Cerpen M. Rifki: Daun Tua yang Tersenyum Padaku

23.15 Zian 0 Comments

Nenek tak pernah bosan memasang wajah penuh sembilu itu. Nanar, matanya berbinar-binar menyandang limpahan airmata. Ia bersedih, sejak aku kemarin menemuinya sendiri. Tanpa ibu, ayah, juga kakek yang menemani. Ia selalu asyik menghabiskan waktu separuh hari di bawah pohon depan rumah. Menopang beban sedihnya yang aku pun tak tahu apa. Ia tak Pernah mau bersedia menceritakannya padaku. Wajah tuanya yang kini digenangi airmata, memilu, persis seperti daun pohon yang mencoklat. Jatuh teracuhkan, tersesat tanpa dihiraukan dan tergeletak di antara genangan-genangan air.
Sore tadi aku melihatnya sibuk memainkan jari-jarinya di bingkai foto tua kakek. Mungkinkah ia merindukan kakek?  Ah, kakek memang tak pernah betah berada di rumah. Tega meninggalkan nenek dengan rangkaian janji dan penantian yang tak pernah pasti. Kakek selalu pergi ke luar desa, ke kota-kota, katanya sih berdakwah. Dan nenek dengan ringan hati menelan semua permohonan kakek. Sudi menunggunya, meski aku sangat tahu, nenek tak pernah hatinya merasa damai dengan semua itu. Tapi itu sudah lama, lama sekali, bukankah nenek dulupun sudah terbiasa dengan semua itu. Bukankah nenek dulu tak pernah rindu sesedih ini? Dan kakek setiap bulan selalu pandai membuat nenek memekarkan senyumnya lewat surat-surat yang kakek kirimkan.

Bukan hanya itu, siang tadi, sebelum nenek pergi untuk beku di bawah teduhan pohon, ia sempat bertanya tentang ayah dan ibu. Hanya pertanyaan yang singkat, namun kulihat matanya mendadak berkaca-kaca. Mungkinkah nenek juga merindukan orangtuaku? Sebenarnya nenek memang selalu diliputi kesendirian. Ayah setahun terakhir memutuskan untuk tinggal di kota, katanya biar dekat kantornya, biar mudah bekerja. Maka, setahun terakhir nenek selalu bersusah payah dengan kesendiriannya. Harusnya ia sudah terbiasa, tapi.. Ah, mengapa kali ini ia begitu bebal dengan kata terbiasa?
Namun kemaren, nenek selalu mengungkit tentang kakek. Bercerita banyak tentangnya yang pandai memainkan puisi saat mereka masih berpacaran dahulu. Nenek kadang tersipu malu saat menceritakan betapa senangnya ia saat kakek dulu melamarnya dengan menyisipkan cincin di antara coklat yang berikan pada nenek. Aku tertawa kecil menanggapinya. Sayang, kakek teramat betah membuat nenek terbelenggu dengan rangkaian penantian. Dan nenek sekali pun tak pernah bosan untuk menunggunya, hingga uban putih terurai di helaian rambutnya.
Hari berikutnya pun maka segera aku mencari kakek, bertanya-tanya tentang di mana ia. Sampai di suatu senja, di antara pohon-pohon dan jembatan yang berseberangan masjid, aku menemukan kakek yang tubuhnya rapi dengan jubah putih bersurban ungu yang dibalutnya menjulur di bahu kanan. Membawa surah yasin. Kakek terkejut melihatku yang mendadak menemuinya. Secara selintas mata redupnya yang sempat kulihat tadi sejenak, buru-buru menghilang. Seperti mata seseorang yang terlihat menderita sedih.
“Kek, kakek harus pulang, kek. Nenek sedang sedih merindukanmu. Ia benar-benar tersiksa dengan penantian yang kakek berikan. Mengertilah!”
Kakek tak bergeming apa-apa menanggapi. Helaan napas beratnya terdengar jelas.
“Kek, nenek sungguh bersedih. Pulanglah, kek. Bukankah kakek sudah cukup membuat daun hijau menjadi coklat. Ya tuhan, kek. Andai saja kakek melihat nenek, andai saja.. Kakek tentu melihat nenek lebih menderita dari selembar daun yang mencoklat terabaikan. Kek, kasihan nenek. Afrida mohon, kek.”
Sayangnya, percakapan itu hanya sia-sia. Ia hanya berdiam diri, mematung dan rapat sekali mengunci mulut. Beku. Sesekali tersenyum, senyuman yang terpaksa dan sesekali pula menyeka matanya. Ya, percakapan singkat itu seolah percuma. Usai magrib, usai mampir sebentar di rumahnya dan lebih banyak diamnya sih, aku pun pulang yang tanpa pernah bisa memupuk kembali senyum nenek yang seolah layu dan mati.
Kepulangan malam itu sangat sunyi. Dan di rumah nenek semakin senyap dalam kesunyian, yang ada hanya aduan suara jangkrik dan burung hantu. Aku bergidik.
Menakutkan.

***

Aku tanpa sadar tertidur lelap hingga pagi ini langkah kaki mereka yang ribut membangunkanku, menyadarkanku dari mimpi panjang. Pagi ini kulihat dari balik jendela ada selusin mobil berderet rapi di depan rumah. Ada apa ini? Kakek yang pertama kali turun dari mobil dan mengetuk pintu, tersenyum sambil menarik pelan tanganku. Tak berselang lama, orang-orang berbaju putih bersama sekantong bunga melati ikut keluar dari mobil dengan wajah datar. Kakek pun lalu menatapku lalu bertanya tentang nenek.
“Nenek di mana, Afrida?”
Aku menggeleng tidak tahu. Astaga, aku benar lupa, di mana ia, pagi ini pun aku kesiangan dan nenek sama sekali tak membangunkanku. Di mana sih ia?
“Afrida, lihatlah di bawah pohon itu, pohon yang sangat disenangi nenekmu bersantai di bawahnya.” Kakek lalu menunjuk ke araj pohon itu.
Aku menelan ludah. Itu bukannya kuburan?
“Ya, kau benar, Afrida. Nenek sebenarnya telah meninggal, dua hari sebelum kepulanganmu dari Singapora. Maaf karena kakek baru memberitahu ini kepadamu. Afrida, mungkin kau tak mengerti rangkaian keganjilan ini, bukan? Mungkin kau benar, nenek sedang merindukan kakek. Benar, ya, rindu untuk diziarahi.” kulihat kakek menyeka pelupuk matanya.
Aku seperti melihat daun tua yang tersenyum pada kami.

Maibelopah, 4 Desember 2015

Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/01/cerpen.html

0 komentar: