Cerpen Haderi Ideris: Menangguk Untung di SPBU
Seperti biasa, pagi-pagi Pak Sapwan sudah menyiapkan mobil bututnya keluaran tahun wau, 1970, jauh lebih tua dari umurnya. Mobil itu ia beli seharga empat juta rupiah, dua bulan yang lalu. Itupun masih belum lunas. Dia sengaja memodifikasi tangki minyaknya supaya muatannya melebihi batas normal.Lumayan dengan begitu Pak Sapwan bisa mendapatkan penghasilan dari melangsir bensin berkisar empat ratus ribu perhari. Bayangkan saja tangki minyak hasil modifikasi bermuatan dua ratus liter, dan ia berhasil mengantre di SPBU sampai dua kali sehari, siang hari dan malam hari.
Rencana kenaikan BBM yang dicanangkan pemerintah bagi Pak Sapwan yang tidak ada pekerjaan selain ini adalah berkah besar buatnya. Seribu rupiah saja laba yang ia ambil dari hasil membagi ke penjual eceran ia sudah dapat dua ratus ribu untuk sekali tarikan. Belum dua atau tiga kali tarikan, ia bisa menangguk untung enam ratus ribu sampai satu juta rupiah, ditambah kalau ia mengecer sendiri di lapak yang ia buat di depan rumahnya tentu akan lebih banyak lagi laba yang diperolehnya. Harga normal sekarang di pengecer enam ribu lima ratus rupiah, itu kalau diawasi pihak kepolisian, kalau tidak, harganya tidak bisa dikendalikan, ya sekehandak hati si pengecerlah.
Mesin mobil butut Pak Sapwan sudah dinyalakan. Tepat pukul enam ia meluncur ke SPBU.
“Busyet aku terlambat, antrean sudah meular naga,” gerutu Pak Sapwan. Sudah dua puluh mobil di depan Pak Sapwan terparker di sana.
“Kalau semua mobil yang ada di depanku ini memodifikasi tangkinya lebih besar dariku, bisa-bisa tidak kebagian mereka yang jauh di belakangku. Hah persyetan amat ama mereka, yang penting aku bisa dapet hari ini,” Batin Pak Sapwan.
Pukul delapan pagar biasanya dibuka, petugas yang bekerja di situ mulai beranjak membuka pagar. Sementara itu, para pelangsir lain yang rata-rata menggunakan motor besar sudah berjubel di depan pintu pagar, suara mesin menderu-deru berpacu seolah menunggu bendera bapalan motor diangkat ke udara tanda balapan di mulai. Mereka ini biasanya dalam sehari bisa lima kali putaran keluar masuk SPBU.
Pintu pagar dibuka, para pelangsir itupun berpacu mengambil posisi pertama. Yang baru datang terpaksa bersabar menunggu antrean yang begitu jauh. Entah kenapa hari ini cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Tiba-tiba ada pelangsir yang baru datang, coba menerubus maju ke depan tanpa mengindahkan antrean. “Woi ...! Bung ...! Ikuti aturan dong!” teriak para pelangsir yang lain.
Namun, pelangsir yang itu tidak mengindahkan teriakan itu. Dia sepertinya tak perduli, bahkan setelah mengisi tangkinya ia langsung meluncur ke luar. Tidak lama, sekitar lima belas menit ia sudah kembali dan menyelonong lagi menuju urutan pertama.
Sementara mobil Pak Sapwan masih berada di posisi ke Sembilan belas. Pak Sapwan ikut terpantik juga emosinya melihat pengantre yang bikin olah itu. “Mengapa petugas SPBU kok tidak bisa berkutik, mau-mau saja mengisi tangki motor Tundernya,” Gerutu Pak Sapwan.
“Andai aku yang mengantre di dekat situ, sudah kumaki-maki dan kulabrak orang itu,” batin Pak Sapwan.
Pak Sapwan semakin penasaran siapa orang itu? Tapi, tak lama ada saja diantara para pelangsir yang berani mendekati orang tersebut dan menegurnya. “Oh, Bang Johan rupanya,” batin Pak Sapwan.
“Bos, hormati dong pengantre yang lain!” ucap bang Johan agak marah.
“Hei, kamu tidak tahu, siapa saya?”
“Memangnya Bapak siapa? Malaikat?” sengit bang Johan.
“Aku ini polisi tahu!” sahut orang itu tak kalah sengitnya.
Tidak hanya itu, ia melayangkan tinjunya ke arah Bang Johan, untung saja Bang Johan bisa menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Melihat kejadian itu para pelangsir yang lain terpantik emosinya karena ulah polisi tersebut. Tak ayal lagi pengantre yang lain tanpa diperintah ikut membela Bang Johan. Tak ketinggalan Pak Sapwan, sahabat karib Bang Johan pun turun dari mobilnya. Ibarat semut melawan manusia polisi itu jadi bulan-bulan para pelangsir. Untung saja kawanan polisi yang berseragam cepat datang melerai.
Andai polisi yang lain terlambat datang melerai, mungkin polisi itu sudah mati dibakar massa. Begitulah kalau masalah disikapi dengan emosi dan kekerasan. Namun, barangkali massa tidak serta merta bisa disalahkan. Soalnya polisi yang semestinya memberikan contoh menghormati budaya antre, malah ia yang melanggar, tentu siapapun tak akan mampu menahan emosi. Memangnya belum cukup gaji yang ia terima? Kalau di luar jam dinas barangkali masih bisa di tolerer, ya?
Begitulah kejadian itu menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Masalah apakah polisi itu diberi teguran oleh atasannya? Bagi Pak Sapwan tak ada kepentingannya. Baginya yang penting harus mendapatkan bagian minyak setiap hari, minimal sekali, ya kalau bisa dua atau tiga kali. Begitu juga, ia tak perduli dengan demo-demo yang dilakukan para makasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, baginya yang penting ia bisa dapat penghasilan, di tengah-tengah sulitnya mencari lapangan kerja.
Jujur saja, jauh di lubuh hati Pak Sapwan, sebenarnya ia merasa kasihan juga pada mereka yang tidak bermaksud melangsir, ikut berlama-lama mengantre, tapi, apa boleh buat, itulah kenyataan. Tambahan lagi, kalau antrean truk yang mengatre solar berbarengan dengan mobil yang akan mengisi bensin memakan kiri-kanan badan jalan, sehingga kemacetan panjang tak bisa terhindarkan.
Terkadang terpikir juga, oleh Pak Sapwan, apa sih tujuan pendirian SPBU di daerahnya ini? Barangkali tujuan awalnya, ya untuk memudahkan masyarakat sekitar mendapatkan bahan bakar. Namun, kenyataannya sekarang yang dihadapi adalah kemacetan demi kemacetan.
Masih jelas diingatan Pak Sapwan, andai waktu itu ada orang sakit yang menghajatkan pertolongan secepatnya tentu akan mati. Andai PLN yang mengalami kebakaran itu bertepatan pada jam macet, mungkin kebakaran itu akan menghabiskan seluruh fasilitas PLN yang ada, untungnya waktu itu masih jam tujuh pagi, mobil yang mengantre belum banyak, sehingga mobil pemadam dengan leluasa melaju ke tempat kejadian. Huh andai macet, bisa dibayangkan berapa kerugian yang akan ditanggung.
Kalau berpikir seperti itu mestinya Pak Sapwan tidak ikut-ikutan melangsir. Namun, apa boleh buat, ia tidak punya pilihan lain. Mau jadi pegawai, cuma lulusan SMP. Mau jadi pengusaha, rasanya mustahil. Ya melangsir BBM inilah jalan satu-satunya yang ia bisa. Ya menangguk sedikit untung di SPBU. Begitu pikir Pak Sapwan.
Sepuluh hari lagi, rencana kenaikan harga BBM akan dilaksanakan. Pak Sapwan berpikir, bahwa ia harus menggunakan waktu sebaik-baiknya. Ia harus dapat untung besar. Ia pun menerapkan strategi menjual sebagian hasil tangkapannya, dan menyetok sebagian yang lain untuk dijual pada saat harga sudah naik. Bagi orang yang punya modal besar mungkin sudah sejak sebulan yang lalu menyetoknya.
“Mulai hari ini aku harus menyetok sebagian hasil tangkapanku, hehehe, memangnya ikan?” Pak Sapwan membatin.
Tiga hari menjelang kenaikan harga BBM, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak mobil Pak Sapwan disita polisi, karena tangkinya melebihi kapasitas normal. Ia pulang jalan kaki menuju rumah, istri pun marah-marah. Apa boleh dikata, mobil sudah disita, ya lebih baik menjual yang sudah ada.
***
“Tolong ... Tolong ...!” suara orang minta tolong. Ternyata itu suara Pak Sapwan.
Para warga berdatangan menuju arah suara. Asap hitam terlihat mengepul dari rumah Pak Sapwan. Namun, mereka cuma bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara mobil pemadam kebakaran telat sampai ditempat kejadian, karena terjebak macet. Habis sudah rumah dan minyak yang dia stok serta lima buah rumah tetangga dilahap si jago merah.
Rupanya malam itu, saat listrik padam Pak Sapwan menakar minyak untuk dijual besok hari, sambil menakar ia tak sadar menyalakan rokok, akhirnya api pun menyambar bensin yang ditakar, dengan gerak refleks ia begegas mencari kain basah, namun ketika bergegas itu kakinya menyenggul minyak yang lain, dan tumpahannya menambah besarnya api. Tak ayal lagi, api dengan cepat membesar. Untung besar diharap, tapi malah buntung yang didapat.
Nasib, nasib. Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Begitulah kira-kira ratapan batin Pak Sapwan. Menangguk untung di SPBU, malah dapat petaka. Pak Sapwan terduduk menatap puing-puing rumahnya yang sudah menjadi arang.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-menangguk-untung-di-spbu/10150654759478813
0 komentar: