasmaran, entahlah, aku tak begitu peduli.
Malam semakin pekat menua. Sebenarnya hujan lumayan reda. Tapi dia masih belum mau pulang. Ada banyak yang dia ceritakan. Dan aku selalu menjadi pendengar setia ceritanya. Sayangnya, aku baru menyadari, saat dia pulang, saat dia benar-benar pergi, perasaan gila ini muncul. Aku benci mengakui bahwa aku suka dengannya. Lihatlah, saat dia tersenyum, manis, sebaris gigi indahnya terlihat elok yang juga dihiasi gigi ginsulnya. Saat dia tertawa, ketika itu dia sungguh anggun dengan sepasang lesung pipit di dua pipinya. Dan ketika malam itu dia pergi, bayang-bayang anak itu selalu tertampang jelas dalam benakku. Aku tak bisa tidur, terusik. Anak itu sungguh jahat menyiksaku dengan semua ini, tapi aku tidak menyesal.
***
Sayang, hujan tak selalu berbaik hati hadir di tiap malam. Tak ada hujan berarti tak ada pertemuan dengan dia. Percuma saja ketika aku membeku seperti biasa di teras asrama menanti lelah hujan, memerhati lalu lalang yang sibuk berlalu di depan asrama. Percuma saja. Sedangkan dia sema sekali tidak ada.
Dia benar-benar membuatku larut dalam perasaan ganjil ini. Berhari-hari silih berganti rasa rindu menikamku kuat. Bayangan-bayangannya yang tak pernah absen mampir di tiap mimpiku. Menyebalkan. Hingga aku nekad menemuinya, mencarinya. Meski awalnya ragu. Toh, aku cemas, ya kecemasan yang entahlah. Berkali-kali aku berusaha memangkas keraguan itu, berusaha berani untuk menemuinya. Ya tuhan, ini bukanlah hal yang sederhana. Meski mudah, namun perasaan ganjil ini merubah kesan sederhana itu. Aku amat benci mengakuinya, dia terlalu cantik untuk disebut seorang laki-laki.
Hari itu, aku sempurna mendatanginya ke asrama santri baru. Mencarinya dan bertanya-tanya tentangnya. Ah, dia tidak ada di asrama. Maka kembali kuseret langkah kaki dari sana untuk mencarinya lagi ke lain tempat. Benar, pencarian itu berakhir di taman depan masjid. Dia di sana, di antara bunga-bunga indah yang memerah. Cantik. Satu cercahan cahaya senja menyentuh ujung rambutnya. Dia tersenyum girang. Dia di sana tidak sendirian. Ada seorang santri pula yang menemaninya. Merangkul bahunya seolah begitu akrab dan dekat. Dan ketika semua itu berlangsung jelas di depan mataku, sekilas pemandangan itu mendadak berubah menjadi tombak-tombak yang menusuk hati, merobeknya lebar. Sakit hati. Cemburu. Pemandangan itu tak lagi indah dengan rangkaian warnanya semua mendadak buram, hitam putih seperti film layar lebar tahun enam puluhan.
Senja itu, perasaanku berubah menjadi kalut. Ya, bukankah wajar jika banyak santri yang suka berteman dengannya? Toh dia memang asyik diajak berteman. Apa salah jika dia berteman? Entahlah, sejak senja itu, setiap malam hujan selalu datang tanpa diundang, tanpa diminta. Dan dia juga selalu datang. Ya tuhan...
***
Hujan kerap menghambur di tiap malam. Sejak kejadian di senja itu, hujan selalu membuat malam tak pernah lega dirayapi keheningan. Dan semua ini bagiku menyenangkan, karena saat itulah dia akan datang menemuiku. Memecahkan belunggu rinduku. Mengubur habis kecemburuan yang menikamku di senja kemarin. Entah mengapa, kesenangan ini melahirkan perasaan yang semakin matang. Cinta. Aku mencintainya?
Setiap malam dihabiskan menikmati hujan bersamanya. Bercinta dengannya. Aku selalu benci ketika mengakui kenyataan ini. Aku benci, dia memang cantik untuk dipanggil seorang laki-laki. Namun hari itu, benar-benar berbeda. Di antara sekian potongan malamku, di antara malam-malam yang tanpa didera hujan. Malam itu memang benar tak ada hujan, namun dia datang menemuiku. Tidak, malam itu memang tak ada hujan yang memburu langit, tapi hujan sedang menikam pelupuk matanya. Airmata tumpah ruah, mengalir deras dari mata indahnya. Menatapku dengan sembilu yang amat menusuk hati. Mengharukan, ikut mengundangku turut iba. Sayangnya, malam itu dia hanya membisu tanpa ada patah kata apapun. Mulutnya terbungkam seperti ada yang menjejal lidahnya untuk berucap. Dan tatapan penuh airmata itu cukup sudah untuk menjelaskan padaku betapa sedihnya dia, meski sebenarnya aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya membelenggunya hingga seperti itu.
***
Usai malam penuh airmata itu, aku tak lagi bertemu dengan dia. Sejak malam itu, dia seolah menghilang. Tak ada di mana-mana. Beberapa kali dia kucari, silih berganti santri kutanya, tetaplah tak ada yang tahu tentangnya. Hingga aku lulus dari pesantren, dia juga benar-benar menghilang. Kami sama sekali tak lagi bertemu, meski hujan selalu mengguyur di malam hari. Percuma saja aku lelah menantinya, dia tak akan lagi datang. Laki-laki cantik itu sungguh menghilang, entahlah, aku tak tahu pasti.
Setahun penuh aku harus menikam segala perasaan ini. Melucuti hatiku agar mampu mengikis habis segala kenangan tentangnya. Ah, percuma saja, semakin kutikam, kenangan masa lalu itu semakin kuat membalas baik. Hingga aku memutuskan untuk berdamai dengan segalanya. Menikmati segala kenangan itu di kafe ini bersama kopi yang selalu mengingatkanku tentang dia. Dia yang dulu selalu senang saat hujan untuk minta seduhan kopi dariku.
Aku merindukanmu, lelaki cantik.
***
Hujan tampaknya hampir reda. Raung-raungan mobil kembali sibuk di malam minggu ini. Aku harus beranjak pergi. Cukup sudah. Malam minggu ini, semua kenangan itu akan kusudahi. Di antara kemacetan itu, di luar kafe sana, kulihat sebuah mobil singgah di depan kafe. Lalu seorang laki-laki paruh baya keluar dari mobil itu, ah, itu kan si kaum masjid, sudah lama aku tak melihatnya. Ia keluar dari mobil terlihat begitu mesra bersama seseorang. Kekasihnya? Mungkin orang itu yang dulu sering membuatnya kasmaran. Sering murung.
Hei! Tunggu! Bukankah orang yang bersamanya itu laki-laki. Itu kan dia. Dia. Dia!? Laki-laki yang cantik itu.
Aku menelan ludah. Ya tuhan...
Maibelopah, asrama zaid, Rabu 2 Desember 2015
Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/01/laki-laki-cantik-kepul-asap-kopiku.html
0 komentar: