Cerpen Hamami Adaby: Bayang-bayang Langkah

21.24 Zian 0 Comments

Bagaimanapun keinginan setinggi puncak gunung kita hanya bisa melihat dari kejauhan betapa hasrat ini melayang menerobos sisi bukit, itu pun tak dapat sempurna memandang dari kejauhan. Rasa gundah pasti ada bagi siapa saja, tak ubahnya seperti aku ada getar hati untuk berkenalan dengan Ainun.
Hasrat ini yang belum terlaksana menunggu moment yang tepat, sedang waktu dalam hari kian berjalan terus tak terasa makin tua berlari. Ada semacam prediksi yang tak pernah sampai menggumpal di otak. Ram-ram neuron yang kaku dijejali masalah-masalah tugas yang harus diselesaikan, baik aku atau Ainun kian menumpuk.
Kami sama mengerti arti leadership sehingga dijejal setumpuk tanggung jawab agar tak menjadi masalah terhadap keseimbangan jiwa, menata sebaik mungkin urutan prioritas manajerial yang bisa membuat ketenangan dalam menjalankan tugas, baik profesional atau pun rutinitas kerja.

Aku dengar suara selenting dari teman teman wanita di organisasi kesenian terutama Meryana sering mencerita tentang Ainun kepadaku. Sebenarnya reaksi yang tidak terlalu jauh beda , hanya saja kesempatan waktu yang terkadang mengurung hingga tak sempat melowong waktu, baik aku atau Ainun sebagai makhluk sosial selalu ingin menyempatkan komunikasi baik secara direct atau indirect.
Peristiwa ingin saling kenal mengenal ini saja memakan waktu bertahun, namun masih tak kunjung tiba. Siapa yang akan disalahkan dalam perjalanan nafas kehidupan ini, waktu kah yang sangat ketat membelenggu atau kesibukan-kesibukan individu sebagai penyebabnya. Hanya kita yang dapat tepat menjawabnya.
Bukan Ainun saja yang berambisi untuk mengenal diriku, secara jujur walaupun agak terlambat sebenarnya akupun tak jauh beda kemungkinan mengenai hal sama secara horison punya keinginan berimbang masuk kedalam atmosfir yang terukur. Biarkan peristiwa ini berjalan yang tak usah kita sesalkan karena rotasi bumi telah dijalankan sepenuhnya oleh tangan-tangan perkasa.
Suatu hari aku pernah meminta jasa Elek untuk bersedia mengantarkan silaturrahim kerumahnya, namun Elek bukan berarti menolak tapi ia mengatakan, “ untuk hari ini belum bisa”. Itu pernah sekali kulakukan untuk minta tolong. Setelah itu peluang selanjutnya tak kunjung tiba, larut dalam kesibukan hingga menenggelamkan kapal-kapal hasrat.
Kalau ditanya kecewakah aku? Ini harus kujawab paling hakiki dan mutlak kekecewaan itu pastilah namun apa yang hendak disesal ibarat rencana telah digurat, tulisannya belum sampai pada titik akhir. Siapa yang kupersalahkan, karena dalam skenario awal yang kutulis Jum’at malam sekitar jam tengah malam pukul 12.45 lampu PLN. padam sedetik menghanguskan beranda hati yang dengan susah payah kubuat narasi yang kurencana dalam tempo singkat terbaca Ainun, itu pun seandainya.
Kekecewaan dan penyesalan adalah hal yang sangat sederhana sekali , itu selalu terjadi dan siap berulang ulang seperti deret hitung yang memerlukan perkalian dan perincian stamina unggulan ekstra jaringan persepsi. Tapi jangan telan kebugilan pasword kata yang menjungkir dan melintir dinding kaca facebook.
Terlalu rangkap pikiran hingga terperangkap halusinasi bayang-bayang persahabatan yang tak ada ujung pangkal digelapkan cuaca kearah mana harus menyikapi permasalahan ini hingga menemu tujuan selaras dalam sinkron pertemuan yang telah mengapungkan resolusi tarik menarik kesepahaman ketika dicapai kesepakatan pertemanan antara aku dan Ainun. Hanya jarak ruang paling dominan tak mampu membuka mozila fairfox.
Malam yang tak pernah kutunggu disimpang empat Banjarbaru dekat pom bensin”SUNA” kanan arah Martapura rumah makan “DINDA” aku sendirian dipojok muka arah mata memandang keramaian yang tak pernah selesai lalu lintas kendara dan lampu-lampu itulah menegeraskan hati suatu saat nanti aku pasti bertemu. Aku lelah memperhatikan serabutan kendara dan kelap kelip lampu belakang yang menerkam mataku hingga terasa jenuh sambil menunggu pesanan.
Tiba-tiba dalam pandangan mata yang tajam dan pasti, Ratna dan Faris parkir dihalaman rumah makan “DINDA”. Aku tak bisa mengelak karena ia memperhatikan ke pojok kanan, sedang kebetulan hanya aku yang baru datang ketempat itu. Faris bersama Ratna menggabung dimeja, seraya menyalam tanganku. Aku jadi malu dan kikuk.
“Sudah lama menunggu?”
“Tidak juga, kurang lebih dua menit”
“Ya, menunggu paling membosankan, malah menjengkelkan!”
“Boleh jadi”, ujar Ferdi.
Sementara itu pelayan wanita mendekat kemeja ditangannya nota dan boilpoint menyodorkan, lalu Ratna membuka cakap menanya pesanan masing-masing sekalian minumnya. Ratna menulis dalam nota: 1 porsi soto Banjar, 2 porsi nasi goreng serta 2 es juice dan 1 teh panas manis, lalu menyerahkan pada pelayan.
“Setelah selesai makan mau kemana Fer?” Faris membuka cakap ronde dua.
“Kalau ditanya rencana harus kujawab, padahal ini rahasia individu”, ujar Ferdi tak melanjutkan.
“Fer, benar sekali rahasia pribadi orang tak boleh tahu. Tapi mungkin saja aku bisa membantu masuk dalam album, atau ada sesuatu yang belum terang benderang, atau juga masih terasa samar,bagi dong?”, ujar Ratna sambil menepuk pundaknya.
Sebentar terbuai dalam lamunan yang bertaut hanya sanya Ferdi tidak tahu bahwa Ratna sepupu Ainun. Sedang Ratna pun tidak menyangka Ferdi ingin ketempat Ainun. Faris kakak Ratna ikutan nimbrung menggasak Ferdi.
“Fer, ibarat mata angin, utara selatan lalu Timur entah ke Barat mau kemana kita, bukan begitu Ratna?”. Fery tertunduk mendengar ucapan itu, tapi samasekali ia juga tak mengetahui antara Ratna dan Ainun. Sebaliknya Faris juga Ratna tak mengira sasaran nya ke tempat Ainun.
“Oke, Faris dan Ratna, aku mau ketempat Ainun”
Jadi suasana mengagetkan ada beberapa saat saling berpandangan satu sama lain, tapi tak menegangkan, sebab mereka berdua menutupi ucapan Ferdi, supaya tak ada curiga sedikitpun dihati nya agar ketersipuan dan meluncur.
“Baik, kita berangkat saja ketempat Ainun, bagaimana sudah siap seluruhbekal amunisi?” ujar Faris sebelum benar-benar meninggalkan rumah makan itu. Ferdi menunduk , mungkin saja sedang berakumulasi merampung kata apa yang mesti dipercikkan lewat bibirnya.
“Ainun, sudah lama sebenarnya kita berkenal lewat bayang imaji, antara aku dan kau barangkali berinter aksi, tapi tak pernah tampak dilayar kaca, sibuk dalam lakon yang menyita hingga tak pernah bertemu dalam kesempatan tak hayali”, Faris dan Ratna memperhatikan sikap kejantanan seseorang lelaki yang bertutur simpatik seperti Ferdi. Ia menyukai perangainya walau sebatas pertemanan yang menjadikan hatinya bangga buat sahabat bernama Ferdi.
Dialog kental imaji yang di bangun diatas ilustrasi musik batinnya seperti apa jawaban Ainun dalam pertemuan imaji ia menggambarkan kehalusan budi dan kecerdasan yang gemilang, tanpa ada rasa pongah sedikitpun hingga pertautan kata dalam kesepahaman aksara membangun kebersamaan hakikat sesungguhnya.
Ferdi meneruskan dwilog percakapannya dengan Ainun tanpa main-main seperti itulah kalau pertemuan itu terjadi dan jawabannya sangat merefleksi karena kebersamaan keinginan, saling ingi jumpa dan berteman dalam kewajaran yang terpimpin etika moral.
“Hasrat telah lama ingin melayangkan kata persahabatan, antara Ainun dan Ferdi hanya dapat menekan keinginan, karena keinginan belum berpihak hingga sampai detik ini bayang-bayang itulah yang mengepak ingin bertatap muka walau sejenak, biar sekali pun dalam sekejap. Aku masih yakinlah selain dunia ini masih ada dunia lain yang bisa mempertemukan”, begitu geretak hatinya yang paling putih menyambangi segala sesuatu diluar jangkau manusia , Tuhan berkata lain.
Kami masih dirumah makan itu.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-12-bayang-bayang-langkah/188928714470613

0 komentar: