Cerpen M. Rifki: Aku Bisa Melihat Iblis
Kota kecil ini sepi. Bangunan-bangunan tinggi menjulang, terang, tampak indah berkerlapan lampu yang kini perlahan diselimuti kabut, malam tak henti menua. Kota semakin larut dalam kesenyepan. Di malam-malam biasanya, dekat perempatan lampu merah, sering kudapati seorang gadis bersandar di kursi. Menunggu seseorang, menungguku. Ia selalu tersenyum simpul begitu aku datang. Tengah malam lalu, kami menukar dingin malam beserta hamparan bintang dan rembulan dengan seboltol minuman. Gadis itu, malam lalu berbisik asyik mengatai rembulan. Ia mabuk. Aku juga. Itu tidak hanya sekali, setiap malam. Tepatnya saat denting jam kota berdentang keras tengah malam. Tapi, malam ini gadis itu tidak ada. Juga rembulan, mereka berdua seolah telah mengatur rencana untuk tidak ada malam ini. Ganjil.Selubung kabut yang menyelimuti gedung-gedung kota mulai pudar. Separuh bulan terlihat, lalu angin berhembus serupa menarik paksa awan untuk menutupi rembulan. Dan hilang, cahayanya raib di bekas kota kecil ini. Semakin sepi. Sisa jalan yang kusisiri tak beda dengan yang lain. Sepi. Orang-orang begitu saja menghilang. Entah ke mana.
Aku penat. Lelah perjalanan akan kulabuhkan di tubir sebuah gedung, menaikinya, juga sambil mencermati hamparan kota. Menengok ke pojok-pojok gedung. Mencari gadis itu. Percuma. Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat.
Ah, angin semakin lihai menderu-deru. Membawa rinai kecil hujan. Mulai merintik. Tubuhku tidak boleh sedikitpun terkena percikannya. Sangat sakit. Tersayat-sayat. Saat rinai kecil hujan mengenai tubuhku. Itu minggu lalu, ketika sakauku kambuh. Rinai hujan itu datang tidak tepat. Persis saat aku mengamuk, ingin menjumpai gadis itu. Sayang, tak sempat. Hujan terlebih dahulu menghalangi. Ah, aku sangat ingat rasa sakit itu.
Sebenarnya, malam ini pun rasa sakauku kembali. Elok kota tak lagi indah ku tatapi. Tak peduli tinggi gedung ini berapa. Aku ingin lompat, sebelum rinai hujan keburu turun. Di mana gadis itu? Aku harus menemuinya, meminta sebotol minuman untuk mengusir sakau. Ia tak ada di mana pun. Di perempatan, di bar-bar, di tiap pojok gedung tak ada seorang pun, seharusnya ia ada di salah satu tempat itu. Bukankah ia seorang kupu-kupu malam. Kemarin malam ia menggodaku, memberi sebotol minuman.
Aku memang mengenalnya cukup lama. Dulu, awal aku mengasingkan diri dan menata hidup di kota kecil ini setelah terusir dari rumah. Hari itu ayah melototi abang yang dibilang ikut mabuk di ujung kampung. Ia pulang tengah malam. Kabar itu ayah dengar dari tetangga sebelah.
“Anak durhaka,” umpatnya kesekian kalinya, membuat seisi rumah gempar malam-malam. Aku terbangun. Begitu pun ibu. Kaget, padahal ayah tak benar tahu yang sesungguhnya. Ia terlanjur marah. Seolah kulihat di baliknya seekor iblis berdiri di belakangnya. Berbisik serius. Malam itu ibu menangis. Abang tersungkur ke samping dinding akibat pukulan ayah. Ia mengelak, maka ayah semakin marah. Kupikir abang tak mungkin mabuk. Ia berbeda dengan pemuda lain. Ia tak pernah berlaku seperti teman-temannnya yang biasa minum-minuman keras, berjudi, menggodai gadis-gadis. Namun, entah mengapa malam ini ia telambat pulang. Sejak maghrib tadi, sebelum pergi ia memang bilang bahwa ada urusan, bisa datang sampai larut malam. Ia juga pernah cerita beberapa hari sebelumnya bahwa ia ingin mencari pekerjaan. Hingga akhirnya, malam itu ia diusir. Aku mencegahnya. Tentu, bukankah abang yang selama ini membiayai kehidupan keluarga, apa ayah tak sadar? Ayah malah semakin marah. Ibu meraung, menangis, meronta-ronta di hadapannya. Sia-sia. Seperti malam yang yang terlanjur menua, kelabu. Tak akan membiarkan senja kembali membentangkan jingga di upuk langit. Mustahil. Begitu pula keputusan ayah yang keras, tak mungkin bisa dirubah. Ia memang keras kepala. Kami berdebat hebat. Dan di penghujungnya, aku dan abanglah yang pergi. Malam itu rembulan seolah menatap iba. Nyaris pula hujan. Tak peduli senyaring apa raungan ibu menangis, kami tetap akan pergi. Terlanjur kecewa dengan ayah. Namun, setiba di kota kecil ini, abang meminta berpisah. Lalu ia mendadak menangis, tak membiarkanku mengikutinya. Ah, mengapa? Ada banyak hal yang tidak jelas. Tapi aku sangat tahu bahwa ia punya alasan mengatakan itu. Jelas terlihat di rona wajahnya kesesalan.
“Mengapa kau juga melakukan ini? Kau sepantasnya di rumah, dek. Pulanglah!” katanya terakhir kali. Dan setelah itu ia pergi. Mungkin ia berpikir setelah itu aku kembali. Benar. Aku memang kembali, seminggu. Mencermati ayah yang kian hari tak jelas sifatnya setelah kepergian abang. Ibu semakin sedih.
Di hari yang ke enam kepergian abang. Ayah sering telat pulang di waktu malam. Alasan bekerja. Tentu ibu cemas. Tapi lelaki tua itu selalu melakukannya. Setiap malam. Hingga malam itu terjadi. Hari yang ke tujuh, ia lagi-lagi larut malam datang. Entah bekerja apa?
Ibu kerap cemas. Aku tak tahan, maka terpaksa mencarinya ke sekeliling kampung, perbatasan, pelabuhan dan kota kecil ini. Aku jengkel. Bukankah seminggu lalu ia mengusir abang karena dituduh mabuk, marah-marah sebab datang larut malam. Ah, mungkin abang tertular sifatnya. Sayang orang tua itu tak menyadari bahwa ia mewariskan sikapnya itu.
Malam itulah aku awal melihat gadis itu. Namun tidak di perempatan jalan, tapi di pinggiran kota. Ayah di sana, duduk menopang di paha gadis itu. Lagi-lagi kulihat iblis ikut di sampingnya, membelai, duduk manis di sebelah gadis itu. Sepeluh menit berjalan, aku ketahuan, mendadak ia beranjak mendekati. Marah. Mengancam-ancam agar aku tak melaporkannya pada ibu. Tidak, tetaplah akan kuadukan. Di malam berikutnya, lelaki tua itu tak menyadari, malam itu bukan lagi aku yang mengendap-endap dibalik gedung mengintip. Malam itu ibu yang diam-diam pergi. Mungkin ia mau membuktikan kata-kataku kemaren dan nekad mencarinya sendiri. Namun, besok hari, tubuh ibu tiba-tiba terbaring di rumah. Orang-orang berbisik. Kata mereka ibu pingsan melihat ayah main wanita. Kata mereka lagi ibu kena serangan jantung. Entahlah, tapi yang pasti hari itu ayah seolah menjadi gila.
Dan hari kedelapan, aku memutuskan pergi dari rumah. Lelaki tua itu tidaklah peduli, tepatnya tidak pernah. Hari itu aku pergi tanpa tujuan, berjalan tak tentu arah, merantau dan memutuskan mengasingkan diri di kota kecil ini. Tidak mudah. Susah. Tak ada uang, tak ada tempat tinggal. Aku menjadi anak jalanan di kota ini. Berkeliaran di malam hari dan tersungkur ketika matahati menyalakan pendar cahayanya.
Panas, dingin, lapar sudah biasa kurasakan. Hidup di kota kecil ini, mengenalkanku tentang kerasnya dunia. Aku tak bisa mengelak dari sesuatu yang haram. Berlaku baik terlalu susah. Uang halal. Ah, aku tak bisa. Pernah menjadi kuli, mengangkat barang-barang di pasar. Tak beres, aku berhenti. Lalu ikut berkeluyuran di terminal, mengamen. Sayang suaraku tak terbilang bagus. Tanpa gitar, hanya menyanyi. Tentu orang-orang di sana marah, tak puas, dan menyuruhku lekas pergi.
Hidup yang kelam, menyeretku menekuni perbuatan haram itu, mencuri. Pada yang satu ini aku lebih beruntng. Selalu mendapat banyak uang. Dan saat malam memampangkan rembulan, jam berdentang, menggetarkan seisi kota, aku seolah berkuasa. Hari itu yang kedua kalinya kutemui gadis itu. Sembari saat melintasi remang jalanan perempatan. Duduk di sebuah bangunan, di tubir gedung, menjuntai sambil menatap langit. Gadis itu tiba-tiba muncul, menoleh. Memandangku. Ah, gadis itu memang sangat cantik. Mata sayupnya membuatku terkesiap mundur, takluk dan tertunduk. Ia mendekat, aku pergi tak acuh. Bukankah ia yang membuat keluargaku hancur? Gadis iblis. Malam itu aku merangkak pindah ke gedung lain. Gadis yang kulihat tadi tampak urung menyusul. Entahlah, siapakah ia? Aku seolah mengenalnya di masa silam. Gadis yang menjadi temanku di masa kecil.
***
“Apa kau gadis waktu itu?” aku sempat ingin melontarkan kata itu. Namun urung. Lalu kubuang jauh-jauh.
Di malam setelahnya, ia selalu ada di perempatan jalan. Tahu betul bahwa aku akan menyusuri jalanan itu. Aku enggan menoleh ke arahnya. Ia menarik lenganku, menatap tajam.
“Kau gadis waktu itu?”
“Kumohon, jangan pergi. Meski sebentar..” gadis itu memaksa. Aku menyapu muka kebas. Lalu kami duduk berdampingan. Ia amatlah cantik. Tak sanggup aku memandanginya. Ia juga banyak tahu tentangku. Tahu bahwa aku sering menapaki jalalan terminal, duduk-duduk di pinggiran ruko-ruko pasar. Ia sangat tahu, mencermatiku. Tahu pula tentang kebiasaanku yang gemar minum-minuman. Ia lalu merengkuh kantong besar di sebelahnya,tampak sebotol minuman. Aku memang pemabuk ulung. Hampir setiap malam tenggerokanku tak pernah kering oleh minuman keras. Itu hal yang paling kugemari, menjuntai di tubir sebuah gedung sambil mereguk sebotol minuman keras.
“Kau tak mungkin menolak ini ‘kan?” Pelan gadis itu berucap. Lirih. Menyodorkan botol minuman itu. Aku meraihnya, agak keheran-heranan. Menatapnya sejenak, lalu meregok perlahan botol minuman itu. Wajah gadis itu memerah tertunduk.
“Mengapa?” tanyaku.
“Maksudmu?” ia lalu menyeringai. Hening kemudian. Malam itu bulan sempurna bundar. Indah. Sejuta bintang berhamburan di sekellilingnya. Berselang lama, disusul dentang jam yang bergema. Aku lalu beranjak pergi. Tanpa teguran, gurauan atau basa-basi sedikitpun.
Di malam berikutnya, saat melewati kembali perempatan itu, ia juga di sana. Bahkan malam-malam berikutnya pun ia juga di sana. Kami sangat sering bertemu. Meski tak banyak kata, celotehan, gadis itu hanya biasa tersentum. Lama-lama hatiku mulai terpaut olehnya. Ada kesenangan tersendiri yang bergeming saat bertemu dengannya. Dan kini, aku mulai terbiasa. Malah kecewa saat ia tak ada. Seperti malam ini, sudah sangat larut. Risau. Rusuh kucari-cari gadis itu. Tak ada. Kau di mana?
***
Dentang jam mendengung keras. Tak berirama. Satu –dua –tiga menit kemudian, di balik pinggiran kota kulihat beberapa gadis cantik mneyeka mata berlalu. Tertunduk. Kota kecil ini mulai berisik oleh raungan tangis. Aneh, mereka hanya berlalu, tak acuh kupandangi, mematung berdiri di tepi jalan. Enggan bertanya. Dan selang menit berlalu lama, aku baru tersadar. Tak ada laki-laki, hanya gadis-gadis. Ada apa ini?
Malam kemaren, gadis itu tertawa riang di bawah gemerlapan lampu warna-warni. Bersama iringan musik, berjoget tak jelas. Satu laki-laki dikerumuni tiga, empat, bahkan lima orang gadis. Bercinta, mereguk minuman amat puas.
Kemaren pula, aku bercicit menuruni jalanan menunjak. Menjumpai bar-bar tempat mereka berkumpul. Para iblis. Aku bisa melihat tanduk-tanduk merah menyala di atas kepala mereka. Berlalu, pergi ke peremppatan jalan menemui gadis yang biasa menemaniku menatap langit-langit. Pertemuan yang menyenangkan. Ia selalu memberiku sebotol minuman. Tersenyum. Agak kecewa wajahnya kupandangi. Entahlah, ia jarang bercerita. Hanya sesekali berbicara, mengatai rembulan, berbual soal gadis kupu-kupu malam. Hanya itu, tidak lebih.
***
Dentang jam sekali lagi mengetarkan kota keci ini. Belum hujan. Aku belum mengantuk, masih berkutat di jalan-jalan raya. Mencari-cari, mencari gadis itu. Aku harus menjumpainya, harus meminta lagi sebotol minuman. Aku sakau.
Tenggerokan panas. Berkali-kali rambut kuremas-remas. Mengamuk kesetanan. Sesaat tenang, kembali kunaiki sebuah gedung dekat perempatan, duduk di tubirnya, menjuntai, menatap langit-langit. Pemandangan yang tak pernah membuatku bosan. Kadang pemandangan itu menyeret kembali kenangan pahitku dulu. Ah, aku teringat keluarga. Entah apa yang dilakukan ayah di kampung. Atau abang yang pergi tanpa bilang mau ke mana dan kini aku, entah bagaimana hari-hari kuhabiskan di kota kecil ini, gelandangan. Andai saja dulu aku tidak beringsut malas sekolah, tidak mengelak masuk perkuliahan, mungkin kehidupanku sekarang akan sedikit lebih layak.
Sepulh menit berlalu lambat. Dari atas gedung, kulihat jajaran lampu berbaris. Tadi di sana tampak tenang. Dentang jam membuat rusuh orang-orang di sekitar pinggiran kota, dekat jajaran lampu. Sepuluh menit terlewat, kelengangan berubah ricuh. Panik. Mereka berlari tak tentu arah. Gadis-gadis yang kulihat tadi meraung lebih keras. Ketakutan.
Tak jelas terlihat, remang. Orang-orang berlarian. Para lelaki, mengancungkan pisau yang memerah, bekas darah. Apa yang terjadi? Mereka, para lelaki persis iblis dengan tanduk yang menyala. Mengejar gadis-gadis. Di antara kerumunan gadis itu, kulihat ia. Ikut berlari, gadis yang biasa menemaniku menatap langit-langit. Lantas aku turun. Menyergapnya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Me –re –ka..” jawabnya gelagapan. Segera ia menarikku pergi. Aku lalu membawantya bersembunyi di sebuah pojok gedung. Ia menagis.
Para lelaki tadi berlalu, tak melihat kami yang bersembunyi. Astaga, baru saja kulihat lelaki yang lewat itu, seorang lelaki yang berlari di depan. Itu abang. Kenapa? Apa yang ia lakukan.
“Apa yang terjadi?”
“Aku tak tahu. Kau, ah, mengapa kau masih belum mengenaliku..kupikir bertemunya kita, kau bisa menolongku. Aku salah, kau bahkan sama sekali tidak mengenali. Kau tentu tahu, aku gadis yang waktu itu bersama ayahmu. Kau salah, aku..aku benci dengan orang tua itu. Hari itu aku menemuinya, karena kutahu bahwa ia ayahmu. Aku mencarimu, menanyakan banyak hal tentangmu. Namun, ayahmu bejat. Ia pikir aku menggodanya. Dan malam berikutnya, kau ada, menjemput ayahmu. Aku sangat senang. Sayang kita tak sempat bicara. Kau keburu pergi. Dan besok malam, aku berharap kau kembali datang. Sayang, tidak, malah ibumu. Sungguh aku merasa begitu bersalah. Waktu itu ibumu tiba-tiba pingsan. Aku panik. Dan pergi..
Gadis itu menyeka matanya. Pelan menarik nafas.
“Sebelum itu pun, aku telah pula bertemu abangmu di ujung kampung. Ia di sana. Kamibercerita tentangmu sampai larut malam. Sungguh, aku sangat mencintaimu. Tapi, waktu itu aku begitu menyesal. Kudengar seminggu setelahnya abangmu diusir dari rumah karena dituduh mabuk, pulang larut malam. Maafkan aku, itu salahku..
“Aku teman waktu kecilmu. Kita berpisah saat aku pindah ke kota kecil ini. Sayang, nasibku malang. Orang tuaku kecelakaan. Aku yatim piatu. Hidup gelandangan. Untunglah seorang nenek memungutku. Hidup serumah dengan tiga orang, nenek itu, seorang paman dan balita kecil. Seminggu di sana tidak terjadi apa-apa. Tapi di hari yang ke sepuluh, seseorang yang ku anggap paman itu memperkosaku di umur yang ke dua belas tahun.
“Setahun kemudian aku memutuskan kabur. Hidup di kota kecil ini. Tak ada pilihan, selain menjadi kupu-kupu malam. Kau tahu, aku masihlah mencarimu, berharap bisa menolongku. Sebab itulah aku menemui abangmu, ayahmu yang masih sangat kuingat rupa mereka. Sia-sia, semua percuma..
“Lalu..aku menemukanmu di kota kecil ini. Kau biasa duduk di tubir gedung. Aku lalu mencermatimu, mengawasi setiap apa yang kau lakukan. Tak ada cara. Kupikir mungkin dengan memberi sebotol minuman kau mau sesaat bersamaku. Benar, itu memang berhasil. Tapi, kau masih saja belum ingat, belum mengenaliku. Kau tau apa yang terjadi sekarang. Mengapa lelaki-lelaki itu seperti itu. Mereka mengejarku, ingin membunuh karena ku menolak ajakan abangmu untuk bercinta. Aku terlanjur mencintaimu..”
Astaga, benarkah itu. Aku terkesiap mendengarnya. Bergetar mendekati. Lalu memeluk gadis itu. Ia menyeringai, tersenyum aneh tiba-tiba. Terasa sakit saat kupeluk ia. Kutengok ke samping kiri. Sial, kenapa ini? Itu abang, ia menusukkan pisaunya ke tubuhku dari belakang. Aku baru sadar, mereka iblis. Kulihat tanduk gadis itu menyentuh rambutku.
Dasar iblis, di mana abangku.
Jumat, 22 Mei 2015
0 komentar: