Cerpen Hamami Adaby: Percakapan Pagi Itu
Udara pagi cukup bersahabat. Tidak terlalu panas menyengat seperti hari-hari kemarin. Aku masih ingat ucapan seorang kawan katanya : menunggu adalah pekerjaan bias sia-sia. Suara itu menjadi amat sugestif. Tapi masa bodoh tak kuperdulikan ucapannya.Sebenarnya suara itu amat mengganggu ruang telinga. Kadang timbul bunyi seperti mengejek. Tak perlu itu didengar. Bikin sakit kepala dan pusing. Berulang gendang telinga memastikan dari mana datang gurau itu. Dan mengangguk pelan seperti mendengarkan khutbah Jum’at.
Aku masih duduk dikamar tamu yang berukuran 4 x 3,05 m, cukup buat perangkat kursi tamu dan dipojok kanan sudut siku-siku televisi 14 inc yang berdebu. Tidak terlalu jauh dari garis pandang sedikit tengadah berjarak pada dinding sekat atas tergantung gambar hitam putih Adaby.
Gambar ini kadang menjadi pusat perhatian. Sebenarnya tanpa disadari Adaby hal itu. Ingin rasa memindah tapi tak ada yang ideal disisi mana harus diletakkan. Disitu buat bermakam dan kadang bila tamu bertandang, paling tidak ia menikmati ragaku, bahwa pandang ini arah kedepan.
Tak ada lagi goda miring pada telinga, sebab pagi Sabtu telpon berdering. Aku yakin ini janji malam kemarin. Kucoba menyapa dan meyakin itu.
“Hallo, siapa……suara agak kurang jelas. Hallo, e…em, o Helwa…?”.
“Kenal suaraku?”, ujar Helwa memantap.
“Ngga, e…belum, tapi aku pernah dengar nama itu!”
“Di mana?, dimana?”
“Di sini!”, ujarku membuat penasaran.
“Di sini, dimana?”eksennya sangat meyakin.
“Di sini dihatiku!” Helwa diam.
“Kok diam. Marah ya?”
“Ngga juga!, Apa kabar?”
“Em, Helwa mau kerumah, apa ada waktu?”, tanyanya serius.
“Benar Helwa mau kerumahku?”
“Kan malam kemarin sudah janji, apa lupa Adaby?”
“Oo, ya siap, pintu telah kubuka sejak kemarin sampai pagi ini. Esok belum tentu!”
“Justru harus hari ini, esok Minggu Kotabaru”.
“Oke, di mana aku nunggu?”
“Dipintu masukmu o…, salah lagi, dimuka jalan mini market itu maksudku By”.
“Ya, kutunggu disitu!”, telpon off.
Kurang lebih 15 menit kulihat ada mobil sedan abu metalik memberi sain lampu, persis ketika aku menunggu di pertiga jalan Permata. Dalam hatiku lucu juga ini. Aku pernah bertatap muka, 5 tahun lalu 2006. Sewaktu ke Kotabaru bulan September 2010 itu ingin jumpa dengan Helwa, tapi tugas luar daerah Jawa Tengah, Solo. Urung niat bertemu, kami bersama rombongan 6 orang pagelaran tadarus puisi disana memeriahkan pekan beduk se kabupaten.
Suatu ketika yang telah direncanakan sejak awal, pertemanan itu berlanjut sangat akrab dan pada hari Sabtu 19 Maret 2011, Helwa silaturrahim kembali dengan harapan antology puisiku “BADAI” bisa diredakan di Kotabaru. Dan benarlah dugaanku, Helwa mengepaknya 45 exemplar buku. Pastikan!
Persis sampai didepan rumah, ia pakai kacamata, jilbab merah muda serasi kulit putihnya dan berkaos kaki sepatu tumit sedang. Ketika keluar mobil kuperhatikan wajahnya anggun. Lalu bersalaman sempat sekilas Helwa mendelik tarik. Aku seperti tidak memperhatikan itu.
Kupersilahkan ia duduk menghadap kearah gantungan gambar hitam putih, tapi ia tak bertanya tentang foto bisu itu. Atau juga tak sempat memandang sekitar ruangan tamu. Duduk berlawan arah 45 derajat terhalat dua tempat sudut kursi L.
Aku sempat canda sebentar menemani Helwa, tapi aku kebelakang mengumpul bahan cakapan agar pertemuan ini mengasyikkan dan menjadi titik sharing. Ketika persis duduk tangan kiri disandaran pembicaraan entah siapa yang memulai tak sempat ingat, aku kah atau Helwa kah.
Ketika pembicaraan itu mulai rame kadang-kadang tanpa dibuat-buat terlempar senyuman dan tawa masih bisa dikomfirmasi agar jangan sampai meledak-ledak seperti gempa tsunami Jepang. Kendali dan self conection perlu dijaga legalitasnya. Kenapa? Supaya tetap langgeng sepanjang hayat.
“Lampu sering padam kah di Banjarbaru?”, tanya itu gayung bersambut.
“Agak sering, yang paling menjengkelkan ketika mau sholat Magrib, tiba-tiba padam”
“Apa memang sudah jadwal jam sebegitu!Tambah parah permasalahan ini”.
“Beban puncak pada jam itu semua lokasi ruang dihidupkan,tanpa ampun bebannya lebih”
“Terpakksa digilir jam tayang, hehe cuma satu jam setengah kok!”, canda Helwa renyah.
“Kalau Kotabaru bagaimana Helwa lampu PLN.nya?”
“Kotabaru pakai diesel solar, tidak dengan PLN”, ujar Helwa
“Pulau Sebuku, bagaimana?”, kataku memancing.
“Sama, pakai diesel”, katanya sambil membetul kacamata . “Hehe”, kataku tipis cuma itu.
“Kenapa tiba-tiba ke pulau Sebuku?”, balas Helwa “Apa ada kenangan?”
“Hehe”, ujarku lagi . “Ada teman baca puisi, duet Aruh Sastra Tanah Bumbu”.
“Siapa?” tanyanya supel.
“Fatimah Adam, Helwa kenal?”
“Belum!”
“Nanti ku kenalkan, ia camat di sana”.
Pembicaraan terputus beberapa menit. Tak ada bunyi apa-apa. Kelihatannya mencari bahan suguhan buat lanjut percakapan. Aku memperhatikan sekeliling ruangan. Helwa mecopot kacamata dan kulihat membersihkan dengan kain lap beledru sepesial.
Aku ke belakang ingin refresing otak sebentar dan benarlah suatu tiba-tiba sambil mau duduk memulai cakap itu dengan sebuah gurauan manis dan indah. Sedikit mencairkan situasi kebuntuan membeku, percakapan itu kembali berbobot.
“Helwa, apa yang dapat diandalkan pulau Sebuku?”, pertanyaanku memancing cakap.
“Ada perusahaan swasta disana yang bonafide”
“Em, apa ada hasil bumi yang dapat diandalkan?”, ujarku mengungkit.
“Inilah Sebuku, listrik telah tersedia, menggunakan tenaga diesel”.
“Hasil bumi seperti Tanah Bumbu dan daerah kabupaten propinsi kita?”, ujarku.
“Seperti Pleihari, sawit, batu emas hitam, uranium dan baja?”
“O, ya batu bara cukup menjanjikan. Bijih besi juga!”, ujar Helwa serius.
“Hemm, BADAI juga?”, ujarku guyon.
“Sudah pasti. Malah ada yang pesan via inbox, Halis dan Karyadi!”
“Wahh hebat marketingnya”, ujarku memujinya tanpa ada keraguan.
“Hebat dan aku yakin Helwa figur yang bisa diandalkan!”
Sampai di sini sendat lagi cakapan kami. Ruang tamu itu seperti tak pernah berpaling dari tofik kehangatan yang senantiasa menjalari ruas hari. Darah muda Helwa masih tetap tenang tapi dapat juga menggelegarkan panggung politik kalau ia mau. Potensial pada dirinya tak diragukan. Dia salah seorang di antara sekian banyak wanita bamega yang masih punya prinsip profesional.
Aku membuka front percakapan kembali dengan Helwa.
“Untuk periode kedepan mulai sekarang Helwa bisa mencalon Bupati atau paling tidak Wakil”.
“Hehe…tak gampang dan mudah By, ada sekolahnya! Sekolah Pemerintahan khusus”, kilahnya.
“Sekarang jalan itu terbuka. Contoh Fatimah Camat pulau Sebuku. Leadership manajemen”.
Helwa tersenyum mendengar kuliah perdanaku di pagi Sabtu itu. Senyumnya makin berbunga.
Tak terasa hampir satu jam sudah berbincang saling memberi dan menerima berbagi pengalaman untuk merekam masa depan agar sistimatika itu berjalan stabil dalam global yang diharapkan penterapannya tidak mundur beberapa langkah.
“Contoh lagi Helwa, ponakanku Mualim jadi Camat wilayah Kabupaten Banjar. Tak aneh Hel!”
“Pendidikannya?”, Helwa mulai menanggapi saranku.
“Dulu STM, S2 manajemen, jadi Camat”.
Helwa diam seperti ada sesuatu yang menggumpal diotaknya. Ceramahku yang antusias dapat membuka cakrawala. Hal ini perlu menjadi perhatian kita bahwa teori komunikasi bisa menjadikan orang tertarik untuk masuk kedalam lingkaran sience face to face. Massage yang tepat mempublisirnya, kapan ini bisa dilakukan.
Aku hanya sekedar memberi masukan buat Helwa, memaksakan suatu kehendak bagiku bukan pilihan sebab egoisme seseorang akan berdampak kurang minimal. Pola pikir semacam ini amat merugi bagi diri pribadi sesiapa saja.
Sangat bahaya bila penyakit ini tumbuh dikepalanya, akan senantiasa berbenturan dengan pola pikir yang sistimatis, saling tubrukan kata dan pada gilirannya akan ngotot adu argumen yang dipaksakan sehingga mengundang ketidak nyamanan dalam pergaulan.
Ambisi suatu jabatan sangat logis sesuai etika permainan berjenjang dalam menentukan siapa yang tepat untuk menduduki suatu jabatan sesuai keahlian , pangkat dan golongan, tempatkan pimpinan harus berpihak yang memenuhi syarat, untuk kelancaran dalam suatu organisasi.
“Helwa, penuhi syarat-syarat itu dulu. Jangan minta suatu jabatan pada atasan”,ujarku tipis.
“Benar itu Daby, namun sangat bertolak belakang si Kaze menjilat karena ingin jadi Kasi”.
“Dalam instansi kadang seperti itu, merengek sesuatu, padahal masih ada diatasnya, hehe!”
“Tapi kadang itu kenyataan”, ujar Helwa sambil guyon.
“Itu ambisius patent namanya, ambisi yang tak mawas diri”, ujar Daby menguatkan arti.
“Percaya Adaby, Helwa tidak akan seperti itu. Disiplin dan profesionalis kerja serta sience”.
“Persis katamu kemarin, wish me luck. Oke banget!, aku menegaskan.
Percakapan pagi itu dengan Helwa sangat berpariasi tidak keliar ke mana-mana tidak disetting,
Lalu berbasa basi bicara seenaknya, namun kami ingin fokus pembicaraan seputar manajerial office.
Memang dirasakan pembicaraan serius diiringi kelakar segar yang keluar dari hati nurani secara tulus
Demi keakraban pertemanan satu spicies Banjarbaru, Helwa Kotabaru Adaby Banjarbaru.
Persahabatan ini berjalan cukup akrab saling memberi dan menerima, hingga kesan tak lekang dipisah lautan, tak buyar diterpa badai, tali layar masih mampu menambat angin samudera. Di darat pepohonan hijau berakar serabut mampu menghadang tofan tak akan patah batang dahan ranting dan daun. Percayalah tanah tumpah ini adalah milik kita bersama.
Helwa sudah ingin mau pamit, aku tahu itu. Namun perjalanan pagi cakap telah tuntas hingga semua niat pertemuan sudah terlaksana dengan izinNya, sebab 4 masalah yang kita tak mengetahuinya. Wajib kita meyakini : Rejeki, Langkah, Mati dan Jodoh. Ini rahasia Allah.
Sedang kerahasiaan kita bisa ditebak, Helwa persis pukul 11.20 ia pamit, setelah berjabatan tangan setelah kurang lebih 80 menit percakapan itu tak terasa. Setelah itu dikotak kardus yang telah
Disiapkan ditaruh di bagasi mobilnya. Kulepas Helwa di bawah rimbun sawo sampai pandangan akhir.
Banjarbaru, 20 Maret 2011
Sumber:
https://hamamiadaby.wordpress.com/2011/04/15/cerpen-percakapan-pagi-itu/
0 komentar: