Cerpen Hamami Adaby: Apa Keinginanmu, Perempuanku?

21.52 Zian 0 Comments

Sudah kuduga apa yang mau kau katakan padaku. Dari kerinyit kening aura wajahnya tampaklah amat marah. Sesekali ia memandang amat geram menatap tajam, tapi kepura-puraan cepat membuang muka dan melempiaskan pada spieces anggrek yang kemarin sore kuberi nama “Dark Hearty”.
Dari spieces itu aku coba menyesuaikan dengan kodrat alami dan warnanya bunga bukan sekedar seenak memberi nama, tapi dengan pertanggung jawab moral ketika ada orang memperotes “kok sih…. Namanya bloon”.Tapi yakinlah tak ada yang protes, andai juga protes persilahkan dengan hormat bahwa aku siap mempercayakan hanya demi untuk sebuah nama.
Reaksi hati antara aku dengan Harty umpama bejana berhubungan yang terisi air sejajar merata permukaan. Tinggal sulutan api yang menentukanpembakaran apakah labil atau menyimpan anarkisme berlebihan. Dan tak tahulah aku akan seperti apa pertikaian itu. Miris juga hati ini tapi semakin egonya kubiarkan, semakin merengsek seperti deru guntur memekak ditelinga.

Aku lelaki yang punya hati dan airmata, ya sedemikian jelujur mata yang indah, tapi masih juga ada ulah tingkah yang aku tidak berkenan, kali ini akan kupertaruhkan merekat kelelakianku. Bukan tujuan sebenarnya. Namun ini prinsip yang tak bisa ditawar, bukan keras kepala atau ego yang paling menonjol.
Ketahuilah aku cukup bersabar meladeni. Semua apa yang ia katakan hampir tak pernah aku tampik lalu Harty seenaknya memperlakukan aku? Tak habis pikir, dalam kemelut jiwa ini masih bisa kupendam dan berusaha menepis segala gejala perang kata yang berujung nanti pada pemakzulan kalimat. Akulah yang banyak mengalah, tidak ingin memperkeruh situasi. Kuredam dengan hati, kuharapkan Harty, bisa menurunkan tensinya.
Terlalu jelek kalau aku selalu menyalahkan Harty, namun tak pernah juga mengatakan hal itu pada orang lain. Tapi tak bijaksana lagi kalau aku tak mengatakan yang sejujurnya. Menunggu waktu yang baik dan situasional yang sejuk untuk bercerita atau berselancar pada gerusan urat nadi. Akan terasa denyut sepanjang detik tak dapat lupakan. Kurasa Harty akan menterjemahkan pada bahasa puitis.
Anggrek yang bergelantungan disamping dinding rumah itu sangatlah ceria menatapi wajah kami. Kenapa kita tidak menyambut keceriaan itu dengan senang hati ketika pagi matahari mengucap selamat pagi, apa kita harus diam? Tidak!, aku ingin bercanda dengannya dan membelai dengan jemari halusku dan kuelus telunjuk tangkai bunganya yang kuning.
Harty ketika itu melintas didepanku, tapi sempat tangan kirinya kusambar hingga terhenti dan tak kusengaja ia teroleng hampir jatuh dan kusambut tubuhnya yang semampai itu. Kubenamkan dalam diam rangkulan. Ia meronta seakan tak mau diganggu pagi itu.
Tapi tetap juga kurangkul erat hingga ia tak berdaya dan setelah itu kupersilahkan duduk samping kananku. Ia bergeser kekanan sehingga mata saling bertubrukan. Dua kursi duduk ia lowong jarak itu hingga kami dipisahkan oleh temperamen yang gila.
“Harty, itu anggrek kita sudah berbunga. Lihat itu bunganya kuning menawan.Kita beri nama yuk, anggrek itu!”, Harty tak menjawab tanyaku, malah ia menunduk, diam sambil mempermainkan ujung kukunya runcing dan putih itu.
“Harty kok diam!” Apa jawabnya tak menjengkelkan menurut nuraniku.
“Terserah, mau kau beri nama apa!”
“Ya, Harty dan terimakasih. Anggrek yang kuning itu kita beri nama : Yellow Nice, bagaimana?”
“Sudah kubilang tadi, terserah kamu saja, mau apa kek, ini-itu tak usah terlalu sharing denganku”
“Okelah, anggrek yang satunya lagi kuberi nama: Black White, yang satu dekat beranda hati kuberi nama indah : Twice moonth. Anggrek yang lainnya belum membunga”, ujarku sendirian bicara.
Barangkali pagi ini akan ada tofan menerpa atap rumah. Kelihatannya awan dari tepian langitnya makin menyandera hati hingga aku harus menanya sesuatu pada Harty. Masih bimbang apa ia nantinya menyambut baik atau merespon. Tak perlu itu, pagi ini aku mesti bertanya, apapun yang akan terjadi.
Keraguan yang menyelimut kusisihkan dalam sekejab, hingga pagi ini segalanya akan tuntas apa saja taruhannya sekalipun ada derita yang tak berkesudahan.
“Harty, aku ingin kejujuranmu! Sebelum matahari lengser ke malam aku ingin tanya, kenapa kau selalu diam, hambar setelah kau rebahkan dipangkuanmu, aku tak menemukan keaslianmu!”
Harty diam, menundukkan kepalanya seakan ubin bersaksi bahwa hari akan ada vonis dari Hakim ketika diam itu tak menentu. Kadang menjemukan tingkahnya Harty, lalu timbul praduga yang tak pada semestinya mengeram dalam fikiran. Aku tak mau seperti harus selesai dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
“Kenapa diam saja Harty?. Aku tak mau seperti ini, sekalipun pernah ada ucapanmu yang kasar, aku diamkan selama ini. Tapi kalau terus-terusan aku juga tak bisa melakoni”, ujarku setengah hati.
“Apa maksudmu Rambu?”
“Masih tanya lagi. Apa kau tidak mengerti atau tidak mau mengerti atau masih menyembunyikan arti. Jelas-jelas sudah, setiap kali kutanya, kau tak pernah jawab itu! Apa masih perlu kejelasan?”
Aku harus melanjutkan penelusuran sekalipun Harty masih tak mau menutur keabsahan metode perjalanan ini. Aku tak ingin bermain diatas selancar udara yang hampa dan kosong. Setiap sudut ruang akan kukejar Harty dengan simple aflication.
“Begini Rambu, aku diam karena ku dulu pernah pecundangi Telati, anak Bandung itu!”
“O, begitu timpaan kilas balik argumenmu?. Aku kenal yang se detailnya hatimu Harty. Jangan diam sembunyi dibalik kegersangan kerdilnya pandangan. Hanya kecemburuan yang tak berdasar. Mana mungkin pohon nangka berbuah duren!”
“Tidak seperti itu apa yang dikatakan Rambu!”
“Lalu, kau tak mau mengakui keteledoranmu?” Aku mencecarnya sambil mata menatap gerah.
“Bukan itu jawabanku Rambu!”
“Lantas?”, kataku sangat geregetan, namun tetap menjaga stabilitas emosi yang berfariable.
Gelagatnya mau meninggalkan ruangan itu, tapi masih kurekat tangannya dalam berdiri dan kududukkan kembali di sofa. Tapi ia masih diam tercenung menatap kosong pandangnya sendiri hingga kubiarkan mengembara fikirannya.
“Harty…kau yang mengatakan itu padaku. Aku jauh hati padamu Rambu, aku gila padamu, oh apa masih ingat biang kalimat yang mewanyi itu? Duh, begitu mesranya belaian tanganmu ketika gaung pertama jatuh hati, tak ku kira hatimu serangga beracun”
“Sudah puas hatimu menguas dinding hatiku?. Tapi aku masih menyangsikan ucapan yang kau tawarkan padaku Rambu!. Kenapa ini harus didramatisir terlalu berlebihan, hingga aku kau pojok begitu santar di publik, aku masih menunggu saat tepat buat membantai dan akan menyeretmu Pengadilan Cinta”, katanya Harty sambil menahan hias air mata yang mendekam kejang.
“Sedikit pun tak menggetar hatiku, sekalipun langit kau runtuhkan dan bumi kau goncangkan”
Harty tak menjawab dalam rangkaian hurup-hurup bertingkat dan berjenjang, seperti puisi nya Triwikrama yang menjingkrakkan hati melambung jauh. Betapa melodinya hati Harty saat memuji dan bila saat musim tiba timbul ke brilianannya aku dimandikan embun pagi yang sejuk menatah manja.
Aku tahu ia pasti terpukul dengan ucapan kasarku. Aku tahu ia mencintaiku dengan segalanya bahwa kejadian dalam permainan ini merupakan satu pencarian jejak titik temu sebelum memasuki hal yang paling sakral nantinya.
Dalam keheningan suasana pertengkaran itu, cahaya mentari pagi menembus tirai kaca, lalu membentuk warna pelangi dalam ruangan. Sementara kerisauan yang bergelayut sementara dalamnya kesefahaman mewarnai kesejukan yang saling mengisi, hingga tak terjadi hambatan berarti.
“Harty, kau marah sayang? kau kesal dan benci, itu pasti! Tapi itu silikon cinta dan transfirring sayang. Lalu kita mengirimkan tautan dihelai-helai daun rindu bersama angin yang merahasia”
Tak ada keresak jawab apakah aku yang tidak mendengar atau memang belum terucapkannya atau harus menunggu debar jantung normal hingga tak ada satuan lain buat memperpanjang masalah percekcokan gtadi pagi.
Karena tidak ada lagi yang harus diperdebatkan hingga melelahkan fikiran maka dengan suatu kesadaran yang menyelinap muncul,pandangan melekat diujung mata hingga begitu akrabnya mengakar pada senyum kemesraan dan kudekati Harty, kubelai rambunya yang hitam mengarang, pegang ujung bahusambil kuremas pelan ujung bahunya.
Kulekat dipangkuan sehingga mata ini bertemu berbinar seperti bintang di lazuardi sedangkan degup jantung masih menggumpal sinyal. Kutidurkan dipangkuan bersama rindu yang mengeliat senyap tertidur dalam ragaku berkecamuk hasrat naluriah tapi aku tak ingin menciumnya.
Biarkan ia tidur dalam pelukan tipisku, hingga merasakan selimut kehangatan pagi yang manja dalam rengkuhan sayang, betapa pun luka mendera, kutantang malam yang menyembunyikan kantuk. Pagi ini telah kucatatkan rekor Mury, bahwa cinta adalah permainan sketsa hidup dalam mencairkan keharmonisan setelah petualangan sudah mendapatkan kitab “BADAI” yang senyawa.

Banjarbaru, 26 Februari 2011

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-18-apa-keinginanmu-perempuanku/197862740243877

0 komentar: