Cerpen Hamami Adaby: Swety Swety
Ketika pulang dari pertunjukan teater di gedung kesenian “PRIVAT” simpang empat Banjarbaru tak langsung pulang, singgah sebentar di lesehan Minggu Besar. Kebetulan malam itu malam Minggu, malam pan jang bagi semua orang. Sepanjang malam gemerlap bulan setengah jadi kekuningan emas bermata blue Sapir.Banyak orang yang lalu lalang sekitar bulatan lapangan bergerombol dipojok-pojok dekat penjual roti bakar, mie bakso, dan kursi-kursi berjejer disepanjang jalan Telpon, muka kantor Perdagangan disebelah ka nan menghadap kantor Kecamatan jalan P. Hidayatullah kantor perwakilan rakyat. Sebelah kiri gedung-gedung perkantoran berbagai instansi pemerintah.
Tidak terlalu jauh dari komplek perkantoran dimuka lapangan Bola Volley kurang lebih 30 meter jalan lintas negara Jend.A.Yani kantor Polsek Banjarbaru. Kita berdiri dikantor kecamatan, posisi tak berubah ka nan Perwakilan Rakyat sebelah kiri gedung perkantoran berbagai instansi lurus pandang kurang lebih 300 meter an persis dari kantor camat gedung Pemerintah Kota.
Banjarbaru kota indah dan nyaman buat dihuni, kota menuju metropolis, tempat ibukota Propinsi Kalimantan Selatan dalam tahun ini pusat pemerintahan secara bertahap pindah. Rumah dan perkantoran sudah dibangun sejak beberapa tahun lalu.
Jalan Dwikora 4 jalur, dua kiri dan dua kanan memenuhi standart, trotoar pejalan kaki serta tana man pohon kiri kanan serta pot kembang beraneka, dengan sejumlah trapic light serta marta jalan lajur kirii dan kanan kita menemukan ada pos-pos polisi yang setiap waktu siap mengamankan dan melayani masyarakat.
Malam belum padat menggelindingkan rutinitasnya bersama bulan berkencan dengan super bintang. Terjadi dialog romantika diangkasa raya dihampa udara duduk bersanding memuji dan gejolak mata bulan kujebret dikamera mataku. Meyakin segala kamuflasi aku dilibatkan sebagai pemain pigur “pertemuan di bukit bulan”.
Aku sadar seratus sepuluh persen kutangkap icon fatamorgana ketika bulan menatap enggan tera sa angin musim menimpa tak sengaja hatiku. Dalam pandangan tak terbatas melodiku tak berpaling sudah pasti tak terbantahkan keluar dialog yang kutarik jadi benang mas. Kata sandi itu yang kujadikan acuan analisa explo tasi menggali biji-biji pasir diantara emas hitam yang menampak.
“Bulan, malam ini kau taklukkan hatiku aku gugus kesaktianku”, ujar kak Bintang.
Cuaca makin menggelikan, gerimis tipis tembus pandang sutra putih, tak kuduga angin berembus seperti orang gila yang mengenal baca puisi ketika CD. jelas mengubah karakter voka l Arsyad dan Asa. Wah..aku kalah satu kosong pada dua sahabatku.
Bulanduri belum menjawab, wajahnya menunduk penuh arti, namun belum dapat kata apa yang diterjunkan lewat bibirnya. Tapi cerianya sudah tampak santun matanya menatap seakan mencuri pandangku setidaknya ingin mengetahui apakah aku melihat atau tidak. Sebenarnya aku tak ingin memperhatikan urusan setiap pribadi.
Bulan pelan mengangkat wajahnya tapi tak menjurus pandang seperti tak ada moment, ia menelorkan bahasanya dan menetaskan jawaban hampir tak kudengar. Tapi aku tak ingin mendengarkan semua itu. Apa yang ia ucapkan sudah kuterka sebelumnya, tak meleset dan tak seluruhnya utuh tapi hampir kena.
Tak terdengar cakap keduanya, angin dingin yang melintir tengkuk kurasakan menusuk leherku. Apalagi dia, sedang orang yang lalu lalang pasti tak memperhatikan hal itu, aku pun tak sebegitu antusias men dengarkan sedang aku sedikit agak berjarak satu kursi yang tak diduduki ganti meja kecil tempat makanan ri ngan kacang rebus.
“Terserah Bintang saja, mana yang lebih baik”, ujar Bulanduri yang tak kudengarkan suaranya.
Ketika tubuhku membalik belakang persisnya menghadap jalan sebuah sepeda motor berhenti dan melepas helmnya, barulah kuyakini itu Rindana Sewity. Berjalan tangkas melangkah pelan menampakkan
kepiawaiannya seolah melenggang diatas semen catwalk. Aku memperhatikan penuh gaya khasnya memega ngi dompet tapi sebenarnya sebuah HP. persegi empat panjang. Lupa aku menanyakan apa merknya, tapi cukup mahal diatas SAMSUNG.
Ia menyalamiku, sambil kutarik sedikit tubuhnya yang semampai seperti mempertunjukkan ta ri balet yang enerjik lalu duduk berdampingan. Rindana atau Sewity suka-suka kita memanggil namanya ia tak pernah perotes soal panggilan itu.
Dan teringat tatkala ia atau Sewity di rumah sakit”ULIN” Banjarmasin terbaring kaku hampir dua bulan dan kami membesuk buat Swety, semua tertegun saling pandang baik Reza, Oga, Seno dan Raju larut dalam keterharuan rasa kasih.
Aku terpaku keras sambil menatap wajahnya yang pucat tak bergerak hanya matanya yang pe nuh bicara bahwa dengan izinnya ia sanggup bertahan hidup. Kekuatan hati Swety berpadu kekuatan doa yang kubisikkan ketelinga Tuhan, aku haqqul karim, doa ini tak ada yang tahu hanya Swety dalam hijab malam. Kali ini menetes juga air mata tapi kurendam dalam katub bulu mata.
“Hamara!. Kenapa kau tiba-tiba diam tak seceria hari kemarin? Apa ada masalah yang sulit dipe cahkan atau kau sedang sakit?” Begitu ia menghujani beberapa pertanyaan. Aku menenangkan tayang ulang gambar ruang kamar dan sudut-sudut ruang begitu indah dengan senyum perawat yang luwes. Aku sudah dapat menetral imajiner jadi seutas dialog dari senyumnya Swety.
“Tak ada perobahan dari diriku, aku sehat. Tak ada permasalahan yang berarti, toh kalau ada ma salah ku mampu mengatasi. Swety juga pernah komentar seperti itu” ujarku begitu meyakin hatinya.
“Ya percaya saja, tapi hati kecilku Hamara di isuekan!”, korek Swety sambil bersenyum.
“Isue kan tidak selalu benar, bisa rekayasa gelap bahkan ada yang membuat skenario” Itu alter natif narasiku setidaknya kecurigaanku tetap ada, tapi lupakan saja semua itu.
Swety tidak langsung mengexfloor ke blackboard, namun ia ahli dramaturgi dan ia akan mencip takan beberapa tampilan panggung dramatisasi puisi yang pernah pentas Banjarbaru. Berbuatlah sebijak mung kin untuk menghasil karya cipta yang apik dan sejati tidak menciplak. Aku tahu menciplak seperti buah huldi yang ditelan Adam, maka keluarlah dari taman indah turun ke bumi.
Kalau terpengaruh itu hal yang paling sugesti, kurasa hampir semua terlibat dalam adonan per mainan bahasa, padahal sebelum kita telah dimanifestasikan dalam kata puisi, cerita pendek dan novelet. Ada kah seorang penulis yang bisa melahirkan kata tersendiri tanpa mengulang kata yang kita pinjam?
“Swety” aku melembutkan panggilan dan menatap tajam hingga matanya seolah menantang.
“Ya, katakan jangan ada sensor sedikitpun!” Aku melepas pandang arah ke depan setelah akhir ucapannya. Cuaca mulai berubah tingkah laku. Gerimis mulai menyentuh tenda, angin mengibar dingin sedang mengabarkan tengah malam nanti hujan semakin lebat tak terbendung.
“Jam berapa Swety pulang nanti?" ujarku ada terselip kata semacam perhatian menjaga kon disi agar tetap sehat. Ia tenang sekali menghadapi setiap gerak dan matanya tetap seperti dulu memancarkan aura. Aku berusaha selalu menghindar dari sorot matanya yang sejuk tak berubah, ceria serta dinamis.
“Nanti sekitar jam 23.00, bapak yang jemput”, sahutnya sambil tersenyum indah.
“Oke Swety, masih ada waktu sekitar 33 setengah menit, kita lanjut percakapan “. Makanya temu kangen ini teman –teman hadir semuanya termasuk BINTANG serta senior-senior pedahulunya. Begitu lah segalanya tak akan mudah dilupakan .
Swety telah meninggalkan tempat pertemuan itu. Ia telah menabur kehangatan jiwa bagian teman-teman menanamnya jadi seribu pohon, terlalu kebohongan kalau billions tree. Pembicaraan seputar topik hangat masih terasa efeknya. Tiba-tiba dering telpon berbunyi.
“Halo, Hamara, ini Swety bukan Anggina!” aku terkesima mendengar ucapannya, “Halo, halo ini Hamara, disini Swet y apa dengar suaraku?”
“Ya, Swety. Tadi gangguan battery sekarat. Kodenya berbunyi klek klek tapi tak mengerti selanjutnya berbunyi lagi, em kucolok tali ke listrik dan tersambung Swety”, alasanku berkilah dusta pada hal aku kaget mendengar intrupsi “ini Swety bukan Anggina”, begitulah !. Telpon masih tersambung .
“Di Jari Manismu Ada Rindu (membuka Google) kumpulan puisi Hamara di Australia salah satu universitas menandai buku anda bersama teman-teman Kalimantan Selatan, salut Hamara!”. Dalam satu moment itu Swety menyaran cetak ulang DI JARI MANISMU ADA RINDU,” sebar toko buku termasuk RIYADH, KHARISMA, TB. HAMDI Banjarbaru dan paketkan ke Palu Sulawesi Tengah 100 exmplar, untuk dititip toko buku RAMEDIA dan NEMU”, begitu ia menutup pembicaraan dengan nada meyakin serta intonasi yang tepat.
Hari-hari semakin berlanjut kami sering tukar info baik dari keluarga Swety Palu atau Ban jarbaru. Hubungan keakraban kekeluagaan terbentuk barangkali kami sama mengemban tugas berkesenian dan terjadi kekerabatan yang tulus. Tak pernah ada cekcok di hati kami, saling berbagi suka dan duka.
Bulan depan Swety bersama keluarga Elang Dewangga sebuah nama indah yang di tasmi ah orang tua. Keluarga ini kujuluki keluarga sakinah mawaddah warahmah, akan meninggalkan kota Banjarbaru yang nyaman dan sejuk ini menuju Palu Sulawesi Tengah.
Sedang Swety kembali menunaikan tugas sebagai abdi negara, ia sebagai seorang dosen pada perguruan tinggi Universitas Tadulako, sedang suaminya salah seorang aparat Kepolisian kembali bertugas masing-masing sebagai pengayom masyarakat.
Hanya kurang lebih setengah bulan lagi berada di Banjarbaru setelah itu terbang ke Palu lewat Surabaya. Walau terpisah pulau angkasa daratan tak menjadi kendala bertemu lewat Handphone dan Facebook.
Banjarbaru 16 Januari 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-swety-swety/187592247937593
0 komentar: