Cerpen Hamami Adaby: Guntur di Tengah Hujan Rindu
Hujan amat lebat di luar dugaan semula. Pada hal gumpal awan di langit sore tak menunjuk tanda-tanda ada kebekuan bakal mencair. Jauh sebelumnya mendung yang terang. Awan sangat putih dan mulus pelan memutari angkasa. Biru langit masih menetap digaris lengkung, dunia menangisinya ketika Amerika bersama kutu-kutunya mencukur rambut Khadafi.Sore itu angin tak berulah apa-apa, pucuk cemara tak sedikit pun bergoyang seperti hari kemarin sarang burung curiak jatuh di atas tanah bersama telurnya. Seorang anak kecil umur sekitar 8 tahunan terkejut ketika benda itu persis berada dihadapannya kurang lebh 1 meteran.
Ia terdiam disekitar kejadian itu, menoleh kekanan, tak ada orang. Arah muka tak tampak satu pun lalu menggeser pandang kekanan amat berhati-hati. Si Rais terdiam sebentar, ia menunduk sepertinya berniat mengambil benda itu tadi. Didekatinya, dekat sekali sepengambil ukuran lengan anak kecil.
Tiba-tiba dalam pikirannya goyang, tak mau mengambil resiko sekecil apa pun.Ia mendongak atas langit seperti mohon petunjuk pada Tuhan yang menjadikan makhluk selain manusia. Dalam hatinya terbersit naluri sayang dengan satwa. Betapa mulianya fikiran briliant ini. Dalam seumur jagung usianya ia mampu mengendus sebuah arti.
Pada binatang saja ia memberi arti akan sebuah kehidupan. Kehidupan yang sama dimuka bumimu. Selayaknya ia mendapatkan acungan jempol, hidup adalah kasih sayang. Banyak cerminan semacam ini telah kita dengar bahkan kita baca dikoran-koran lokal sampai bertarap nasional.
Kita telah membaca dipapan kecil arah masuk pintu gerbang wisata Sultan Adam Mandingin, selalu terbaca, lestarikan hutan dan sayangi flora dan fauna, menempel dibatang pohon. Jagalah dan rawatlah sebagaimana merawat bayi.
Kudekati mulai dari arah sejajar jalanku pelan sekira tak menduga aku sudah berada dibelakang Rais. Tepat berada disitu, ia memejam mata menunduk seraya menggelengkan kepala berkali-kali dan saat itu kupegang bahu kanannya. Ia amat pelan menoleh kearah pandang kanan dan sedikit menggeser tubuhnya. Ia memelukku, ilusi pada seseorang amat kusayang walau hanya dalam bayang-bayang agak semu.
Beberapa hari ini hujan amat deras tidak seperti biasanya. Cuaca memang tidak bersahabat lagi seperti sebuah persahabatan penuh unek dan duri. Aku membayangkan sekuntum mawar merah indah ada duri runcing seperti kuku tajam menusuk kulit. Namun tak ada kepedihan berarti saat pagi menari gemulai cahaya di kamvas putih sutra embun.
Hujan yang senantiasa kita agungkan sebagai pencurah dari sang penguasa jagad raya, memang membawa rahmat bagi yang pandai mensyukuri kehadirannya untuk kesejahteraan makhluk dibelahan bumi lain. Barangkali harus perlu menggali akan hikmah yang tersembunyi diantara guntur dan petir yang mewarnai bunyi alunan kehidupan anak Adam di muka bumi yang indah ini.
Gejolak badai dilaut gemasnya rindu tak tertahan pada bukit lembah yang menawarkan kereta gantung dalam plastarian wisata alam hingga luas hutan menggambarkan kesejukan potensial sangat membantu perkembangan maket sebuah hati dalam konsepsi timbal balik, hingga tercipta hangatnya matahari dalam kalbu.
Hujan bisa saja membawa petaka bagi kita, lorong-lorong air mampet oleh kertas, pelastik dan material macam, saluran yang amat terbatas kecilnya, membuat kemungkinan air membanjir di jalan bisa membahayakan pengendara dan selip. Apalagi lobang-lobang di aspal sebesar bundaran piring, amat menyengsarakan pengendara kalau kurang hati-hati.
Malam kemarin temanku pulang kehujanan dibawah guyur lebat, guntur dan petir bersenan dung, hingga hampir terpelesat masuk parit kecil menuju pulang rumahnya. Basah kuyup tubuh itu betapa dingin menggigil ngilu kaku tak kuasa menahan rembes jarum-jarum hujan mewarnai sinden kehangatan hati lelaki itu.
Lelaki itu diam menatap sepi malam hingga sebelahan kata tak ada ucap dari bibirnya, namun kucoba membaca detak jantungnya begitu liar dalam kembara mistik air hujan, akan seorang wanita bila sedikit saja tersentuh gerimis, tubuhnya meriang dan panas seketika, seperti bara api musim hujan tetap saja membakar belantara hatinya. Kucoba memulai bicara dengan amat hati-hati.
“Jangan pulang kalau sedang hujan seperti sore ini. Nanti badan meriang sobat!”, ia mendelik.
“Hemm, hujan keras lamban begini tak bakal teduh dalam sejenak, baik pulang Mijan”, jawabnya.
“Tapi ada untungnya aku pulang hujan-hujan begini!”
“Ha, apa untungnya, paling menggigil dan bibir kelu”, ujar Mijan mempertegas ucapannya.
“Bukan soal gigil menggigil atau guntur dan petirnya “
“Lantas soal apa lagi Malik?”
“Mau tahu saja ya?”, ujar Malik seperti sebuah teka teki.
“Sebagai seorang sahabat kita harus berbagi dalam situasi gawat sekali pun”, balas Mijan serius.
“O, begitu? Kalau cinta apa berbagi juga?, Hem…”
“Kalau itu tak akan. Itu urusan pribadi, urusan hati, aku tak mau mencampur adukkan”
“Hah, hebat juga prinsipmu Mijan. Tapi kalau aku minta pendapat, tentu bisa ya?, ujar Malik senyum.
Mijan menerawang kedepan seperti menyembunyikan kehawatiran atas segala memorable in beautiful marrow. Terlalu dramatisir keadaan hingga mengaungkan telepati kelenturan bathin, sehingga akustik background tehnical meeting berbaur lebur dalam irama musik jiwa yang rindu, menggelisahkan memukau mengharu biru dalam telusur kata sengketa diam tak bersapa.
Betapa pun cerita ini sungguh amat memukau juga.Terlalu liar buat dijinakkan namun bagaimana juga keadaan ini amat menggundah menggunjah rasa hingga terjerat rasa menduri, memedih pilu juga kenapa hingga sampai detik ini detak jantung senantiasa berdegup kencang, belum bisa hilang.
Malik terpana melihat raut wajah sahabatnya itu dengan perhatian, ada beban yang mengganjal tak tersalurkan dalam tautan kata hingga ada semacam kegelisahan tak menemukan simple kata untuk menitipkan logika pada kecenderungan Mijan dalam temuan perspektif kemuka. Lalu Malik membuka front depan dengan pelontar granat hingga terjadilah kesepakatan sharing.
“Mijan, setidaknya kau telah membaca isi hatiku, pertimbangan sangat perlu!” tiba-tiba cetusnya.
“Tentang apa Malik? Tentang merah darah bukan marah! Tuhan telah tahu kisah ini, bukan aku kalaulah tak menikmatinya, bingung awal pencarian seperti lonceng bergema dan pelan, pelan lenyap?”
Merah semu muka Malik menahan getar goncang buai kata itu.
“Mijan, Tuhan tak berpihak lagi padaku. Dia amat kejam maa hadza basyaran, begitulah!”
“Tidak begitu Malik. Kendalikan hatimu. Aku tahu perasaanmu, halus dan penyayang, tapi…?”
“Tapi apa?, Dia cuma satu buatku, ketahuilah demi segala demi hanya dia, tidakkk…”
“Yaya, aku faham dan mengetahui kepolosan hatimu Malik. Tuhan belum mengizinkanmu…”
Pecah suara galau hatinya, diluar rumah hujan masih menyisakan gerimis setelah beberapa saat gelegar angin menggergaji bunyi guntur disambangi petir yang memilu, aku telah saksikan keabadian seorang sahabat karibku menantang gemuruh hujan ditengah sambar kilat bunyi guntur mengaum. Aku merasakan kekerasan hatinya menating sebuah ballada gerisik membakar rasa keinginan tiada taranya kucoba menenangkan kejadian namun ia mengelak. Aku ikut larut didalam kolosal sinkronisasi adegan guntur ditengah hujan badai. Aku merasakan kehangatan amat sederhana ditengah cuaca gerah hujan , bukan aku kalau tak merasakan hal itu.
“Mijan!, aku masih ingat kata sahabatku, jangan kau tanya tentang indahnya hujan.Tadinya bingung”
“Lalu apa yang membuat gelisah Malik”, ujar Mijan seperti tak mengerti.
“Barangkali keindahan hujan tak punya arti lagi, selain keindahan dirinya sendiri”, ujar Malik.
“O, begitu? Tapi aku masih kurang mengerti ucapan maksud itu, perlu pencerahan”
“Ngga apa-apa Mijan, nanti akan kuterangkan sejelasnya agar kau bisa mengerti sejujurnya”
“Baik aku siap mendengarkannya dan menyimpul note akhir”, ujar Mijan sambil tersenyum ramah.
Ketika senja mendermaga rindu makin meliar seketika seperti angin, gemuruh menjarum hujan menyecar kulit tubuh sahabatku. Aku mendengar jerit sore lamunan yang menghadirkan raga diatas gurat langit desir ganas air yang turun dikaki langit, setiap rimah darah nafas hanya lava panas dalam badai hujan yang mengetam asa melelehkan rindu.
Ia tertegun didalam hujan, tubuhnya menggigil namun bibirnya tak bergetar sedikit pun, hatinya keras seperti baja berlapis polos emas, matanya bening rembulan malam penuh cahaya menantangkan tajam bumi yang menggelegar gelinding bola guntur didadanya, ia tepis dengan kaki tak tergoyah biar mencambak pijak bumi.
Kau Cuma satu “untukku”- sederhana – luar biasa –kelopak mawar – hentikan gelombang? kantong mata merembes – tenggelam dalam baitmu – laut – matamu mengalir indah – wangi – rasa duhai di mana diri ini mejelma.
Banjarbaru, 2 Mei 2011
(Cerita ini ditulis sejak l6 April 2011, terselesai baru sekarang rampung)
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamami-adaby/cerpen-24-guntur-di-tengah-hujan-rindu/215286508501500
0 komentar: