Cerpen Hamami Adaby: Di Ujung Jalan Persinggahan

21.37 Zian 0 Comments

Barangkali kau tak selalu harus tahu apa yang kupikirkan. Persis setelah pulang dari rumah teman di perbatasan kota Martapura, Finada. Sesampai di rumah setelah beristirahat kurang lebih sepuluh menit lampu padam sekitar jam 23 .20 menit . Sialan, baru lima menit otakku mengembara masih tetap kuteruskan berkelana menyusur lorong sendu, yang kekar tajam membantai ingatanku.
Aku tak pedulikan semua itu biarkan lampu padam asal hati tetap benderang mengunyah segala keindahan. Malam dingin tak menghalangi mencari diksi tepat buat menyusun bunga kata, diantara kegelapan yang menyandera. Disini perlu suatu kesabaran yang menghampar pada jelajah malam pada beranda yang selalu siap.
Catatanku tak pernah hilang sekalipun hanya dalam memori banding otak kanan yang senantiasa terasah sebilah belati yang mengkilat, ujungnya mewangikan kata dalam segala makna. Akankah jadi mulus membelati? Belum ada prediksi yang pasti, karena aku masih diganggu persoalan sepele. Dari kajian intropeksi layak atau tdaknya tergantung tautan mana yang paling relatif sedikit membuat suatu kesalahan.

Aku sadar manusia selalu disibuki keinginan, segudang masalah, setumpuk pemikiran yang perlu dipecah sebelum satu keputusan diambil. Perlu resume agar kapabilitas seseorang mudah dianulir, em diproyeksi hingga menjelma tak jadi semacam huruhara bathin. Ketenangan rendaman fikir harus gres seperti menampi beras mana entah mana serbuk-serbuk yang harus diayak.
Pusing dan sesak nafas menampung perpaduan keserasian antara individu. Tak jarang sesal dan cuek seandainya kesimpulan akhir ada ketidak cocokan antara hati dan fikiran. Aku tak akan mau menyesali setiap keputusan yang final menurutku.Tak perlu kita mengubah hasil seleksi karena telah digodok secara maksimal.
Pendirian memang prinsifku agar tak ada kegundahan sekalipun gempa akan meradang menerjang dan membanting tulang rusukku, aku tak mundur semili dalam mencari hakikat yang baku. Katakan aku lelaki seperti juga kamu. Yang tahu diri yang tak pernah menggambar duka, sekalipun 12 pensil warna telah diraut indah, aku tak akan terpikat warna luar yang menggoda.
Pertemuan adalah keselarasan waktu dan situasi yang menentukan, berbagai aspek yang tak ku maknai diluar duga aku ketemu Dana Darati yang selalu kuimpikan waktu sama-sama dibangku sekolah. Sejak pertama jumpa ketika aku memasuki tingkat lanjutan atas.
Sepuluh tahun kemudian awal Mei 2009, tak sengaja ketemunya di mall Simpang 4 Banjarbaru persis ketika turun tangga paling akhir. Tak sengaja Dana seperti mau menubruk. Aku sempat meyakin Dana. Sebab dari jarak pandang 200 centimeter tetap kukenal sungai kecil dipipi. Aku tak kaget malah kuulur tangan buat menyalami.
Kedua orang tuanya serta adik-adiknya bergeser ketepi dinding agar tak menghalang orang-orang berlalu lalang. Aku dikenalkan Dana Darati pada ayah ibu serta adiknya.
“Hamda”, ujar Dana Darati mengenalkan.
Hamda menyalami satu persatu dan meneruskan cakap mereka yang terputus. Ada kurang lebih 20 menit perbincangan. Dana Darati terus menggoda keluarga terutama ayah dan ibu.
“Hamda selesai kuliahnya pa”, ujar Dana melanjutkan.
“Kuliahnya di Banjarmasin ya?”
“Ya”, jawab Hamda sambil ragu berpandangan.
“Nak Hamda dimana kenalnya?”. Dana memandang nanar matanya.
“Di Facebook pa”, katanya amat jujur.
“Begitu, bagus nak Hamda. Nanti kerumah. Sudah tahukan alamatnya?”.
“Ya, pa, terima kasih”, Hamda melirik dan temu pandangnya. Ada senyum yang mekar di sore, menunggu malam yang rimbun. Hamda meneruskan pulang dan Dana Darati menaiki anak tangga mall. Pasti kedua hatinnya tak selesai mengambang. Masing-masing terjerat kenangan 6 tahun lalu.
Terlalu sulit kalau direncanakan. Tak ada sekenario atau profosal untuk rencanaku sesuatu,persis Hamda dipersipang jalan kekiri Cempaka dan kanan Mandiangin tak diduga sebelumnya ketemu Sida dan sempat ngobrol, kebetulan ia bersama sepupu dan adiknya Sida. Kami tahu baik itu sepupu atau adiknya pernah ngobrol dalam acara tahun baru, kebetulan diundang parade puisi.
“Sida kuliah?”, ujar Hamda tanpa basa basi.
“Ya, kak Hamda” katanya lembut.
“Semester berapa Da?”
“Semester ganjil”, kata Sida
“Ganjilnya berapa?, 3 atau 5” ujar Hamda sambil menatapi wajahnya.
“Tiga”, ujar Sida masih manja juga.
“Baik Da, nanti kubantu bahan makalah”, kata Hamda seperti itu.
“Terima kasih kak!”.
Keduanya berpisah di ujung persimpangan. Tambah lagi otak Hamda membeban seperti air hujan yang ditampung merebak. Begitulah skenario yang kusengaja thema hingga kugambar dalam jelajah batin yang mapan membaca situasi. Lalu bagaimana akhir ujungnya? Masih loading!.
Pagi Minggu pertengahan Desember 2010 ketika aku santai nonton televisi di ruang tamu , aku dikagetkan dering hp.berbunyi. Setelah kuangkat, kukenal suara ini. Tapi menyisakan rasa raguku antara suara Dana Darati dan Sida.
Kebetulan semua adik-adikku dan ibu ke Banjarmasin dijemput paman saudara mama. Aku sendirian saja dirumah. Dua hari sebelumnya Dana Darati menelpon, aku sempat serasa tersinggung begitu dibuatnya. Ucapan itu guyon atau hanya sekedar kangen berat mungkin, tapi tak semestinya harus di tuang dalam Short Massage System.
Dana sudah berada di teras dalam rumah. Ia datang sendirian. Dan kupersilahkan masuk. Ia menuruti perintahku, kusambut dengan seribu kebahagian tapi duaribu ranjau dingin mengeliling otak dan perasaan. Peri lakunya tak pernah berubah keras dan minta ampun selalu menempatkan sugesti, menanam keangkuhan. Itu yang hadir dimataku.
“Kapan Hamda menginjak kota seribu sungai?”
“Sudah setengah bulan Darati!”, sambut Hamda.
“Ya, ya. Selama ini kemana saja?”.
“Tak kemana-mana. Di rumah saja baru kemarin jalan-jalan. Dan ketemu Darati!”
“Sudah ada gandengan di Bandung?”, Ia seperti memancing Hamda.
Hamda sebenarnya tidak senang dengan ucapan itu. Tapi ia sembunyikan dibalik senyum khasnya. Ia masih bisa menahan tikaman kata membuat singgungan semakin layang mengaktual, tapi diredam dalam anggukan kecil berirama. Dana Darati mengulang tanya yang belum terselesai.
“Neng geulis Bandung cakep-cakep kan?” Dana makin keras mengejar perspektif kata input “ NOTA KESEPAHAMAN”. Tapi dari bibir Hamda belum ada stimulan, yang ada hanyalah kesal bertambah. Tapi masih bisa dinetralisir secukup ketahanan bathin.
Dana terus saja menghujani dengan pertanyaan yang menjejal kaku, membeku bergulung miris hampir tertikam jantung, namun piawainya terselubung samarudin. Ia, Dana mengambil contoh kata pribahasa klasik menurut temuannya yang ia kirim sebelumnya.
“Hamda tolong dong imformasi lengkapnya”, seperti memaksa jawaban yang harus bisa mampu keluar hingga titik gerimis tersingkap, begitu maksud Dana. Namun bertolak pandang arah  belakang menggunting, tapi dengan lembut cerdas seperti mengelak.
“Semua itu tak terpikirkan”, tegas Hamda membuat Dana makin merangsang.
“Jadi?” Cepat sekali Hamda mengkopy.
“Jadi tak ada komentar dan maaf aku belum bisa mengatakan, ada atau tidak!”
Dana Darati memang sejak awal kenal, Hamda sudah ada catatan glosarium dalam tanda kutip. Memperhatikan bola matanya makin tajam dan berapi. Bibirnya rapat menindik menahan emosi yang kental belum terselesaikan.
“My name is Dana Darati, Hamda!”.
“Ya”, jawabnya cukup menahan emosi, padahal ia marah juga.
“And I am not are terrorism!”, katanya menegas.
“Ya, aku menghargai ucapanmu itu. Dana mungkin tahu Safira Lagaga jln. Tanderante Kebonena Palu, Sulawesi Tengah, nomer rumah aku lupa!”
“Kak Hamda marah padaku?. Kutuk aku sesuka hatimu. Sekiranya Dana bisa membaca situasi aku tidak akan menjumpaimu Hamda. Kejam hatimu, tak kukira akar hatimu bagai kutub salju. Dingin dan hampa udara”, Dana terisak tapi tak menangis. Ingin melihatnya menangis seperti orang gila. Menendang dan memukul-mukul muka. Lalu berteriak hysteris. Itu tak terjadi.
Belum sampai pada puncak gunung merapi tiba Hand phonenya Dana ber bunyi. Ia tidak menggubris tanda panggilan SMS. Ia tertunduk kisruh, tapi aku tak mau memperhatikan tingkahnya. Kubiarkan saja apa maunya. Tak ada yang tahu juga biar menangis sekuat jembatan beton hingga runtuh, petugas kebersihan yang merampung.
Aku memang kasih berlebih padanya, ku sebut namamu amat mesra, walau agak benci juga melihat lakunya.
“Dana, coba sambangi dulu bunyi dering telponmu!”
“Tidak perlu itu . Mungkin ada berita lebih buruk lagi!”
“Kalau begitu terserah Dana aja, aku tutup mata dan telinga” tersenyum.
“ya, aku tak melarang, menyuruh juga apalagi!”
“Dana pulang”
“Aku tak melarang, tapi…em sun dulu!”
“Tak perlu, salaman pun isin”
Dana benar-benar meninggalkan ruangan itu. Kubiarkan ia semau mau nya.  Selama ini aku ingin mengajari dia pola fikir berimbang antara ego dan nafsu. Kulepas ia meninggal ruang hatiku sampai ujung pagar rumah kupanggil namanya”Dana Darati say..!” Ia menoleh sedikit memutar lehernya dan akhirnya rangkum sebuah pertanyaan.
Hari itu juga sorenya jam 16.30 aku dikejutkan kedatangan Sida. Berjilbab ungu muda. Ia datang pelan menghanyutkan kanan menyerang gawang. Tapi kiper cekatan hap, merangkul bola tipuan tapi dapat juga kuselamatkan sekali pun terkilir juga lutut sambil memeluk bola.
Sida kupersilahkan masuk menunjuk kesantunanku dan tidak berbasa basi ia duduk, belum kupersilahkan secara kramaisasi sudah sewajarnya.Beberapa saat hening tak ada keluar sapaan. Siapa yang harus mulai aku atau dia, hehe.
Kuperhatikan gelagat nya aku yakin bakalan tak akan memulai percakapan.
“Dana, katanya minggu depan kembali Palu”
“Boleh jadi, aku belum ada info positif”, ujarku pura-pura.
“Sida juga belum dikabari apa minggu depan Februari!”
“Sama Sida. Aku tak perlu tahu, kalau ia berkabar oke, itu bagus!”
“Benar ngga tahu?””, kata Sida lembut menyentuh daun telinga.
“Eeh, benar, benar Sida, tanya aja padanya kapan kepastian!”
“Hamda tak menanyakan itu?”, lembutnya menggoda, hancur.
“Buat apa bertanya, tak ada kaitan individu, cukup tahu kalau ia pulang!”
“Iyaya, betul juga katamu”, celoteh ramahnya bukan main. Lain aku sudah terbiasa burung-burung dara bermain diatap seng.
“Sida, aku say kamu Sida”, merah lagi pipinya. Ia memperhatikan.
“Omong berlebih tuh?!”, sambil mengangkat telunjuknya.
“Benar Sida, aku sayang kamu!. Terserah kamu ya of tidak itu urusannya Sida, asal tahu saja aku tak pernah memaksa”, ujarku bermain waktu.
“Bagaimana Sida?, Aku tahu Boy Bejana ingin mendekatimu Sida!”
Tak ada gemeretak suara yang menyambar. Ruang itu mati suri sejenak. Hanya televisi yang bertengkar dalam sinetron. Kubiarkan itu yang juga tak mengganggu pendengaran, sebab volumenya antara terdengar dan tidak. Sesekali burung dara diatap seng rumah mengejutkan suasana senyap. Sida kaget mendengar bunyi tu. Aku terbiasa tiap pagi dan sore burung-burung itu bermain main.
“Sida, aku tak memaksa, kalau ya katakan ya, tidak ya tidak. Simple!”
“Kalau tidak?”
“ya, tidak!”, aku senang ada kesimpulan.
“Kalau ya?!”, tantang Sida.
“Kita fikir matang-matang, sebab jawaban Sida mengambang”
“O, begitu simpul Hamda?.Bagus alternatif itu! Kita lupakan kalau ada, kalau tak ada apa yang harus dilupakan!”
“Bagus sekali penampilan moderator pengarah kakinya tak timpang”
“Sida belum mengerti maksudnya secara utuh”
“Nanti juga akan mengerti”.
Setelah beberapa saat kami mengembara dalam kecamuk publisir, aku  terpaku memandangnya sampai pada kalimat akhir, aku ingin menarikan balet diatas ubinan marmar yang megah berputar putar, tapi itu tak kulakukan karena aku terlalu “sayang” dengannya.
Tapi kebencian itu tetap ada, sementara aku tak menghiraukan karena kata-katanya pernah menusuk yang tetap kukurung dalam bathinku. Sebuah kata-kata yang kuikat dinafasku, sampai kapan harus kulepaskan tanpa cidera.
Sudah hampir limabelas hari dikalikan jam menit dan detik tak pernah saling berkabar lewat SMS, sudah kumatikan tombolnya, bahkan nomornya teringat hampir  sekarat pada jatuh tempo.
Sina sudah pulang duapuluh menit lalu setelah ia menyalamiku, terasa denyut nadi bergetar sederhana sekali dan secara tulus aku hanya bersalaman sedikit agak lama saling terenyuh.
Aku teringat Finada tapi itupun sebatas ungkapan perasaan yang harus kugamangkan akar tak menjadi risau lagi hatiku. Bagaimana pun aku harus menguncinya sampai luruh matahari. Betapa tak perlu ku jelaskan kenapa jadi aku tak mencoba mendekat Finada? Aku enggan m emancing lebih dalam kesungainya.
Kemarin sehabis menyantap soto Medan aku sempat bercengkerama dengan Finada dan sempat bercinta. Sebenarnya ia sangat baik dan pengertian, tapi duh, mampukah aku berbagi rasa dengan Finada?. Pertanyaan ini yang selalu mencencang keinginan. Terlalu perhitungan untuk menambat perahu.
“Finada kapan kau datang? Apa hadiah untukku?”
“Ni, gelang tanganku buatmu Hamda, dan ini hadiah paling istimewa buatmu. Maukah kau menerimanya?”.Pertanyaan bertubi dari Finada membuatku diam.
“Kau tak mau menerima?” Pertanyaan itu menumpuk hingga pasrah.
“Terima ini gelang kasihku”. Kuterima permintaan itu. Tapi amatlah
Mengejutkan hinga terlelap dibuai kereta malam yang dingin ber Air Condition.
“Ini hadiah paling istimewa kenangan seumur hidup, inilah… tapi Hamda yang menguas dengan bibirmu. Aku terpleset dalam jambangan kaca indah.
“Baiklah, aku tak menolaknya”, Kiri pipi kucium, tapi ia masih bersuara dengan geregetan, aku terbuai dalam gesekan biola amat syahdu.
“Baik Finada, akan kulakukan perintahmu” pipi kanan ia berikan  padaku begitu amat mesra sambil menari tanganku, tapi aku enggan merangkulnya.
“Terima kasih Finada, aku tetap mengingatmu”
Amat sangat mengesankan selama hidupku diatas segala hati, barangkali inilah yang benar benar perjalanan melodrama puisi yang membunga daun logika percintaan.
Aku tak ingin melupakan kisah akhir diujung jalan ini, tak segampang membuat jembatan dermaga yang ditumbuhi lampion warna warni dalam percik apipijar denyar-denyar. Namun apa yang harus kita repley kembali, kita putar ulang lagi hanya impian mimpi-mimpi dalam keheningan hati , tak seindah lagi.

Banjarbaru, 1 Februari 2011

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-di-ujung-jalan-persinggahan/191432204220264

0 komentar: