Cerpen Haderi Ideris: Pelangi Hatiku
Rembulan tersenyum, menyapa malam lembut, namun, belum bisa menerangi hatiku yang kini sedang kalut. Gemintang pun mengerlipkan matanya mencandai bulan seraya menyunging senyum indah, menebar pesona malam, menyemai cakrawala anggun jagat raya. Namun, tak mampu mengobati hatiku yang luka. Angin yang dingin di malam ini menembus relung dedaunan, menyibak belukar malam, namun tak mampu meredam panas hatiku yang membara. Tasbih binatang malam bagai musik terlantun merdu, tapi tak mampu menghibur hatiku yang sendu.Kejadian di rumah Putri barusan, masih membekas dalam ingatanku. Walau aku sudah mempasrahkan semuanya kepada sang penggenggam jiwaku untuk mendapatkan pilihan terbaik. Namun aku masih ragu apakah berpisah dengan Putri sudah menjadi pilihan terbaik? Ah, apakah aku masih belum rela berpisah dan kehilangan Putri, entahlah, aku bingung. Namun, yang pasti aku masih mencintai Putri.
Malam pun semakin larut, detak jam dinding seolah mengejekku, ah, mata ini tak mampu aku pejamkan. Kenapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini? Ini semua gara-gara Hendra bringsik itu, aku tersulut api cemburu, lalu ngapain juga aku harus menyesali semuanya? padahal sudah jelas Putri yang mengingkinkan kita pisah, dan lebih memilih Hendra. Tapi, mengapa hati ini belum bisa merelakan Putri andai dia menikah dengan laki-laki lain. Ya Allah mampukah aku melupakan Putri, tolong hambamu ini ya rab.
“Tidak, aku tidak rela kamu menikah dengan laki-laki lain”, teriakku.
“Tidak, ah, tidak, itu tidak boleh terjadi, tidak.., tidak….” Terikku semakin keras.
“Nak Haderi!, tok tok tok, terdengar suara ketukan pintu kamar, “ada apa, mengapa kamu berteriak”. Suara Paman Syarif sedikit lirih karena terbangun mendengar teriakanku.
Aku menghampiri pintu kamar dan membukanya, “Oh, Paman, maafkan saya, teriakanku membangunkan Paman”.
“Memangnya ada apa?” Tanya Paman serius bercampur cemas.
“Tidak ada apa-apa Paman”, Sahutku lesu sambil garuk kepala.
“Paman tahu, pasti mikirin kejadian di rumah Putri kan?, sudahlah Nak Haderi jangan terlalu dipikirin, perempuan kan tidak hanya Putri, masih banyak gadis yang lain, sebagai laki-laki kamu harus tegar, harus kuat, masa gara-gara perempuan kamu harus ancur-ancuran seperti ini. Tidak jantan dong..
“Tapi, paman, gimana saya tidak kepikiran terus, bisa-bisanya Putri menghianati cintaku”.
“Paman bilangin ya ama kamu, sudah jelas karakter Putri tu kaya gimana, belum lagi jadi isteri, sudah ketahuankan belangnya doyan ama harta, cintanya lantaran harta saja, buktinya, ia lebih memilih Hendra kan?, Gimana nantinya kalau jadi isteri kamu, pastinya ia akan selalu menuntut soal harta. Semantara kamu hanya seorang guru!”.
“Ya, Paman, makasih udah ngingatin, saya akan coba melupakan Putri”. Sahutku.
“Nah, begitu, kita harus semangat, jangan sampai hanya gara-gara perempuan kita menyiksa diri berlama-lama, paman yakin kamu akan mendapatkan isteri yang setia yang mau mengerti kamu lahir batin”. Paman menyemangatiku. “ Ya sudah, tidur aja lagi, ini sudah larut malam. Besok kan kamu harus pulang, kamu harus istirahat, karena hari Seninnya kamu sudah harus mengajar kan ? “, Sambil beranjak meninggalkan kamar.
Aku kembali mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah jam satu malam, kenapa mata ini belum bisa aku pejamkan? Ah, lebih baik berwudu, mungkin dengan begitu aku akan lebih tenang. Aku beranjak ke kamar belakang, mengambil air wudu, selanjutnya salat tahajjud. Setelah salat enam rakaat, tiga kali salam, aku mengadukan gundahku kepada Sang Khalik, dan tenggelam dalam munajat, tenggelam dalam zikir. Sampai akhirnya aku tertidur dalam posisi duduk.
***
Setelah sarapan pagi, aku bersiap pulang ke Amuntai. Cuaca pagi ini begitu cerah, namun, berbeda dengan keadaan diriku yang lesu dan muram. Aku bersalaman dengan Paman Syarif dan bibi Rosita “ Paman, Bi, aku pulang ya, doain aku biar selamat!”
“Ya, Nak Haderi, hati-hati kamu di jalan, jangan terlalu ngebut! “, Nasehat Bi Rosita.
“Ya Bi, Paman, aku berangkat, Assalamu`alaikum”, sambil menuju motorku yang sudah kunyalakan sebelumnya.
Aku tak lupa membaca doa “Bismillahimajreha wamursaha” , langsung tancap gas menuju kelokan keluar komplik Banjar Indah Permai, setelah tiba di Jalan A. Yani, kilometer tujuh, motorku dipepet mobil avanza, kontan saja aku terkejut dan laju motorku terhenti dengan decit bunyi ban yang bergilas dengan aspal. Untungnya aku bisa menjaga keseimbangan. Tak lama, tiga orang turun dari mobil.
“Hendra, kau!” Sentakku. Aku turun dari motorku.
“Ya, Aku” Sahut Hendra ketus.
“Mau apa kamu?”, tanyaku kesal.
“Tak perlu banyak nanya Mas!, kamu udah tahu apa mauku, tamparan mas tadi malam tak mungkin ku lupakan, sekarang saatnya aku membuktikan omonganku”.
“Wah, bisa gawat nih, dasar pengecut ini orang”, aku membatin.
“Serang dia!” Perintah Hendra pada anak buahnya,
Aku mundur satu langkah mengatur posisi. Anak buah Hendra yang berbaju hitam melakukan serangan pertama mengarahkan tinjunnya ke ulu hatiku, hups, buang luar kaki kiri terus kaki kanan maju ke bawah kaki lawan sambil menyerangkan tinjuku ke ketiaknya, terus kaki kananku menyapu kaki lawan melakukan bantingan, yaps berhasil ku lumpuhkan.
Serangan berikutnya datang dari lawan yang berbaju biru dari arah belakangku, hups aku merunduk dan memutar tubuhku sambil mengayunkan tendangan sirkal ke arahnya, hups tendanganku bisa dia elakkan. Hups, ah, ciat, tangguh juga orang ini, tinjunya berhasil mendarat di mukaku, dan dendangannya berhasil menjebol pertahannku, aku terhuyung ke belakang. Saat aku terhuyung itulah lawan yang berbaju hitam bisa bangkit dan memukul leherku dengan besi yang ia pegang. Mataku nanar, semuanya berubah jadi gelap.
“Ahh,…
“Alhamdulillah, kau sudah sadar nak Haderi, jangan terlalu banyak bergerak dulu”.
“Oh, Paman!”.
“Ya ini pamanmu, untung saja warga di sekitar kejadian itu bisa menolongmu, dan melarikan kamu ke rumah sakit ini, saya kaget sekali ketika saya dihubungi, langsung saja saya ke sini, dasar keterlaluan Hendra, gimana kalau kita laporin aja ke polisi?”.
“Sudahlah paman, tidak usah diperpanjang, lagian saya tidak apa-apa kok, kondisiku sudah agak baikan, lebih baik kita secepatnya pulang, mungkin paman bisa menguruskan administrasi rumah sakitnya sekarang”.
“Ya, nak Haderi, lebih baik istirahat di rumah paman saja, tapi aku salut padamu daya tahan tubuhmu kuat sekali”.
“Ya Paman, itu karena sering olah raga, andai saja tadi tidak keroyokan, mungkin masih bisa saya atasi, gini-ginikan pernah juga belajar olah raga bela diri, waktu saya kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin dulu”.
“Nak Haderi, Paman mau menyelesaikan adminstrasi rumah sakit ini dulu”, sambil melangkah ke luar.
“Ya paman” sahutku singkat.
Sore harinya aku sudah bisa pulang ke rumah paman di komplik Banjar Indah Permai, terpaksa deh pulang ke Amuntai tertunda dulu, aku harus istirahat sehari atau dua hari, dan aku harus izin sama kepala sekolah.
***
“Assalamu`alaikum!”
“Alaikum salam, Kau ?,” Aku terkejud dan tidak nyangka kalau Putri menjengukku. “Untuk apa kamu datang ke sini Put?”. Tanyaku agak marah.
“Ya menjenguk keadaan Mas lah!”.
“Memangnya kamu masih perduli ama aku? “ Tanyaku penasaran, namun masih bercampur rasa kesal.
“Lalu Mas pikir ngapain aku datang ke sini?” Putri balik nanya.
“Ya, aku tidak nyangka aja kalau kamu mau menjengukku”, Jawabku agak lembut.
“Aku tahu Mas Haderi masih marah ama Putri, asal tahu aja mas, sebenarnya aku sangat menyesal, karena terlalu mendesak mas untuk secepatnya menikahiku”. Putri terdiam, dan menghela nafas, suaranya bergetar, dan kristal bening sudah menetes di pipinya.
“Maafkan aku ya Mas, sebenarnya aku sangat mencintaimu”.
“Lalu bagaimana dengan Hendra?”, desakku.
“Mas, sekali lagi Putri minta maaf, sebenarnya Hendra itu” Putri mengehela nafas dan melanjutkan bicaranya,” Hendra itu sepupu saya”.
“Jadi, semua kejadian ini?”,
“Ya Mas, sekali lagi Putri minta maaf, semua kejadian ini hanya rekayasa Putri, untuk ngebuktiin, apakah mas benar-benar mencintaiku, dan cemburu ama Putri”.
“Put, Mas juga minta maaf, karena terbakar api cemburu, mas sudah berprasangka buruk padamu”.
Kamipun berpelukan. “Mas maafkan Putri ya, aku sangat mencintaimu”.
“Ya Put, mas juga sangat mencintaimu”.
“Ahmm, udah baikan ni ye” kata paman dan bibi bersamaan, sambil tersenyum.
“Jadi, paman dan bibi sebenarnya sudah tahu, dan juga terlibat dalam permainan ini?”.
“Yaps” sahut mereka.
“Ah, kalian bercandanya kelewatan, aku malu sendiri, tapi, senang juga kok”.
Kami semua berpelukan. Mendung tidaklah selamanya, pasti ada cuaca cerah, bahkan dari gerimis muncul pelangi yang indah. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mengembalikan Pelangi hatiku.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/pelangi-hatiku/10150191357638813
0 komentar: