Cerpen Hamami Adaby: Jangan Kausebut Namanya
Pagi itu apa yang akan kutulis tak ada tema yang muncul. Hanya melongo diam entahlah kemana fikiran Hamda, melayang seperti layangan putus. Aku yakin benar ia dibelit permasalahan di antara benci dan rindu. Itu dugaan sementara dan kalau pun aku salah memperidiksinya Hamda ter senyum tak ada komentar Hamidah.Sulit menangkap gurat wajahnya sekali pun dihimpit ketidak pastian sebab tak ada kelainan tanda perubahan sikapnya. Ia mampu menyembunyikan hal ikhwal agar sahabat tak ingin ia libatkan terlalu jauh masuk kedalamnya.
Terasa agak sulit juga memulai bicara dengan Hamda. Ia sangat sensitif sekali kalau menyang- kut yang satu ini. Aku faham betul tabiatnya kalau kusebut nama seseorang Hamidah umpamanya, ia marah besar dan mencak-mencak, tak tahu siapa yang ada disekeliling tak ia hiraukan mukanya jadi merah api lalu berkata garang.
“Jangan kau sebut nama siapa pun apalagi Hamidah. Kali ini kumaafkan , ingat Topan!”
Kupikir ingin menjawab dan menjelaskan tapi kurasa ia tidak akan menerima alasan pembenarku. Jadinya sia-sia juga malah tambah runcing , malah membuat Hamda makin marah. Itu pertim bangan yang muncul di otak sadarku.
Kuperhatikan Hamda seperti menyimpan kemarahan, ia berjalan kecil sambil mengitari meja kursi yang tadi ditinggalkannya ketika secara spontan aku menyebut Hamidah. Sebetulnya aku cuma guyon tapi Hamda menanggapi amat serius.
Padahal aku tahu benar Hamda tak pemarah, ia sangat ramah pada siapa saja, kali ini aku kena percikan apinya. Aku tak habis memikir ia tak pernah tersinggung kalau teman-teman guyon malah ia tersenyum malah marah amat mencak lagi seperti pemain silat kesurupan.
Setelah kupastikan ia tidak lagi memeram kata-kata yang kulontar tanpa sengaja terlepas kendali, kuyakinkan ia sudah redam, kuberanikan diriku menyapa Hamda.
“Maafkan kata-kata yang terlepas tadi, Topan minta maap”, ujarku
Hamda masih bungkam, ia tak memperhatikan ucapan itu. Tangan kanannya memegangi tiang penyangga teras sambil memukul-mukul kecil dan berbalik seperti pemain drama diatas pentas dan ia berkata lembut padaku.
“Anggaplah kau tak pernah bicara apa apa, bahkan sebut nama Hamidah sekali pun”
“Ya, aku ngerti Hamda, maafkan”
Tak ada lagi terdengar cakapnya. Sepi ruangan tak ada seorang pun. Aku masih berada diteras duduk dibangku kecil sambil mengingat kejadian pagi tadi dengan Hamda. Aku menyadari membuat shywor piramida terbalik ketika Hamidah secara kebetulan berada di suatu tempat.
Maksud hanya agar seru pertemanan dialog keras dan menukik. Kupancing Hamda malah jadi jotos kata, untung tidak jotos tinju atau main belati, jadi duel tak berthema yang sia-sia. Aku tahu persis saat itu benar-benar luar biasa marahnya.
Hamidah tak berkata sebatik kata sebab tak mengerti apa yang sedang didebatkan. Hamda juga bingung hingga bantahan dari mulutnya blak-blakan tak pernah mengatakan sesuatu apalagi menyebut namanya.
Namun aku melihat pertemanan itu sangat luwes, bisa menjaga jarak. Hamda menurutku supel bergaul dengan semua orang, peramah tak pernah berkata kasar. Paling-paling kalau hatinya diliput suasana mendung, ia masih bisa tersenyum tapi rangkai katanya sedikit patah tertahan dike rongkongan setengah mengkal.
Tapi masih tetap kurasakan kebaikan hatinya tak pernah berubah, terkadang orang bisa saja melupakannya setelah tersandera yang semua itu permainan pergulatan hari. Suatu hari aku pernah guyon ia tak marah.
“wahh hebat kaya selebriti drama puitisasinya bersama Ruwaida!, di face book lakonnya Keren, kaya bintang…..”, ujar Topan sambil mengacung jempol seraya tersenyum.
“Terima kasih pujianmu Topan”
“Aku tak memuji tanpa alasan, teman berkomentar seperti itu, yang menyaksikan juga”
Hamda tak memberi jawaban ia tertegun dan diam sejenak, aku yakin I a ingat Hamidah, tapi tak itu yang kukatakan padanya, aku enggan melukai hatinya. Aku tak ingin mengganggu ke tenangannya.
Dengan kebaikan budi dan hati masih saja ada yang mempermainkan keindahannya ketika keinginan tercapai ia campakkan mengawang diatas kelembutan hamparan senyum, buncah pula gelombang samudera merantuk pantai begitulah dsir angin mempermainkan pohon di tepian.
Hamda tetap tegar menyikapi hal ini, dalam meditasiku benang-benang kusut dengan sangat teliti penuh menjaga hati tak terjadi kekusutan itu makin parah. Disulamnya jadi sehelai kerinduan tanpa mengenal arti hanya sebatas sayang.
“Aku belum bangga Topan, kalau hanya sekeliling yang memuji, aku inginkan Hamidah!”
“Emm…begitu?, sulit kalau keluar dari lidahnya. Dengan inter aksi kata, mata, senyum dan gerak bahasa tubuh kurasa cukup”, ujar Topan meyakin Hamda.
“Kurang kompak antara ucap perbuatan”, tegas Hamda dengan spesifik telunjuk kanannya.
“Ya, begitulah kalau bintangnya sama Taurus, orangnya lembut, belas kasih, tapi keras kepala, sensitif, pemaaf”, kata Topan seperti membela Hamidah.
“Tidak juga, susah diurus. Perang terus-terusan karena egocentris, haha tapi syahdu” menjadi pembenar jawaban Hamda.
Topan masih mencari selah buat mematah argumen keras kepalanya. Ia Cuma bicara sendiri dalam benaknya. Memang kalau sama-sama keras akan berakhir menyakitkan. Kekerasan tak selalu selamanya diselesaikan yang berujung pada percekcokkan. Hindari kemungkinan yang bakal terjadi , menghindar bukan berarti tekuk lutut, tapi itulah solusi sementara.
“Hamda menyayanginya bukan?”
“Kalau tak menyayang bagaimana?”, simple jawab Hamda.
“Bubar jalan saja. Buat apa merindukannya” izin
“Itu fikiran orang gila”, tegas Hamda serius.
Percakapan ini mulai menghangat saling melempar argumen yang disetir rasa emosi, terasa ada luapan tak berujung pangkal. Disini diperlukan otak kanan untuk merekam peristiwa, When, What apa masalah, Whay , Who and Where are How the laste What next.
Sudah sampai pada kesimpulan untuk memberikan pegangan buat Hamda. Aku tahu tiap segala sesuatu yang ingin dicapai selalu diimbangi pengorbanan, moral dan material. Menurutku ini masih lemah syarat pengajuan judul skripsi , registrasi kemahasiswaan tak terdaftar sebagai salah satu perguruan tinggi izin operasional kopertis.
“Ya, itu benar alasan Hamda kalau berjalan seimbang. Aku tak akan menjelaskan transparan’ kau lebih tahu dan mengerti soal ilmu jiwa”, ujar Topan membungkus kesenjangan rahasia sebenar nya bisa disimpul dengan ketenangan spiritual. “Jadi kau tidak setuju apa yang kusampaikan?”
“Tidak demikian Hamda, sangat setuju. Ada syarat yang mengganjal, coba kita telusuri secara bersama. Kita urut mulai awal sampai pada akhirnya”, ujar Topan meng advis.
Keduanya terdiam setelah ujung advis itu mengena sasaran, hingga menembus relung wisa jantung Hamda. Berputar melingkar –lingkar menggadai hatinya tertusuk peniti rindu sayang terdiam masygul sambil memejamkan mata.
“Topan aku ngerti sekarang apa yang kau maksudkan. Itu tak mungkin terlaksana sudah agak terlalu parah derita semuanya, hanya karena seorang wanita?, tak perlu terjadi tragedi seperti ini”, Hamda terbata lemas diam menjadi patung.
“Ya, begitulah. Tuhan masih sayang padamu Hamda”
“terima kasih Topan, cuma satu pintaku izinkan aku menyayangi Hamidah”
Sampai pada percakapan terakhir ini keduanya larut dalam keharuan tanpa batas. Jika seandainya batas langit dengan langit lainnya tak berbatas itulah sayang mereka, sayangnya Hamda dan Topan dalam pertemanan yang hakiki.
Tuhan telah menetapkan perjalanan ini dalam kesadaran yang panjang menentukan kepu tusan paling akhir sebelum matahari terbenam. Biarkan perjalanan malam menutup cerita yang amat merisau tapi terlalu indah dinikmati pagi secangkir kopi tanpa air mata, hanya kenangan indah.
Banjarbaru, 10 Januari 11
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-jangan-kau-sebut-namanya/187069207989897
0 komentar: