Cerpen Hamami Adaby: Lampu Telah Mematikan Rindu
Entah apa hari itu lampu mati sampai tiga kali. Kesalnya luar biasa, sudah sepertitiga berjalan otakku yang membeban telah ku cairkan dengan pelahiran emosional yang menumpuk di sini. Rasanya agak lega beban yang menghimpit perasaan, memori otak sudah terkuras kering, sampai pada kali ketiga kumulai membuka ram ingatan. Kalau sekali lagi lampu padam saat menulis cerita ini aku protes dengan pln, kenapa lampu sering macet.Tak habis pikir kalau sekiranya ini terjadi lagi laptopnya yang ku banting atau kusumpahi orang-orang yang memanipulasi pemadaman itu, karena alasan-alasan kurang akurat. Contoh simple yang dulu pernah kudengar karena kurangnya air bendungan saat kemarau. Itu dapat saja kuterima sebab akal sehat tidak bertentangan dengan penjelasan bertepatan dengan musim. Apa harus protes dengan musim yang berarti protes tak beralasan.
Akal sehat yang harus bicara jangan sintemen berkepanjangan dan mencuriga hal-hal diluar keilmuan bersepekulasi membabi buta. Aku tak setuju keritik berbau hujatan. Kalau kau marah tentang kadang padamnya lampu, aku yang juga kecewa tentang hal itu karena sepertiga otakku telah digerogoti mesin teknology itu.
Begitu aneh dan lucu mengasyikkan ketika musim hujan tahun ini melepas musim, listrik masih tetap saja padam gilir. Bagiku alasan itu tadi menjadi batal tak relepan lagi. Lalu kita menarik satu kesimpulan yang itu pun kita pertimbangkan keabsahannya. Kalau berpraduga itu bisa saja asal jangan menuduh mutlak.
Kemungkinan kenapa jadi gilir padam aku masih menduga tipis persedian kapasitas meganya tak sebanding dengan beban yang dikeluarkan. Secara akal yang kusanding dengan umpama, beban tidak cukup untuk menghidupkan lampu-lampu diperumahan. Kalau dihidupkan seluruhnya bisa byarpet bisa terjadi ereksi tegangan padam total atau terjadi gangguan lainnya.
Tak perlu lagi kita merinci kecil padamnya lampu sekilas, tapi aku agak jengkel juga menyikapi.
“Tom, tiga kali lampu padam sejenak hari ini. Kalau boleh membanding, aku baik putus cinta daripada saat aku menulis lampu padam sedetik”, ujarku pada Farel.
Farel hanya diam sambil tersenyum dan menghiburku. Ia tahu benar hatiku, ia telah mengenal sejak kami sama-sama dibangku lanjutan atas. Ia pemain basket yang tembakannya persis menggelayut ring basket, hingga tepuk tangan penonton riuh gemuruh. Aku tahu ia cuma menghiburku dengan ucapannya.
“Begitulah, dulu juga pernah seperti, padam gilir 4 jam sampai 5 jam”
“ya itu dulu, benar saja. Dulu listrik perusahaan daerah, lampunya seperti kunang-kunang di Pohon rambai”, ujar Fanthomi mengkritisi.
Farel diam lagi sambil memandang temannya penuh dedikasi dan tenggang rasa. ia berusaha untuk keluar dari perasaan Tomi yang mengecoh persaannya. Di isapnya sebatang rokok Gudang Garam Surya untuk keluar dari permasalahan.
“Tom, sekarang cerpen itu bagaimana” ujar Farel.
“Sudah selesai, namun inspirasi berubah jadi seperti ini. Padahal pola cerita tidak sedemikian, berubah jadi 365 setengah derajat . semuanya jadi melantur kemana maunya otak dan jari jemariku menari”, itu hak ku yang tak bisa diganggu gugat.
“Kalau begitu yang penting selesai”.
Cepat sekali Farel menimpali sehingga tak ada ruang gerak sedikit pun memberi peluang Tomi. Seperti menikamkan keris ke lambung sendiri hingga burai inspirasinya. Ia diam cuma sejenak seperti tak peduli dengan ucapan Farel.
“Biarkan apa yang telah terjadi dengan keadaan, itu lebih baik dari kegagagalan dalam bercanda”, dan benar-benar ia bercanda kali ini.
“Apa?, ulangi sekali lagi ucapanmu”,
“Yang lalu, biarkan berlalu tak perlu dirisau. Akan menambah beban berat lagi”
Keduanya saling merenung memandang penuh makna. Ada benang putih yang akan di urai dalam pemecahan masalah, yang terselip di tepi malam. Tomi seperti diam dalam haluat yang membangkit kenangan yang tak pernah selesai. Aku hanya sebagai pengamat mereka berdua. Terlepas dari apakah Farel atau Tomi yang benar atau salah, tugasku memberi advis yang mengena sasaran.
“Mudah sekali kau memberi advis, karena kau tak pernah merasakan. Secara teori kau hebat, secara factual kau mengawang”, ujar Tomi dengan nada tinggi.
Farel tetap bersiteguh masalah ini akan dapat diselesaikan tanpa mengundang gap, keretakan persahabatan. Keyakinan itulah yang menjadi fundamen bahwa Tomi akan mampu mengendalikan paling tidak limapuluhlima persen tahap pertama, yang pada akhirnya tinggal limabelas persen berenang dalam sungai panas.
“Aku tak menyalahkanmu Tomi, aku juga turut merasakan goncangan hatimu. Sadarlah masih banyak pekerjaan yang harus kau pilah hingga rampung seutuhnya. Sadarlah ,Allah tak membiarkanmu sendiri dalam kegundahan. Tapi apalah artinya sebuah permainan sandiwara yang dalam istilah moderen panggung teater, kau sendiri yang bermain bersama Amanda, atau siapa sajalah seperti Atik, Zuleha, Cyntia atau nama lainnya membuat kau cukup tersanjung. Sadarlah semua ini buat sementara, tak lebih dari kenikmatan sesaat.
Sadarlah jangan kau sayapkan hatimu ke cakrawala yang tak mungkin”, ujar Farel sambil memeluk tubuh Tomi. Keduanya larut dalam hipnotis batin tanpa sengaja.
Aku telah menyaksikan permainan ini hingga segalanya tuntas. Aku menyayangi keduanya baik Farel atau Tomi. Suatu hari aku ingat benar Tomi bercanda dengan Farel ketika melahap mie ayam bakso sapi.
“Kau lapar Amanda? Kita makan sop buntut yu”, ia tak menolak.
“Mie ayam bakso sapi saja. Aku hobby sekali!”, katanya sambil memantik.
“Okelah!”, aku turuti pintanya. Kebetulan aku juga senang mie ayam.
Alangkah senangnya hari itu. Cuaca tengah hari tak seberapa panasnya. Angin bertiup menyejuk perasaan namun hatiku pecah dalam suasana tak nyaman. Kami tengah melahap mie ayam serta segelas ice juice.
Sambil menikmati makan ekstra tengah hari tak henti bercanda dan terselip katanya kurang pas. Benar juga dugaan yang dilandasi ketajaman indera keenam aku terhimpit pojok di buatnya dalam tanyanya yang menukik tajam seperti elang melayang tiba-tiba menyambar makanan diatas air, hatiku seperti dipukul cemeti ketika ia memperediksi dalam tanya yang bercabang.
“Katanya teman-teman, Tomi putus dengan Betisda?”.aku terperanjat seakan hati melompat tersandung karang. Aku belum menjawab apa yang ia lemparkan padaku. Ia terus memburu seperti wartawati mengejar sebuah berita.
Sendok garpu masih tertanam di mangkok, seperti mendadak selera makan, tapi terasa kenyang rasanya. Aku terdiam sambil melepas jaketku, panas rasanya detak jantungku. Suhu tubuhku tak menentu, di pelipis dan tengkuk peluh dingin lembab mengurung.
“Pertanyaan amat sederhana, putus kan dengan Betisda?!”, katanya menantang mataku. Bergejolak rasa tak keruan semakin memusing otak. Dalam hatiku sangat keras membayang segala resiko yang sudah terlanjur basah. Akan kukatakan sebenarnya.
“Amanda, sebelum kujawab pertanyaanmu, jawabnya telah kau kantongi. Kenapa harus itu lagi kau tanya dan jadi soal . kenapa tidak kita masuki paragrap lain yang lebih simple?” jelasku mengutip data-data yang didapatnya.
“Jadi betul?”
“Ya, begitulah”, jawabku mengiyakan.
Amanda masih belum puas kelihatannya atas jawabanku yang pendek singkat seperti tidak ada tanda-tanda yang konkrit. Ia bertanya lagi dengan nada pelan lambat tapi jelas ucapannya.
“Benar-benar putus seratatus persen Tom?”
“Ya, bahkan duaratus persen”.
“O, begitu cara aksentuasimu?” Amanda sepertinya keliru tafsir.
“Jangan tegang Amanda, aku jujur mengatakan itu”, ujar Tomi meyakinkan.
Keduanya seperti perang dingin. Aku sebenarnya menyayangkan Amanda amat bernafsu mendepat Tomi. Tapi ia punya nyali yang hebat membaca situasi, tak heran kalau Amanda kelabakan sendiri akhirnya jadi pencemburu kelas bulu.
"Pertama dan terakhir”, ujarku membulatkan hati.
“Jadi kau membuat gara-gara yang pertama dengan ucapan itu?"
“Tak kukira kata-kata itu awal bermula ketidak cocokan, tapi itulah sebuah masalah yang diseriuskan. Apakah emosionalitasmu seperti kenyataan yang kuhadapi itu karakteristikmu yang tulen atau palsu, tak menjadi tumpuan perhatian”, ini semua ku serahkan padamu Amanda.
Aku tak ambil pusing soal Betisda, jangan kita menyalahkan seseo- rang mendapatkan getahnya. Betisda mengambil sikap potong kopas daripada sakit berkepanjangan lebih terhormat melepaskan diri dari persimpangan jalan yang aku cetuskan akhirilah perpisahan ini dengan sebuah senyuman.inilah cerita pilu berkepanjangan segitiga mengharukan.
Banjarbaru, 1 Januari 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/lampu-telah-mematikan-rindu/183550621675089
0 komentar: