Cerpen Hamami Adaby: Please, Up To You
Gelombang samudera itu tak henti-hentinya membantingkan belalainya kepermukaan air laut yang biru. Berkilau diterpa matahari yang rindu pada kehangatan digertak gejolak angin yang meliuk-liukan tarinya diatas permukaan permadani fenomena alam. Kebesaran ini diciptakan dengan segala keindahan dan maknanya.Perahu nelayan seperti korek-korek api dengan katir lentera yang samar-samar kelihatan antara bayang dan kepekatan malam hampir tak terjangkau mata telanjang. Hanya dalam imajinasi yang kini kusampaikan dengan rengkahan hati, betapa pun laut ini sangat ganas tak kenal siapa pun.
Sejak tadi gelombang itu bergulung-gulung tak pernah diam, melambung keudara menyemburkan debur ombak yang berkejaran diatas kapal-kapal yang berlayar menuju samudera. Maha luas dan yang terlihat sejauh pandang mata, hampar putih kemilau telah merayapi pesona, hingga terasa kecil diriku tak ada kekuatan apa pun, selain Sang pencipta.
Aku ingat ucapan seorang teman yang paling kusayang, “kalau kau duduk ditepi pantai ada mentari dan embun pagi, pada angin kukatakan diam juga berarti rindu”, tapi kau berkata tak mengenak rasa, namun aku tak sedikit juga kecewa apalagi hentakkan suaramu berujung pada “up to you”.
Kubaiat hati malam ini diantara pepohonan tepian pantai dan perahu-perahu nelayan, katir sampan adalah jantungku yang berdetak kau sembunyikan dalam gelombang yang membiar menghajar pantai dalam kesenyapan dingin, kugalung separagrap puisi yang belum selesai, hingga menghangatkan kita pada situasi antara pencarian yang telah terukur.
Di sana telah kuceritakan bahwa matahari yang terbit disini adalah matahari yang terbenam disana, hingga berulang dan berkali ulang tak henti meniti sajadah rindu diantara rasa dan asa yang menoreh terasa juga pedihnya. Seperti telah disiapkan pedang untuk melukai hati. Tapi tak usah kita sesali ketika perkenalan merambah puncaknya hingga tiap waktu perpisahan itu akan kita jumpai.
Jangan perkenalan yang kita jadikan kambing hitam, perkenalan adalah perpaduan waktu sebagai simbiosis yang menyatu karena deretan keinginan yang positif, melahirkan persamaan hasrat naluriah keinginan tahu dalam proses alamiah semata. Hal yang biasa kalau terjadi sesuatu diluar praduga.
Perpisahan, hal yang paling sensitif tiap orang menyikapinya. Jangan terlalu egois menyikapi hal ini. Setiap pertemuan atau perkenalan suatu ketika, tanpa kita mampu memprediksi, ada hal-hal yang tak kita ingin terjadi selisih kata, pendapat hingga terjadilah silang sengketa berujung pada perpisahan. Dan tentu hal ini tak menutup keraguan terjadi pada diri kita masing-masing.
Bukan pertemuan yang selalu menjadi perpisahan, mungkin juga karena sipat mendua dari kita, lalu cuci tangan menyalahkan pertemuan yang disesali sebagai tumbal propakata alasan, semua itu seakan membingungkan hingga perpisahan menimbulkan komentar yang berbau antagonis, padahal keserasian harmonisasi diantara kita sangat labil.
Enggan aku menyalahkan pertemuan atau perpisahan dalam satu situasi yang tanpa direncana ada keretakan lalu menyulut lembut ketidak stabilan perjalanan itu, seperti perahu nelayan sedang asyiknya melaut ada badai mengusik. Kita memang tidak ahli untuk prediksi cuaca yang tiba-tiba saja bersipat tak jujur. Sementara kita belum siap merelakan segala keindahan yang tiba-tiba berubah seketika.
Ini perlu keputihan hati untuk menyikapi, berfikir sistima merekrut pribadi yang tahan pukulan arus dan gelombang, sebab suatu saat pasti menemukan hal yang paling tidak kita relakan. Namun itu yang hadir mengancam pada waktu dan situasi yang berbeda tak perlu pungkiri , andai ini terjadi mampukah menetralisir jiwa yang goncang?
Pertanyaan yang membumi di otak. Tak tahulah sekiranya itu pada keranuman fikir yang belum tahu perkalian waktu tak akan mampu menghasilkan kejelian untuk mengkaji ulang, bahwa ini hal yang pasti bukan luar biasa sebab tiap kali bisa terjadi pada diri masing-masing.
Boleh saja, mencintai atau menyayang seseorang, tapi kata orang-orang tak selamanya harus miliki, inilah benturan kata yang sangat menyakitkan. Bercinta tak selamanya harus memiliki. Apa sebuah ucap deretan kata dalam bentukan kalimat ini, menurutku kurang bijaksana menyikapi sebuah arti yang perlu pengkajian mendalam. Tapi tak perlulah ini yang kita munculkan, pasti menyakitkan!
“Oseane, cabut pedangmu! Aku siap menerima ancamanmu, If I must not given loving you”.
“Naam habibi ya syu’ara tafaddhol, ana atakallaha tatakallahuma fi jismil ainaini qara’taha salim”
“Oke, understand and I hope friented made by created our betwen of familier”, begitu Ose?
“Bihima qolbiha wabihima qolbii nafsin wahida fil laili majnuni, subhanallah!”
“So much Oseane!”
Setelah itu kami tak bercakap, diam sambil menghayati permainan game kata-kata yang liar dan bicara dalam bahasa yang kurang penuh dan pas takarannya. Tapi inilah seni bicara, aksen dan dialogis yang face to face walau diberapa bagian kita dapati kejanggalan, namun satu titik pengertian yang kami simpulkan, bahwa apa yang kami ucapkan dapat dimengerti. Berbahasa untuk bisa dimengerti, manalah mungkin dapat mengerti kalau kita tak mengenal arti, biarkanlah patahan itu menjadikan lebih indah.
Puisi yang kau buat dikertas dinding ngiluku, adalah tautan kata yang diekpresi dengan ungkapan yang lahirnya dari rias riap gelombang, lalu kau luncurkan bersama buih nurani, tak sedikitpun aku bisa membantah kehadirannya, tapi ini juga sebatas tepisan alun yang mengantar jenazah ketepian. Kudupa namamu dalam rahim selangkaku dan hendaknya jangan kau tepis dengan tudingan obral kata.
Tak pernah kujual kata padamu, tak pernah aku mengemis rindu, biarkan tag dan tautan berbicara menyatukan gambar bathin antara ada dan tiada, antara tiada maka pernah ada menjadi magma, batu nisan yang kupahat jadi kenangan bahwa kita pernah jumpa tapi tak pernah menjadi satu dalam faktual, tapi ini jangan kita garis bawah bahwa kita tak pernah saling mengenal.
Boleh saja mulai hari ini kau lupakan, aku tak melarangmu bahkan sampai seterusnya, tapi dihatimu telah kuselipkan bahwa aku pernah hinggap disisi kirimu. Atau barangkali sisihkan namaku dari ruangan catatan hingga namaku kau benamkan dalam diam, hingga tak satupun yang lagi mau menyapa.
“Oseane, dibalik bulan awan kelabu, hingga tak tampak senyummu”, ia menatapku tajam.
“Maafkan janji malam yang liar, senja di sandera bulan hingga lupa”.
“Nggak apa-apa, ya dibalik awan bulan tak tampak terpenjara dalam kelam”, ujarku senyum kecil.
“Hehe, kecapean ekstra kurikuler, benar juga apa yang katakan Habibi!.Meriang dan flu, hehe..!”
“Tapi pedangmu tetap tajam dan mengkilat. Apa jadi lehermu kau serahkan?”
“Ngga jadi, takut melihat darah! Tak apalah, pedang ini kusimpan bersama sarungnya”,amat manja.
“Oke Ose, aku tak memaksa untuk jadi berani. Tapi paling tidak kau pernah menantang!”
“Habibi, terima kasih!”, katanya sambil tersenyum berbinar.
Sore Rabu itu masih menorehkan senyumnya hingga menggapai jam waktu senja. Cakrawala langit benderang tanpa ada gurat kelabu sedikit jua. Awan putih makin menarikan keelokan digaris rakunnya yang menulis filosopis bahwa langitku adalah keindahan permainan keakraban antara hamba dengan kholaqo-yahluqo manusia-manusia cinta sesamanya. Ikhlaqo maka bumi pun bersinar rahmatnya.
Tunai sudah niat yang digerakkan kehendak pertemuan dari kresek hati, permintaan doa yang lunas dari yang terlukis dan tersirat hanya tanpa kehendak yang relegi, semuanya tak akan pernah sampai menggenapkan hati. Begitu kuat tarikan nafasmu hingga jadi lebur bersama waktu.
“Ose, Tuhan menyukai kebaikan, sebiji pasirpun ia perhitungkan! Inilah yang harus dipertahankan”.
“Ya Habibi. Ose mengerti dan faham. Tak selalu harus kejelekan dibalas kejelekan, tapi sangat mulia bila mampu membalasnya dengan kebaikan dan senyum”, ujar Ose memaham maknanya.
“Oke Ose, ini penyatuan kemurnian hakikat kehidupan di atas bumi ini!”
Senja makin luruh juga hingga matahari masih saja bercanda diujung paling atas daun antara bayang malam yang semakin kuat memburaikan cahayanya, sedang Oceane sudah membetulkan gaun birunya yang panjang. Senja itu kelihatan sangat anggun menurut ukuran mataku.
Sementara ia sudah berkemas ingin pulang dan benarlah 30 menit sebelum jelang magrib Oseane setelah memberi salam akhirnya melangkah kaki meninggalkanku. Kuantarkan dalam kejauhan pandang hingga tak lagi kulihat bayang tubuhnya setelah membelok kanan jalan menuju pulang.
Selamat malam hingga bulan menjemputmu di altar jiwa yang hening, hingga sofa yang kita duduki sebagai saksi pualam yang menyimpan segala makna dan sejuta kegemasan yang bertarung diatas gelut canda yang mengasyikkan hingga tak pernah pisah dalam sedetik, sebab ini pertautan karib yang satu.
Kita pun tak pernah menyangka ada pertemuan dan bukan perpisahan yang harus kita semayamkan karena itu tak perlu terjadi ketika kita sudah merasakan kenikmatan persahabatan findunya khasanah wapil akhirati khasanah, doa kita bersama Oseane!
Banjarbaru, 22 Februari 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-17-please-up-to-you/197362460293905
0 komentar: