Cerpen Hamami Adaby: Lelaki dengan Segelas Anggur
Sebatang lilin yang kita nyalakan, ini bukan merayakan ulang tahun, Valentine budaya Barat itu, namun karena kamar hati mulai gelap. Praktis amat, benturan hati merogoh saku laci lemari hias yang tak jauh dari tempat dudukku. Tak sengaja juga melakukan hal ini, secara tiba-tiba saja ide muncul dalam kerenyam malam yang dingin.Sebatang korek api menyala sebagai saksi kunci kebersamaan hati dalam imaji. Namun bukankah api yang menghangat itulah lambang dari takbir kebesaran, hanya orang-orang percaya yang memaknai, lantas tangan menadah hati berbunga tasbih dengan tahmid yang jajam.
Adakah dihatiku dan dihatimu rumbai bayang ainainii yang begitu tajam menusuk kalbu hingga sampai ujung ke ujung-ujung pelataran paling sisi tertanam, sebilah keris yang bakal kau tikam kedalam lambungku, hingga aku nyaris kehabisan darah?. Aku tak perlu membayangkan kemirisan ini, sedangkan letihnya matahari tak pernah mengatakan hal itu.
Tak usah dulu berbicara hari kemarin akan meruapkan kepiluan tiada henti, karena darah ini telah merah dalam kelenjar nadi beraduk dalam temporer waktu menanam kegelisahan. Tapi tak juga harus bertanya Why?. Tak berkesudahan cerita malam yang tak mau mengantukkan mata pada petala bumi.
Biarkan kerisauan dan gundah itu meniti putihnya awan ketika malam berbaik hati senyumnya eh, menutur manja ketika kujenguk hati dalam perisai diam tertegun sendiri, dan aku pun mengatakan padanya bahwa desau angin itu seperti menggamitkan salam salam lewat kintarotul lail, oh indahnya.
Tersentak dari tiupan angin yang tak bernama, namun begitu lembut sapanya menyandera, lalu kulapazkan dalam bahasa santun. Tapi masih ada keraguan malam telah berbaur kesunyian, karena baru lima menit hujan mereda.
Sehampir kelopak mata mau merapatkan indahnya tidur, tak membayangkan ada bulan singgah menjenguk dikamar tidur. Betapa eloknya permainan elektronika yang mendekatkan dua hati magnitas yang terpisah. Satu nafas angin yang menghantar kode aksara, hingga lumat ditelan stasion ulang alik pada transferring data akumulatif.
Dalam kerinduan orang-orang jangan dipenjara. Lepaskan tali borgol, biarkan ia mau lari atau tak dan kalau lari biarkan ia di bulan. Dan benar juga apa kata hati, telpon berdering.
“Hallo, siapa nih…? Di adresku tak ada nama, nanti poshing ke SIM”, sambungannya terputus.
Kuletakkan HP. diatas meja ruang tamu, setengah rasa jengkel tapi tak terlalu emosi menanggapi dering bunyi itu. Mungkin telpon yang tersesat dibawa angin dan tiba-tiba kecantol dijaringan nomerku seperti bulan lalu pernah kualami sendiri dari Amuntai. Ada dering kembali, mungkin tersesat lagi.
“Hallo, siapa nih…?”
“Rosianda”, katanya
“Suaranya saja tak kenal, apalagi orangnya!. Sudah ya?”
“E, jangan dulu. Aku sedang filek, Rosianda, em sudah kenal bukan?
“Belum!” ujarku polos.
“Ah masa! Dengan Bulan Merah?”
“Ya, ya…apa hubunganmu”
“Hubungan keluarga, em lucu!”, jawaban yang tak sempurna.
“Apanya yang lucu. Kamu yang lucu, katanya mau kebulan tapi tak jadi”
“Kejauhan. Yang dekat-dekat saja. Guntung Payung yu!”, makin ngeyel lagi ucapannya.
“Hehe, belum lagi kenalan sudah ngeyel kamu, ngacau saja kamu nih, tutup bicara”
“Marah ya, em katamu kenal dengan Bulan Merah?”
“Ya, mau apa, kok tanya itu lagi. Aku kenal dengannya, titik!”, emosiku, tapi ia perempuan.
“Dengan Rosianda?” Aku semakin bingung dikacaukan.
“Laa…Laa, kenal Bulan Merah yes, oke!”
“Mau kenalan dengan Rosianda?. Bulan Merah tak tahu juga kok, soal qolbi kan?”, aku tercenung. Tapi cepat kujawab “Malam kelam jadi saksi berikrar sudah. Tak, tak Rosianda. Bulan Merah, merahku bersamanya.
“Habibi, ana habibati ukhluq, aku tak kemana-mana”, katanya lembut melumpuh marahku.
PAGI 27 FEBRUARI 11 Habibi merasakan kegetiran hati, setelah malam minggunya tak ada bicara sepatah kata pun dengan Bulan Merah. Sedikit ada konsleting tentang pandang penafsiran berbeda.Dan sampai hari ini tak saling berhubungan. Handphone telah dimatikan Habibi, seperti tak ingin mendengar suara Merah.
Benarkah itu suara hatinya bernyanyi sebenarnya ataukah hanya kekesalan yang timbul sebelum terbit matahari pagi. Dia juga tak tahu, yang kusaksikan pagi itu ia membenamkan dirinya dalam kamar yang letih dalam gurat sendu. Terlalu jauh mengembalakan hati dalam kehijauan rumput, hingga sampai senja tak tampak dimatanya keindahan.
Barangkali menunggu malam yang menyejuk bila sang rembulan telah jadi purnama, namun hati telah jadi beku dalam kelepak sayap hitam awan yang menutup separuh bulatan hati. Akankah gempa dahsyat melanda duka ketika bulan tertutup kerudungnya. Yang pasti belum lagi terjawab, masih liar dalam selimut persengketaan kecil.
Namun bila ini dibiarkan meluas areal pertempuran sampai membakar ujung-ujung rambut yang sudar tersisir rapi hingga krisik rambut itu makin meriang kedukaan. Sam;pai kesanakah perjalanan hati menelusuri keadaan dalam kebimbangan yang tak berujung, hingga rindupun mengemas lirih dalamnya suatu tanda tanya.
Duh, memusing otak delapan penjuru angin aku dibawanya Rosianda bertamasya ke bulan tapi cahayanya redup sementara menunggu kepastian Merah Senja, kutitipkan matahari masih menyisakan cahaya dibalik pepohonan cuaca mendung hingga aku tersungkur dihurup-hurup mesinnya yang kaku.
“Antara senyap malam, benci pun dalam hati, merajai tulang belulang”, ucapnya Rosianda.
“Pantas malam pengap, sendiri! Kadang kedamaian itu datang, tapi rindu mengiang”
“Kalau pun kenangan itu tanpa kedamaian, kita akhiri dengan indah tanpa pedih dan air mata”
“Itulah yang menghukum diriku bersama derai malam”, kata Habibi menegaskan perkalian.
“Itu sangat berlebih ambil simpul”. Kata-kata Rosianda seperti menyilet nadinya hingga terdepak dalam pukulan rapuh yang mengena bathinnya. Betapa pun bukan itu yang di ingini.
“Tidak Rosianda!. Aku membaca san di rahasia. Aku saja yang dapat membacanya”
“Terlalu berlebih ungkapan itu, tapi tetap terserah kau!”, balas Rosianda tenang.
“Tidak Rosi, itu fakta!”kilas balik Habibi.
“Tak ada bukti otentik! Kabur dan tak jelas. Tunggu sampai putaran waktu tepat”.
“Tak perlu itu lagi, katamu damai itu indah hem…Baik Rosianda mau bukti?
Rosianda belum membuat jawabannya, mungkin takut keliru menyambaikan persepsi, dan ia berdiam diri menenangkan gejolak pergulatan itu dalam akselarasi penyampaian yang benar-benar bisa mengena bidikan.
“Oke, Habibi. Sekarang, besok atau kapan. Sementara aku minta waktu”,
“Baik kuberi waktu, up to you seberapa maumu” menyekak Rosi.
“Salut, oke bibi!”
Selesaikah pembicaraan ini, masih sewru perdebatan. Baru di ronde pertama, aku yakin pada ronde dua ini akan ketahuan kemana arah pergeserannya. Akan kita liput dalam kaca jendela yang mulai retak bekas peluru yang nyasar dalam serentet tembakan. Keduanya masih mencari jejak bekas tumit yang terlepas dipasir, untuk mengukur jarak perjalanan.
“Ya, bibati silahkan kudengarkan apa sja yang akan dikata. Siap memaknai dan semuanya Ros, yang menentukan situasi kondisi. Aku tak akan berpaling dari kata awalmu, segala kenangan hendaknya berakhir inda. Apa itu yang akan dikondisikan lagi?” ujar Habibi setengah jadi menduga.
“Kalau itu?” tebas Rosianda dileherku.
“Sudah bulat ayunan tebasanmu, kalau ya tunggu dulu, hemmm!”
“Ada apalagi, atau kusuruh temanmu melempar handuk!”
“Bukan adu tinju Rosi!”
“Lalu bagaimana akhirnya?” ujar Rosi antara ragu yang mengecoh.
“Em, dilemma Rosi!”
“Tak berkesudahan. Pada hal tiap kehidupan akan ada perpisahan, itu pasti”
“Ya, aku sadari itu. Dua titi kecil yang mengecil, itukah yang dimaksud?”
Rosianda terdiam tanpa banyak bicara, hanya gelagatnya terlalu merisaukan. Aku tak akan mau menghapus perjumpaan itu, sekalipun bendera putih dikibarkan. Waktu selalu berputar dalam perjalanan hari yang menggelisahkan.
Terlalu indah buat dicerita, biarkan kerinduan setelah kau putuskan dalam kebulatan tekad, aku diam tanpa memberi komentar, ya biarlah seperti ini saja kehadirannya, menghilangkan kenangan sudah begitu amat berat.
Diam kita adalah diam dalam nyanyian yang tak pernah dibayangkan. Lembut piulisnya duhai sekali pun berakhir indah, tak segampang melupakan kepahitan itu. Tapi biarkan saja semua duka yang tersandung, kubiarkan dalam keranda hidupku atau Rosiana yang memaku keindahan ini dalam arakan suatu hari yang telah dijanjikan. Hingga lepaskah segala unek duri yang menusuk-nusuk ingatanmu?!
Banjarbaru, 28 Februari 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-20-lelaki-dengan-segelas-anggur/199154930114658
0 komentar: