Cerpen Ramadhan: Lenyap

20.25 Zian 0 Comments

Laura mendapati selembar surat tergeletak di kotak pos rumahnya. Ini adalah surat kesekian yang ditujukan kepadanya. Setelah menutup kotak pos, ia beranjak menuju ke dalam rumah dan mendekam di kamar. Senja yang dingin, segera ia menutup jendela dan menarik gorden. Lalu ia menyalakan lampu kamar dan duduk tenang di sisi tempat tidur. Ia membuka surat itu lantas membacanya.

Aku harap ajal segera mengunjungiku.
Aku harap ajal menjemputku untuk pergi ke tempat yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bercengkrama berdua di tempat yang hening juga melompong, bak kertas putih tanpa garis. Tempat di mana aku tak bersedih juga bergembira. Wadah di mana aku tak merasakan apa-apa.
Aku terbiasa dengan gelisah. Khawatir apakah hari ini semua akan baik-baik saja. Apakah aku akan menderita karena lapar atau haus? Apakah aku akan tersayat iri juga dengki atas kondisi? Apakah aku akan kokoh dibom amarah atas kebodohan? Ketakutan ialah selimut tidurku. Ia melengkapiku.
Aku ingin waktu segera menghapusku. Membalutku dengan keteraturan detik-detik yang tak bisa berhenti. Memakanku sampai ke organ-organ, habis, seperti asap yang ditiup angin. Menggerogotiku sedikit demi sedikit, tak bersisa, tanpa jejak apa-apa.

Aku telah melakukan apa yang bisa kulakukan. Selalu. Mengobati luka menganga yang perih. Memadamkan ledakan kekecewaan yang membakar. Merapikan kepingan pecahan kesedihan yang tajam berhamburan. Apa daya? Hal itu tak berhasil. Aku selalu merasa perih karena tak kunjung sembuh. Aku selalu merasa meleleh karena panas menyengat. Aku selalu tertusuk karena kepingan pecahan yang tak kutemukan. Aku tak bisa lepas dari rasa sakit ini. Ia bagian dariku.
Aku berdoa bumi menelanku. Menenggelamkan diriku di tengah senyap. Menghilang begitu saja, seperti koin di tangan pesulap. Tak akan muncul ke permukaan. Tersembunyi rapat tanpa diketahui. Namun tidak mengundang tanya.
Aku mengutuk hidupku, namun aku bersyukur karena dilahirkan. Aku lemah dan karena itu aku mengeluh. Apa yang bisa dilakukan orang lemah? Aku membenci keseharianku, tetapi aku menjalaninya setiap waktu. Aku lemah dan karena itu aku diam. Apa yang bisa dilakukan orang lemah? Aku malu, aku murka, aku muak pada diriku sendiri. Meskipun begitu aku tetap menyayangi diriku. Aku tak bisa mengakhirinya. Aku tak berani mengambil keputusan. Aku lemah. Apa yang bisa dilakukan orang lemah selain merengek berkeluh kesah?
Tuhan Yang Mencipta Alam Semesta tak pernah menzalimi hamba-Nya, kau tahu. Hanya aku yang mengacaukan hidupku sendiri. Aku terjerat erat dalam kesedihan. Aku terpasung kuat dalam putus asa. Aku terpenjara dalam kebodohan.
Dan kau beserta keluargamu membebaskanku. Aku berterimakasih untuk itu. Selamanya aku berhutang budi padamu. Kau mengulurkan tanganmu tatkala yang lain tak menyadari bahwa aku ada. Kau mendorongku maju saat yang lain sinis menatap. Kau memberikan senyuman tiap harinya di mana yang lain bermuka masam.
Kau membebaskanku…
Maaf aku hanya bisa membalasnya dengan doa. Doa untukmu agar selalu dikelilingi kebaikan di tengah kekejian.
Maaf aku menjauhimu. Karena rasa yang tumbuh ini perlu dicabut. Setetes najis bakal mencemari segalanya. Aku tak mau itu terjadi.
Maaf tulisan ini baru bisa kau baca. Aku ingin kau ingat bahwa kau seorang penyelamat, setidaknya bagiku. Dan selebihnya semoga semuanya lenyap kembali dari dalam kepalamu.
-Rahman-

***

Laura membaca surat itu dua kali. Dia bingung sekaligus terkejut. Dia tak memahami apa maksud pengirimnya. Yang membuatnya penasaran ialah tanggal surat itu. Surat itu ditulis sepuluh tahun yang lalu dan dikirimkan ke rumahnya senja ini. Siapa? pikirnya.
Rahman.
Laura membaca surat itu untuk ketiga kalinya. Dia mencoba menelusuri ingatan masa sekolahnya dulu. Adakah temannya yang bernama Rahman? Sia-sia, tak ada nama Rahman yang bisa mengingatkannya pada apa pun.
Laura menghamburkan isi lemari berkasnya, mencari buku kenangan masa sekolah dulu. Ditelitinya tiap lembar buku, mencari tahu siapa Rahman ini dan hasilnya nihil. Siapa dia? Pikirnya lagi. Pasti dia kenalan zaman dulu.
“Masih ada, Kak, orang yang ngirim surat?” celetuk Tiara, adiknya ketika mereka berkumpul di meja makan. “Wow, itu keren.”
Laura tak menggubris komentar Tiara. Dia masih hanyut mencari tahu siapa gerangan Rahman ini. Dia tanya adiknya, tidak tahu. Dia tanya teman-temannya, semuanya, tak ada yang tahu.
Membingungkan. Tak ada jawaban.

***

Pagi hari berikutnya, Laura menemukan jawabannya.
Rumah tak berpenghuni di blok sebelah rumahnya dihancurkan. Bebunyian palu, godam, dan linggis menembus beton menyerebak di perumahan. Laura melihat dari kejauhan, merasakan letupan ingatan yang telah lama hilang. Nyaring dan jelas kehadirannya dalam kepalanya.
Penghuni rumah besar nan megah itu aneh. Hidup sendirian. Hanya terlihat kala malam telah meninggi. Hanya satpam penjaga malam yang melihatnya sesekali. Orangnya menjadi aneh setelah musibah menimpa keluarganya. Semenjak itu dia tak pernah menampakkan wajahnya di komplek perumahan. Hanya keluar saat malam telah menghanyutkan orang-orang dalam lelap.
Rahman, penghuni aneh yang menempati rumah besar bak kastil itu seorang diri. Dia dianggap tak waras oleh orang-orang sekitar karena kebiasaannya kala hujan lebat, duduk-duduk di taman perumahan sambil mengenakan jas hujan. Rutin dia lakukan kala musim penghujan. Di tengah guyuran hujan, dia bersenandung ria dan menari-nari. Begitu hujan reda, dia kembali pulang.
Laura ingat hal itu. Lama sekali berlalu. Dikabarkan dia jadi anak yang tidak benar. Ikut bagian dari dunia gemerlap malam. Sedikit sekali tetangga yang menaruh perhatian padanya, termasuk Laura sekeluarga. Laura ingat, ketika tanpa sengaja ia pulang dari rumah temannya dengan memakai payung, dia menghampiri Rahman yang sepertinya sedang bersenandung dan menari di tengah hujan lebat. Badannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di atas bangku taman. “Hey, boleh aku duduk?” seru Laura mengalahkan teriakan air yang mengguyur hebat, menyapanya.
Kemudian segala hal secara perlahan berubah. Sedikit demi sedikit. Persis seperti apa yang tampak pada rumah besar itu. Halamannya yang tak terawat mulai agak rapi. Berandanya yang kotor penuh debu mulai tampak berkilat bersih. Dinding-dindingnya yang kusam mulai agak cerah. Terkadang Rahman mengunjungi rumah Laura.
Lalu seketika itu Rahman pergi. Menghilang. Awalnya para penduduk perumahan mencari tahu. Kemudian mereka tak ambil pusing lagi. Waktu terus berputar sampai akhirnya mereka lupa sama sekali.
“Ma, bagaimana Rahman sekarang ya? Sudah sepuluh tahun tak pernah melihatnya. Tiba-tiba saja Rahman mengirim surat ini,” kata Laura pada Ibunya seraya menunjukkan surat.
“Rahman siapa, sayang? Teman kamu? Mama gak kenal. Dia menulis ini?”
“Rahman Ma, yang rumah besarnya lagi dibongkar itu.”
“Rumah itu sudah gak ada yang menghuni sejak kamu belajar jalan.”
Laura bertanya kepada ayahnya. Jawabannya sama. Bertanya kepada tetangga sebelah dan sebelahnya dan sebelahnya. Jawaban mereka tetap sama. Rumah besar megah itu tak berpenghuni sejak dua puluh lima tahun silam. Ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya yang berasal dari luar negeri.
Laura heran mengapa hanya dia yang ingat tentang Rahman, sedangkan anggota keluarganya tak ada satupun yang mengingatnya. “Ma, baca surat ini Ma, dari Rahman. Kenapa Mama lupa dia?”
“Tulisannya gak bisa Mama baca. Mama bukannya lupa, tapi betul-betul gak tahu siapa dia. Rahman itu.”
Laura membacakan isi surat itu. Mamanya hanya menggelengkan kepala. “Surat iseng dari penggemarmu saja tuh.”
Laura yakin sekali bahwa surat yang ada di tangannya bukanlah surat iseng. Bukan! Tidak mungkin ini hanya iseng! Diletakkannya surat itu di atas meja belajarnya. Dia berniat mencari tahu lebih dalam lagi esoknya. Akan kutanya Pak RT kalau perlu.

***

Pagi hari berikutnya, rumah besar itu sudah rata dengan tanah. Puing-puing yang berhamburan sudah dibersihkan oleh pekerja. Yang ada hanyalah tanah kosong yang lapang.
Laura bangun dari tidur. Ke kamar mandi. Membereskan tempat tidurnya. Sarapan. Lalu membantu ibunya membereskan pekerjaan rumah tangga. Lembar kertas itu bergeming diam di atas meja belajar, tanpa disentuhnya sama sekali. Keesokannya, Laura bangun tidur dan rutinitas kembali berjalan seperti biasa. Dan esoknya. Dan esoknya. Sampai suatu sore, setelah pekerjaannya selesai, Laura hendak membaca novel yang lama tak sempat dibacanya. Lantas dia mencomot satu buku di rak, kemudian duduk di meja belajarnya. Perhatiannya sejenak teralihkan pada lembar kertas kumal kotor di atas meja belajarnya. Kertas apa ini? Dilihatnya dengan saksama. Tak bisa dibaca. Lalu dibuangnya di tempat sampah. Selembar Kertas kumal kotor itu akhirnya menyampaikan pesannya.
Laura lalu tenggelam dalam aliran cerita yang tengah dibacanya.

Sumber:
https://banjarmazine.com/2015/05/29/lenyap/

0 komentar: