Cerpen Haderi Ideris: Rahasia Berdarah
Awan hitam bergumpal, sesekali kilat membelah angkasa dan gelegar guntur diiringi hembusan angin dingin, pertanda hujan akan menyirami bumi. Tidak berapa lama, rinai air mulai menerpa tubuhku, semakin lama semakin lebat.Aku berlari, untuk berteduh. “Hoh, pakai lupa lagi membawa payung, sementara pemakaman ibu masih jauh”..
Hujan mulai reda, aku melajutkan langkahku menuju pemakaman ibu. Setiba di pemamakaman, aku bersimpuh. Air bening mengalir dari mataku.
“Bu…lima Belas tahun, bukan waktu yang sebentar, guratan-guratan kebencian itu tidak bisa aku hapus. Namun, disisi lain aku mengharapkan hehadiran ayah.
”Bu..., orang bilang aku adalah anak yang tegar. Semestinya aku sudah jadi orang gila karena trauma melihat ibunya sendiri dibantai tanpa ampun oleh ayah kandungnya dihadapan matanya.
Seandainya waktu itu aku bisa mencegahnya, mungkin Ibu tidak terbaring kaku disini. Aku tidak percaya mengapa ayah begitu tega menghabisi nyawa ibu”.
”Bu… adik yang berumur tujuh hari saat kejadian itu, kini sudah besar, ia sudah berumur lima belas tahun. Dialah yang membuat Linda tegar, walau malam-malam berlalu dengan linang air mata. Bu bagaimana Linda tidak menangis, aku yang baru berumur sepuluh tahun harus menanggung beban yang berat merawat adik kecil yang Ibu tinggalkan”.
Dua bulan yang lalu, aku menceritakan kejadian itu kepada adik, aku tidak sanggup lagi menahan dan menyimpan rahasia itu. Rangga menanyakan soal ayah, mengapa ayah dipenjara, apa sebabnya, aku dicecar dengan berbagai pertanyaan. Aku hanya menjawab sekenanya, bahwa ayah membunuh orang, dan ayah di jatuhi hukuman lima belas tahun penjara.
Belakangan, adik tahu dari orang lain bahwa yang ayah bunuh adalah ibu, mamanya sendiri. Adik sangat kesal, marah kepadaku, mangapa aku tidak menceritakannya, mengapa ia harus mendengar dari orang lain.
Aku bilang kepadanya Bu, karena aku tidak ingin ia kecewa, tidak ingin ia sakit hati, biarlah aku saja yang menanggung kekecewaan dan kebencian kepada ayah. Namun, Adik terus memaksaku untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Ka Linda, ceritakanlah duduk persoalannya, mengapa ayah begitu tega merenggut nyawa ibu”
“Dik, sebenarnya kaka tidak ingin menceritakan ini, karena kaka ingin mengubur kenangan itu dalam-dalam, agar rasa kebencian dan dendam kepada ayah semakin memudar. Tapi baiklah, kamu sudah kaka anggap dewasa. Sudah saatnya kamu mengetahui yang sebenarnya.
“Saat itu kaka baru berumur sepuluh tahun”. Berhenti sejanak untuk menarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan jiwaku untuk bisa menceritakan kejadian lima belas tahun yang silam.
“Bearawal dari kebiasaan ayah yang suka main judi, minum minuman keras, mengonsumsi obat terlarang. Semua itu sudah menjadi teman akrab semenjak ayah berkenalan dengan bandar narkoba, lima bulan sebelum kejadian itu”.
Tibalah malam yang nahas bagi ibu. Jam sembilan malam ayah pulang. ”Rusma...Rusma...”, ayah memanggil ibu sambil menggedor pintu.
”Linda !, coba kamu bukakan pintu, tuh ayahmu datang, adik lagi menyusu nih”. Kata ibu lembut.
Aku segera membukakan pintu untuk ayah. Aku lihat muka ayah berubah seperti singga, mulutnya menyeringai, mengeluarkan aruma minuman keras, matanya merah seakan memancarkan aura siluman”.
”Mana ibumu” suara ayah menggelegar bagai petir. Ayah langsung masuk ke kamar, ia mengacak-acak isi lemari, mencari uang yang mungkin tersisa di lemari ibu. Tapi ayah tidak menemukan sepeserpun.
“Pah!, sabar Pah, ingat anak kita masih kecil”.
”Haaah” Ayah membentak ibu. ”Mana uang, aku sangat perlu nih”.
”Pasti Papah kalah judi lagi, Pah ini kan sudah malam, tidak baik mengeluarkan uang, lagian biar ada, tidak akan ku kasih”.
”Plak”, tamparan keras mendarat di pipi ibu.
Aku yang menyaksikan adegan yang dilakukan ayah pada ibu hanya bisa menutup muka. Kalau sudah seperti ini ayah bisa melakukan apa saja, aku cepat-cepat menyembunyikan mandau yang tergantung di dinding, dan pisau dapur yang mungkin bisa digunakan ayah menyakiti dan memaksa ibu untuk memberikan apa yang ia inginkan. Karena tiga bulan yang lalu perestiwa seperti ini juga terjadi, untung waktu itu ibu bisa berlari dan bersembunyi di rumah tetangga, kalau tidak, mungkin ibu sudah meninggal diparang ayah.
”Kurang ajar ayah” Rangga berdiri sambil meninju dinding kamar. ”Lalu, mengapa ibu bisa terbunuh waktu itu, padahal kaka sudah menyembunyikan mandau dan pisau dapur” Rangga penasaran.
Air mataku terus mengalir. Aku menarik nafas, lalu melanjutkan ceritaku.
Hati dan pikiran ayah sudah tertutup oleh amarah, dan nafsu judinya, mungkin juga karena pengaruh minuman keras dan obat terlarang lainnya yang biasa dikonsomsi ayah sehingga ia tidak perduli lagi pada ibu yang baru seminggu melahirkan.
Mata ayah tertumbuk pada gelang emas yang melingkar di tangan ibu. Ayah langsung menarik tangan ibu yang lagi menyusui adik kecil. Adik Rangga terlempar, untung jatuh ke tilam, kontan adik meraung menangis, aku langsung mengangkat adik untuk menenangkanmu.
Ayah terus mencengkram lengan ibu, dan berusaha merenggut paksa gelang yang dikenakan ibu. Ibu berusaha melawan dan mempertahankan apa yang ia miliki. Ayah semakin marah. Matanya menyala, karena ibu tidak mau menyerahkan gelang yang dimilikinya. Seberapa pun kuatnya, perempuan tetap perempuan dengan kelemahannya, apalagi ibu baru saja melahirkan. Ibu terjerambab dibanting ayah. Kaka hanya bisa berteriak hesteris, sambil menangis, tanpa bisa mencegah.
”Ayah, jangan ayah...kasihan ibu”. Aku memelas, menangis sambil menggendong kamu.
Ayah tidak menghiraukan suaraku. Ayah semakin bringas, seolah binatang buas yang siap menerkam mangsanya.
Ayah memecahkan kaca cermen lemari yang ada di kamar dengan tinjunya. Ahhh, tangannya berdarah. Secepat kilat ia menjilat tangannya yang berdarah. lalu ia membungkus tangannya untuk bisa mencengkram pecahan kaca itu.
”Ayah, Ayah, jangan ayah, itu ibu! ” Aku berusaha mengingatkah ayah.
”Haaaah, ia bukan ibumu, ia adalah iblis yang menyerupai ibumu yang akan menghancurkan keluarga kita, ia harus mati di tangan ayah, hahaha”.
Aku berteriak sekencang-kencangnya supaya tetangga bisa mendengar suaraku ”tolooong, tolooong, tolooong”. Sementara kamu yang dalam pelukanku meronta-ronta menangis sejadi-jadinya.
Tetangga berdatangan mendengar teriakanku, namun terlambat, ibu sudah mandi darah. Sehabis menghabisi ibu, ayah terduduk dan berkata kepadaku. ” Linda...,apa yang terjadi dengan ibumu ?, cepat panggil tetangga, bawa ibumu ke rumah sakit”.
Tetangga pun membawa ibu yang kini tidak bisa dikenali lagi karena tertutup darah, tidak sempat pihak rumah sakit menangani ibu. Ibu sudah mengembuskan nafas terakhir.
Sementara ayah yang kini terduduk memandangi pecahan kaca yang ada di tangannya, terkulai lemah. Tubuhnya kembali berubah seperti manusia normal. Tidak berapa lama enam orang personil polisi menjemput ayah.
Sebelum dibawa, ayah sempat memeluk aku dan mencium kamu, matanya berkaca-kaca, ada semacam gurat kesedihan dan beban yang begitu berat menghimpit dada ayah.
Pengadilan memutuskan lima belas tahun penjara, potong masa tahanan. Ia merasakan dinginnya penjara Banjarmasin selama dua bulan, kemudian ayah di kirim ke Lapas Nusakambangan.
”Begitulah Dik ceritatanya”, Aku mengakhiri cerita sambil menghapus air mataku.
”Bu... hari ini ayah dibebaskan, aku tidak tahu apakah aku bisa menerima kehadirannya”.
”Linda, Linda cepat pulang”. terdengar teriakan seseorang dari arah belakangku. Rupanya Tante Ita tetanggaku. ”Ayahmu, Ayahmu...”
”Ayah sudah pulang?”
”I..iiya” sahut Tante Ita agak gugup.
”Ada apa Bi, ko, gugup gitu?”
“Ayahmu..., ayahmu se...se...sekarang dilarikan ke rumah sakit Pembelah Batung Amuntai karena ditikam adikmu.
“Ayah… ” Ada rasa haru menggumpal dalam dadaku.
Aku bergegas mengiringi langkah Tante Ita. Aku langsung menuju rumah sakit dengan menumpang ojek.
Setibanya di rumah sakit aku langsung menghambur ke ruang gawat darurat. Namun, aku hanya bisa menungu di luar kamar operasi. Hampir satu jam ayah ditangani dokter.
Tidak berapa lama, dokter ke luar, aku langsung menyambanginya” Gimana Dok keadaan ayah saya?”.
"Alhamdulillah, kami bisa mengatasinya, untung lukanya tidak terlalu dalam, jadi kamu tak perlu khawatir” Kata dokter
"Alhamdulillah, aku gembira, kerinduanku pada ayah mengalahkan kebencianku, aku sadar tidak ada gunanya menyesali dakdir yang sudah terjadi. Aku memeluk ayah yang masih berbaring dengan penuh haru. Hati kecilku memohon kepada Allah semoga adikku bisa menerima kehadiran ayah.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-rahasia-berdarah/400736648812
0 komentar: