Cerpen Hamami Adaby: Ada Bulan di Ujung Sana

21.44 Zian 0 Comments

Dengan susah payah merangkak kukumpulkan bekas kehilangan kata. Mampukah beberapa satuan kalimat sudah terangkai yang tertumpah dipasir pantai di gelontor virus SMADAF, kupilih kembali jalan bersama butiran-butiran pasir yang lembut kutulis kalimat pengganti. Bagaimana pun aku katakan itu sinonim yang tak berarti.
Kecewa itu pasti dalam perasaan, namun bila terhanyut dalam gejolak kejengkelan tak akan bisa pernah selesai sebuah pertikaian bathin yang semakin meruncingkan beda pendapat ketika argumen tak mempan buat menetralisir kerasnya emosi jengkel, ketika tumpukan kata menjelma permadani cinta.
Aku katakan sesungguhnya kalimat-kalimat yang kususun kembali, amatlah tak seindah pertama konsentrasi penuh, aku duduk televati menung mengalirkan sir dalam rongga dada, hingga syaraf darah optimal bekerja menetralisir menu yang ku hadirkan dalam prasmanan perpisahan.

Hari ini biarlah sayangku yang tertumpah di pasir pantai itu tak seluruhnya kubutiri satu ppersatu bukan aku tak ingin tapi keadaan waktu yang amat kritis mempermainkan hampir setiap episode cuaca meramalkan dan kita amati secara cermat dilangit ada bintang melengserkan cahayanya sekejap.
Mungkin kau juga dengan tak sengaja melihat situasi macam itu, tapi tak pernah memperhatikan seksama. Terus terang apakah ini pernah kita lihat tapi tak pernah menyentuh hati sedikit jua. Kejadian didepan mata tapi tak pernah kita mencoba indahnya permainan lazuardi. Tapi tak apalah, ini hanyalah satu dimensi malam dengan seribu makna.
Untuk kesekian kalinya kutampi kata-kata, mampukah aku merampungnya, lalu salah seorang sahabat memberi advis, katanya bisa saja terbentuk kembali vertikal, tapi tak sesempurna awal kejadian fikiran murni. Ya, aku menyadari itu, tapi dalam hatiku ingin fokus pada problema awal walau berbeda cara ungkapan. Diotak masih rampung dan utuh skenario beda tak kupersoalkan lagi.
Aku mendengar dering telpon dan aku sedikit jengkel karena mengganggu stimulan ideaku, tak kuangkat, pasti ia akan bel kembali, itu keyakinan yang kusandar pada dering telpon kedua.
“Hallo…Hallo, apa tak dengar tanda panggilan?”, kata Carolina dengan aksen tinggi menipis.
“Dengar Carolin”
“Ini panggilan kedua, kemana saja Demaniz?”, katanya tegas amat.
“Tadi aku kebelakang, tanam sengkong” Cepat ia memangkas.
“Kenapa tidak sekalian tanam karet, dan yang menyadap nanti Barena!”
Aku terhenyak sebentar mendengar ucapan Carolina yang tak m berthema persaudaraan, aku sangat tersinggung tapi tak begitu berat menyekapi hatiku. Aku kenal betul Carolina lewat 10 tahun lalu, akankah ini kutarik garis miring lalu memental ke dinding nurani yang sekian waktu tak pernah ada rasa curiga. Dialah salah satu wanita ideal yang baik dan pinter memaknai sekecil apapun arti persaudaraan.
“Tanahnya sempit Carolin, tak mungkin ditanami pohon karet atau sawit”, ujarku lembut.
“O, simple jawabanmu Demaniz. Padahal tanahnya lembut dan gembur. Buat pohon karet dan sawit cukup lumayan standar humusnya”, katanya Carolina menggoda.
“Aku tak sedikit menyangkal argumenmu, tapi…?” Carolin tangkas membabat.
“Kalau, sudah tapi tak akan pernah sampai!”, Ia mengunci jawaban.
“Ya, kuncinya padamu sedang anak kuncinya ada padaku”.
“Memang hebat kau Demaniz. Fikiranmu masih utuh dan sinyalemen bersih”.
“Kalau tidak demikian, aku tercebur kekolam hati yang melankolik, kasihan aku Carolina!”
Percakapan terhenti beberapa menit, masing-masing merenungkan pembicaraan yang begitu rumit dan tendens tak akan pernah selesai kalau diambang kepermukaan tanpa solusi yang memadai. Aku sangat bangga punya teman yang sangat memahami segala kegelisahan, segala sesuatu yang tak mampu kupecah sendiri. Aku mengerti maksud Carolina tapi tak perlu menduga-duga.
“Carolina, aku tak mampu sebenarnya membenam logika ini. Tapi sudah jadi keyakinan aku harus bisa mengubah makna, berjalan diatas rel kereta sebelum lokomotif meranjah rel-rel panjang yang lalu mengantar perjalanan stasiun. Maafkan aku!”. Sengaja kuputus hubungan telpon, agar tak lagi Carolina mengumpatku, harapan agar ia mampu bisa membenciku sebagai sahabat yang tak setia mengatakan sesuatu pada saat kapan saja.
Telpon sahabatku, Lindra berdering berkali-kali, tapi aku tak mengangkatnya. Memang aku tak mengantar ke bandara Cengkareng karena kebetulan sore Kemis itu, kurang enak situasi, mabuk udang laut, tekanan darah tinggi, sedang denyut nadiku masih normal kurasa sekitar 80. Suhu tubuh tiba-tiba saja memanas, kepalaku sempoyongan ketika bangun pagi, duh dunia telah memutar rekaman kelabu.
Aku sangat mengerti kenapa Carolina selalu saja ngomong kasar dan keras kepala. Tapi aku tak ambil pusing, masa bodoh dan cuek!. Aku bersandar pada keyakinan segala sesuatu Tuhanlah memberi suatu kepastian setelah kita melakukan ikhtiar. Tak gentar sedikit pun tak akan spekulasi.
Suatu pagi yang tak kuduga aku ketemu Carolina dan sahabatnya yang belum ia kenalkan
“Demaniz mau kenalan dengan Barena?”, ujar Carolina hambar.
“Aku, mau-mau aja kalau Barena mau”
“Ya, aku biasa aja kok, namaku itu tadi, Barena!”, sambil melepas salaman.
“Em,Carolina sama Barena satu sekolah ya?, pesantren aku dengar sendiri”
Tak ada cakap yang lancar seperti tadi. Kami saling berpandangan dengan Barena, tapi juga tak ku mengerti kenapa tiba-tiba cakap tak semulus lagi. Ah, tak perlu itu yang mesti kuangkat jadinya masalah. Sangat kecil dan amat sepele.
“Demaniz, kami permisi meninggalkan anda”, ujar Carolina.
“Ya,terima kasih atas perkenalannya, salam Barena”, menyalam keduanya.
Demaniz teringat salah seorang teman sesekolahan, temannya Carolina dan Barena. Lalu Ia berniat singgah dipertigaan Kemuning. Kebetulan Siraj sedang santai sendirian duduk diberanda rumah. Siraj menyapa Demaniz agar ia mau menemani untuk menyambut pagi yang bermentari pongah.
“Assalamualaikum”, ujar Demaniz sambil mengulur tangan.
“Wa Alaikum salam”, jawab Siraj dan kental ke arabannya.
Keduanya baik Demaniz atau Siraj duduk berdampingan, sedikit memutar kursi sekitar 30 an derajat apabila terjadi komunikasi mudah berinter aksi. Refleksitas itu sangat memungkinkan untuk lebih meyakinkan bahwa moment paling tepat untuk menggaris bawah setiap masukan Siraj, adalah syah menurutku karena ia sama-sama satu psantren. Tak keliru rasanya aku menggali.
“Kudengar ada kegiatan di psantren, lomba lagu Nasyid, apa betul Sir?”
“Ya betul Dem, dari mana tahu?”.
“Dari Carolina dan Barena. Barusan saja aku ketemu, katanya ia mau ketempat teman”.
“Di mana ketemunya Dem?”
“Di sebelah jalan ini dekat TK. “GEMBIRA”, seberangan mesjid Banjarbaru I”
“Okelah!, Ada info apa Dem, kok sepagi ini agak ceria kelihatannya”,sasar Siraj.
“Aku baru saja kenal Barena, Sir!”
“Oke, begitu?. Bagus Demaniz, salut sebagai temannya!”, bicara terputus sebentar.
Demaniz terdiam beberapa saat, namun cepat ia menetralisir keadaan seakan tak ada permasalahan yang menerkam. Dicobanya merekam jejak dengan lanjut pembicaraan.
“Baru saja kenal keduanya, kurang lebih 6 bulanan Sir”
“O, begitu? Dengan Carolina yang lama, begitu?”
“Kok begitu?”, ujar Demaniz bimbang.
“Ya, begitulah Dem! Kamu bimbang kan dengan ucapanku?”
“Sudah pasti Sir! Coba terbuka ajalah, biar aku senang sekali pun ini racun!”
“Baik, kupenuhi permintaan, tapi ini sekedar isue belaka. Bisa saja selentingan kau anggap atau sebagai gertak sambal”. Hening 6 tarikan nafas Siraj mengunci kata dengan “CAROLINA KU DENGAR KEMBALI RUJUK BERBAIK DENGAN LINDRA”, ujar Siraj menutup.
Tak ada gemerincing suara Demaniz, sunyi seperti hutan tanpa penghuni, burung-burung telah terbang kekota, angin tak menyisir rerumputan, gerimis hujan untung tak jadi topan, semacam angin tutus yang memporak poranda atap rumah.
“Tak menjadi kehilangan bagiku, biarkan Carolina bersama Lindra. Cinta bukan paksaan tapi tetap saja gores-gores luka meniris kulit. Ini resiko Sir, biarkan ia bahagia!”, ujarku lirih.
“Kan masih ada Barena”, ujar Siraj meyakinkan hati.
“Belum tentu Barena mau denganku. Itu diluar firasatku!”
“Jodoh ditangan Tuhan kita sekedar berkehendak. Siapa tahu ini garisan tanganmu”
“Klise Sir, Tuhan tak adil, Tuhan memihak Carolina daripada aku”
“Kenapa akhir-akhir ini begitu pesimis menghadapi hal macam ini? Padahal kau tak pernah menyerah dalam pertarungan. Coba kumpul enerji yang terserak, tarik kedalam dirimu kembali lalu satukan dengan nafas dalam hening malam, kirimkan lewat angin”, ujar Siraj seperti paranormal.
“Baiklah Sir, dengan Carolina tak mungkin, sudah disunting orang!” Keraguan timbul lagi.
“Istiharah Dem, minta petunjuknya”
“Ya tuan guru Siraj!?”, ujar Demaniz kesalnya keluar, “Kalau Barena tak mau?”
“Belum istiharah bukan?”
“Kalau sudah istiharah, tak juga?”, ujar Demaniz geregetan.
“Itu tak jodoh, tapi balik pertanyaannya, “Kalau berjodoh bagaimana?”
“Kalau berjodoh bagaimana?" Demaniz menirukan ucapan Siraj.
Tambah bingung lagi Demaniz, inginnya Carolina yang jadinya Barena. Apa aku salah tafsir, atau salah pinta. Atau memang permainan hati yang mengecoh lalu sembunyikan ketidak adilan yang kupinta. Mestikah ini harus protes atau hanya kudiamkan saja karena inilah kenyataan.
Belum hidmat aku menerima keinginan yang berbelok mata angin, kalau aku kalah perserpsi banding, resiko lebih tajam. Berdiam diri tanpa ikhtiar sebagai manusia yang diberi kekuatan otak dan fikiran, Tuhan akan mencapku manusia penurut seperti malaikat. Aku tak mau sebutan itu.
Dengan ketenangan yang didasari perisaikekerasan bathin kurasa aku tak mampu juga buat melawan kudrat dan iradatnya dalam ketauhidan mengesakan. Aku tersungkur dalam tatapan bathinku inilah takdir yang berdiri atas diriku.
Kuinginkan yang pertama tapi yang kedua datang, aku terima inilah jalan cerita hidupnya sampai hari ini, jika gambaran melodi jiwaku kebetulan terjadi pada siapa pun, bahwa inilah melankolis kehidupan yang tak terpungkiri sampai rekaman ini berakhir, menyesali berarti melawan kudrat.

Banjarbaru, 12 Februari 2011

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-14-ada-bulan-di-ujung-sana/194739340556217

0 komentar: