Cerpen Hamami Adaby: Namamu Indah, Nora
Ketika malam itu ada pertemuan, aku datang lebih awal. Itu suatu kebiasaan 10 menit sebelum acara dimulai sudah datang. Nampak kursi-kursi belum ada yang menduduki. Cuma ada Ary dan Boni. Teman-teman sudah ku sms. agar ngumpul dipos seni tapi tak ada jawaban pasti. Aku tak kecewa wa laupun sekitar 10 orang.Sedang asyik mengobrol dengan dua orang teman tadi Ary dan Boni, ketika itu menghadap kearah kedai Hobbies membelakangi jalan, persis lapangan bola. Aku samasekali tak terkejut atas kedatangan Nora sebab kemarin malam Kemis ia menelponku, bahwa ia akan pamitan ketempat asal kerjanya Palu.
Nora datang bersama Rosi dan seorang teman lelaki. Rosi setelah menyalamamiku ia permisi dan sambil berkata yang ucapannya tak kudengar, entah telingaku yang tersumbat, atau kata-kata Rosi yang kurang jelas. Tapi itu tak usah kita perhatikan, biarkan saja tak perlu dikomentar dan takut salah.
Ketika Nora menyalami kutangkap jelas interpretasi dapat kupungsikan IQ intelejensiaku, jelas bukanlah pertama kali kusambut tangannya, tapi agak terasa panas juga darah mengaliri tubuh. Bukan aneh bagiku kalau Rosi meninggalkan tempat itu amat cepat sekali, mungkin ia marah padaku, atau ia sedang membenciku.
Tapi itu samasekali tak menjadi ukuran sensitif, biarkan saja ia berlayar seadanya, aku tak akan mau memberikan komentar, itu otoritas pribadi tak akan kumasuki kearah bagian itu. Tapi dapat ku tebak, ya menangkap gelagat senyumnya Nora.
Apa aku yang salah mendengar,atau itu sebuah ilusi yang tak bisa dipertanggung jawabkan adakah rekaman suaranya, tapi jelas benar ucapan Nora, aku yang mendengar teman-teman samasekali tidak pernah mempersoal itu.
“Hallo, my darling”, kata Nora sambil senyum merembes.
Aku samasekali tidak menjawab ucapannya. Bukan aku tak senang padanya, cuma sesaat lidahku terkunci rapat, padahal anak kuncinya masih kupegang ditangan. Keterus teranganku menyayanginya seluas lautan yang tak pernah diam biru hatinya dan hatiku.
Entah orang lain atau teman dekatnya kubiarkan mengata apa saja, aku juga tak mengetahui ada rahasia atau tidak, sudah ku bilang malam itu pada Nora. Aku senang kalau berterus terang.
“Hitam katakan hitam, putih jangan bilang hitam”
“Aku sependapat agar tak terjadi kekeliruan”, ujar Nora meyakinkan pertemanan.
“Nora, aku dapat mentafsir senyum awalmu tadi, pasti yang itu kan?”
Ia tidak menjawab pertanyaanku dan nanar memandang sambil senyumnya mengambang seperti bunga mawar ungu menyaksikan kesejukan embun tengah malam. Jam 23 lewat seperempat Nora berpamitan karena jemputan telah menunggu. Sebelumnya pernah kulontar cakap iseng pada Nora. Ia cepat mengelak dan mengunci ucapanku:
“Silahkan kalau Hanafi mau duluan. Saya mau sahuran ditempat ini”
Padahal aku tadinya ingin bertanya tapi keburu Nora yang nyeletuk, tapi kukatakan juga hasrat pertama ingin bertanya mengingatkan:
“Jam berapa kamu pulang Nora?”
“Setengah jam lagi, baru jam 23 lima menit”
“Aku juga pulang setelah Nora, aku lepas kamu dulu”
“Salut Hanafi, salut teman-teman semuanya”
Persis apa yang telah direncana jemputan sudah menunggu. Aku melepasnya sampai ujung penglihatan malam ketika mobil itu membelokkan setirnya ke kiri hingga hilang dipertigaan kisi jalan.Terasa agak lengang suasana. Tanda-tanda gerimis sudah agak terasa ketika angin mengibaskan ekornya terasa sekali mematri leherku.
Semua teman sudah bubar meninggalkan tempat itu. Rosi sudah lama menghilang duluan sampai Nora pulang tak kutemukan jejaknya, yang mungkin besok atau lusa ia akan meninggalkan Banjarbaru. Itu yang kuperoleh kabar sepintas burung bernyanhyi entah kembali aku kurang jelas.
Yang jelas ku ketahui Nora akan kembali ke Palu minggu depan di bulan Februari. Kubuat guyonan agar suasana perpisahan ini, punya dimensi kenangan yang istimewa kami berdiskusi sekitar palagiator-palagiator yang berenteng menciplak karya orang lain, sampai pada hari ini.
Aku diberi Nora sebuah buku tebal “JALAN MENIKUNG KE BUKIT TIMAH” antology cerpen temu sastrawan se Indonsia Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kebanggan bagiku ia begitu mau susah payah memperhatikan. Tak pernah aku bertengkar keras atau saling tak mempeduli, kami sharing tukar wacana untuk kemajuan bersama.
“Nora, kenapa kau menghadiahiku sebuah buku cerpen?” ujarku merenda hatinya.
“Tak mengerti juga Hanafi. Tiba-tiba hatiku terpana padamu.Itulah naluri!”
“Thank you my dear” membalas sergahan awal ketika Nora menyalami.
Nora tak membalas ucapan sebagaimana aku kehilangan daya fikir ketika mengatakan “hallo darling”yang baru diucapkan ketika menyerahkan buku itu yang kuiringi dengan “Thank you my dear”ketika ia menjelaskan kenapa ia mau memberiku buku.
Aku ingat seorang teman bernama Ary, bodynya kecil tapi otaknya besar,cerdik dan pandai bermain IT.menguasai perangkat spesialis laptop perangkat keras dan lunaknya. Begitu juga Boni ber main diatas ranking yang bisa menguasai dan boleh jadi mengangkat keduanya sebagai guru di face book. Aku pinjam hatimu sebuah ucapan menarik buatku Ri.
Bagaimana dengan Nora dan Rosi? Kalau dibilang hebat tak jugalah! Tapi ia mampu berakrobatik di dunia maya. Mampu berselancar diudara terjun menjelajahi internet. Jangan coba sepelekan dia bisa kesetrum transfering loading tanda hijau online.
Kalau saja seorang lelaki mengaca wajahnya, lalu dalam hati terbetik, aku gagah, tampan ketika menyisir rambut, tak seharusnya ia memuji diri sendiri. Mestinya wanita yang berinisiatif plus mengatakan kepadanya aku tertarik padamu.
Sebaliknya kuputar kalau piramida runcing kebawah lebar, jungkirkan dari lebar ke runcing jari jemarinya, begini: kalau ada seorang perempuan mencermini wajahnya lalu ia berkata” tunggu, ini pesonaku menunggu waktu, kecantikanku, rambutku, genitku awas kau akan tunduk”, seharusnya itu seorang lelaki yang memuji.
Bersyukur kalian berdua seandainya ini bisa kudramatisir tapi menganggap aku bloon atau tak tahu tatakrama, padahal Nora telah menulis menulis dengan merah spedol besar “NOTELOVE” tulisan Nora TRIWIKRAMA CINTA yang salinannya belum ia sampaikan padaku. Sebenarnya aku amat penasaran bahkan kalau sampai aku mengatakan paling ujung terlalu jengkel sudah, namun masih dalam ambang batas tak bisa meluap amarah.
“Nora!, terlalu berlebih ada orang mengatakan aku pemarah, aku tak tahu diri, aku ego, tapi hatiku paling lembut lebih dari sutra. Jangan curiga antara matahari dan bulan saling menjadi rawi alam yang menjadikan aku berbudi, saling intropeksi. Jangan gumam dengan bibirmu yang mengolah kesenjangan dalam pertikaian tanpa ujung, Nora!. Aku blakblakan malam ini kuhabiskan emosiku yang tak pernah marah pada siapa saja, aku diam tapi jangan katakan aku melamun, aku tak mau bicara dan takut sekali kalau kata-kata tersalah, itu yang jadi prinsip hidupku, sejati tanpa embel atau label kepalsuan Nora.” Aku tertunduk setelah dan ucapanku amat sadar, tensiku seimbang tak berubah.
Hening tempat itu sehening hatiku dan hati semua. Masih banyak yang harus kita cakapkan tapi waktu selalu berputar tak mau menunggu hingga tak bisa kita mkompromi. Biarkan waktu selalu mencatat, waktu bicara, memburu dalam penguasaan yang kita rasakan terlalu lelah merayapi ketidak pastian.
“Hanafi, aku salut caramu bicara, mengungkap permasalahan” ujar Nora pelan suara.
“Ya, aku faham maksudmu Nora!”
“Sulit aku mencari teman sepertimu”
“Masih banyak teman yang mengerti arti sebuah persahabatan”
“Betul apa yang kau ucapkan. Aku tak menyangkal ucapanmu” aku memperhatikannya.
Aku diam sambil kuarahkan mukaku kulihat semua tertegun mendengar dialog antagonis romantis yang kadang ditentang oleh teman yang tak mengerti arti persahabatan. Barangkali aku ingin mengutip kata amat puitis dari salah seorang teman bernama Ary Wibowo penulis Novelet “Daun-Daun Cinta” yang kupinjam katanya yang kujadikan ayat-ayat hati yang begitu mengesankan.
Aku adalah seorang lelaki yang selalu kesiangan mengucapkan cinta. Dalam bathinku ada lelaki seperti Henry ya, seperti aku seperti kau barangkali terlambat mengatakan cinta hinga disunting yang lain. Atau cinta yang tak pernah selesai gagal dalam perjalanan menugal cinta.
Aku tak mampu menafsir isi makna yang tercetus hingga kuserahkan padamu, kepada siapa saja yang dapat memaknai arti sesungguhnya. Adakah kita tanam kebaikan lalu mendapatkan ganjaran yang berlipat, begitulah selanjutnya seperti perahu layar dibuai angin ditepian. Indahnya mata hati merekam kata hingga lekat dihati berbunga manis dalam kelopak keindahan.
Banjarbaru, 28 Januari 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-13-namamu-indah-nora/190586484304836
0 komentar: