Cerpen M. Rifki: Anak Berkepala Batu

23.34 Zian 0 Comments

Tak ada angin yang melayangkan keringat yang menetas di kulit keriput wanita tua itu. Jendela dan pintu yang sengaja ia buat menganga pun tak berpengaruh. Pengap. Ruangan kotak yang berbentuk persegi yang ia tempati itu seperti memandikan tubuh ringkih tuanya dengan keringat. Sama seperti matahari yang tak sesaatpun mau membekukan panasnya. Dan hati wanita itu tak kalah gerah dan panas ditikami rasa kecewa. Matanya yang tadi gerimis saja perlahan kemarau, udara di hari itu benar-benar tak bersahabat.
Mesti tak ada mendung ataupun hujan, lelaki itu tetap melangkahkan kakinya pergi. Tadi ia sangat jerih menghadapi Mak Misnah yang mulutnya menusuk-nusuk. Bukankah ia sering mengatakan bahwa ia masih belum mau menikah. Nanti. Tapi wanita tua itu teramat tumpul memahami maksud anak tunggalnya. Malah memaksa mau minta cucu.
"Sudahlah, mak. Kamil belum mau menikah. Mak mesti sabar," bentak anaknya.
Perdebatan mereka akhirnya putus usai airmata Mak Misnah pecah. Baru kali ini anaknya berani kasar membentak. Padahal selama ini ia selalu taat dan nurut. Bahkan lepas magrib pun, saat abah masih ada  juga kerap menasehatinya soal durhaka tentang orang tua. Tentu ia pun tau bahkan cih pun bentuk durhaka. Lantas kini mengapa berani membentak kasar.

Tak banyak yang diminta Mak Misnah, hanya cucu. Hanya ingin punya menantu yang bisa menemani sisa umur tuanya. Hanya itu. Selama ini, ia mesti terbiasa menghabiskan jengkal umurnya sendirian dan dilingkupi sepi. Kamil memang jarang kini meluangkan waktunya untuk emak. Pagi ia pergi dan jelang langit runtuh oleh gelap baru ia datang dan itu pun langsung tidur. Anak itu memang kerap terlihat sibuk. Kadang asyik menelpon temannya hingga lupa waktu. Kadang saat ia dijerat lelah yang berat, seorang muridnya yang pandai memijat akan datang ke rumah. Memang, sejak Kamil menjadi guru di SMP di kampung itu, hari-harinya sesak oleh kesibukan. Tanpa jeda, seperti lembaran koran yang penuh dengan huruf-huruf rumit.
Ia memang banyak berubah. Tak seperti dulu, semisal kala hujan luruh, biasanya ia dan emak akan duduk bersama di teras rumah sambil menikmati tarian hujan yang berloncatan di atas tanah untuk berbagi cerita dan rahasia. Sayang, masa itu kini hanya menjadi debu di ingatan ibu kandungnya. Jika Mak Misnah mengajaknya, anak itu tegas membolak-balik wajahnya sambil tegas menolak. Berdalil malu, sudah dewasa. Ah, sehingga hasrat untuk ingin memiliki menantu itu pun menari-nari di benak emak. Setidaknya bisa menggantikan peran Kamil dan menjadi penyekap sepinya. Tapi anak itu memang berkepala karang, tak kunjung mengerti. Bahkan ketika disinggung soal wanita pun mendadak emosinya langsung mendidih.
Duhai, kau masih belum mengerti nak!
Juga, kemaren pun entah mengapa Mak Misnah nekad mengajak Sarah, gadis anak Ustazd Sholihin di kampung itu untuk datang ke rumah. Emak memang kenal dekat dengan gadis itu, sejak abah meninggal, emak biasa bekerja di rumah Ustazd Sholihin dan di sana lah emak mulai akrab dengan Sarah. Tapi kemaren, saat Sarah datang bersama adiknya ke rumah, wajah Kamil untuk pertama kalinya merah pucat. Tak jarang menyelipkan pandangannya di celah pintu. Emak yang melihat tingkah laku Kamil pun merekahkan senyumnya, lalu melemparnya ke arah Sarah. Gadis itu juga membalas senyum, masih belum mengerti. Tak lama kemudian emak pun mendekatkan bibirnya ke kerudung Sarah, meluncurkan satu atau dua kata yang mendadak mengupas wajah gadis itu memerah semangka. Sejenak kemudian memandangi wajah wanita tua yang ada di hadapannya yang penuh guratan-gutaran pengharapan. Lantas, bagaimana bisa ia menolak atau ia akan mengecewakan hati orang yang sudah ia anggap bagai ibu sendiri.
Kamil yang sedari tadi ikut memperhatikan dari celah pintu kamar sangat mengerti maksud emaknya. Ia malas mendekat ke sana dan lebih memilih membungkus dirinya di balik kamar. Wanita tua itu tentu akan membahas masalah itu lagi. Kamil benar, meski ia tidak di sana, ia tau betul bahwa emaknya mengatakannya pada Sarah.
"Kamil, ke sini nak!" seru Mak Misnah.
"SURUH GADIS ITU PERGI." bentak Kamil yang menghempaskan kuat suaranya.
Ya tuhan, apa yang dikatakan anak itu? Suruh gadis itu pergi? Kenapa?
Sarah yang mendengarnya pun tak kuasa menahan getaran bibirnya. Hatinya seperti dilecuti libasan-libasan rotan. Matanya pun perlahan mengembun dan hampir menetaskan airmata. Namun sebelum itu terjadi, ia lekas minta pamit kepada emak. Bilang ada keperluan mendadak. Lantas bergegas pergi. Emak menelan ludah, bagaimana bisa ia membiarkan calon menantunya dibentak keras oleh anaknya.
"Nggak apa-apa kok, mak," kata gadis itu dengan senyum yang ia paksa merekah.
Hari itu, emak tak kunjung berhenti mendekap bibirnya untuk diam. Hingga semalaman sebelum purnama utuh, di rumah reotnya, Mak Misnah serupa radio, memarahi Kamil.
"Mak hanya ingin agar kamu segera menikah nak. Punya anak, mak juga gak sabar pengen punya cucu dan menantu."
"Emak, Kamil sibuk. Belum saatnya nikah, banyak pekerjaan yang harus Kamil selesaikan. Mak gak perlu membawa wanita segala ke rumah ini."
Emak diam.
"Kamil bisa sendiri mencari wanita. Gak perlu minta bantuan emak."
"Tapi, nak..."
Suara emak tertahan mengiringi langkah Kamil yang hilang di pintu. Tanpa selesai kalimatnya meluncur, anak itu terlanjur pergi.
Ia memang tak pernah peduli jika ditanya soal wanita atau pernikahan. Jika emak menyindirnya, pikiran anak itu akan melayang tanpa arah, pandai menekan perasaan hati emak dengan beragam alasan. Bercerita sok sibuk di sekolah, mungkin tak akan ada waktu yang tersisa untuk sekedar melirik wanita atau mencari jodoh.
Tentu saja tingkah Kamil ini berat memukul emak, membuat airmatanya tak berhenti luntur. Kamar pengap berukuran persegi yang malah dianggap emak sebagai menantunya, tempatnya menghentakkan perasaan duka dan pilu. Di sana ia setiap hari membenamkan diri. Siang atau malam sama saja, tak membuat wanita berkulit keriput itu tertarik keluar dari kamar. Kecuali jika Kamil datang, mulutnya akan melahab habis keheningan di rumah itu, berteriak memohon pada anaknya agar segera memberinya cucu dan menantu. Namun anak itu memilih menjadi batu. Ia bosan menghadapi ocehan emaknya yang setiap hari semakin membuatnya muak.
"Diamlah, mak!" seru Kamil.
Tak tahan semua itu, Kamil pun tak pernah betah di rumah. Kerap pergi dan terus pergi. Tak cukup satu menit ia betah di sana, lantas lekas pergi membuang diri dari rumah.

***

Meski tak ada mendung atau hujan, anak itu tetap melangkahkan kakinya pergi. Melawan panas yang mengeruk kuat keringat dan dahaganya. Tadi ia sangat jerih menghadapi Mak Misnah yang mulutnya menusuk-nusuk hatinya. Bukankah sudah sering ia katakan, bahwa ia belum siap menikah. Mungkin semua penjelasannya tumpul di hati emak. Wanita itu tetap saja ngotot ingin punya menantu dan memaksa Kamil segera menikah.
Dan di kamar pengap itulah emak biasa meredam airmatanya, menunggu anaknya datang dan berharap tidak lagi berkepala batu. Hingga tanpa sadar ia ketiduran hari itu. Jelang sore, matanya disilaukan oleh cercahan kuning kemerah-merahan yang menyelinap dari celah ventilasi. Ada pula suara ribut yang juga membangunkannya dari ruang tamu. Mungkin itu anaknya. Sambil berjalan, ia masih bersusah payah mengikis kantuk yang tadi menggerogotinya. Tapi, astaga.. Kaki emak mendadak lumpuh dan lututnya jatuh menghantam lantai. Matanya tak percaya melihat dua orang lelaki di rumahnya itu.
"Kamil, apa yang kamu lakukan dengan adiknya Sarah. Astaga, nak. Emak tidak menyangka kamu melakukan ini. Kamu tak jauh beda dari  kaum Nabi Luth."
Entah mengapa, anak itu tetap membantu.

Maibelopah, 11 Maret 2016

Sumber:
http://mohmedrifki.blogspot.co.id/2016/03/cc.html

0 komentar: