Cerpen Haderi Ideris: Menangguk Untung di SPBU

06.47 Zian 0 Comments

Seperti biasa, pagi-pagi Pak Sapwan sudah menyiapkan mobil bututnya keluaran tahun wau, 1970, jauh lebih tua dari umurnya. Mobil itu ia beli seharga empat juta rupiah, dua bulan yang lalu.  Itupun  masih belum lunas. Dia  sengaja memodifikasi tangki  minyaknya supaya muatannya melebihi batas normal.
Lumayan dengan begitu Pak Sapwan bisa mendapatkan penghasilan dari melangsir bensin berkisar   empat ratus ribu perhari. Bayangkan saja tangki minyak hasil modifikasi  bermuatan dua ratus liter, dan ia berhasil  mengantre di SPBU sampai dua kali sehari, siang hari dan malam hari.
Rencana kenaikan BBM yang dicanangkan pemerintah bagi Pak Sapwan yang tidak ada pekerjaan selain ini adalah berkah besar buatnya. Seribu rupiah saja laba yang ia ambil dari hasil membagi ke penjual eceran ia sudah dapat dua ratus ribu untuk sekali tarikan. Belum dua atau tiga kali tarikan, ia bisa menangguk untung enam ratus ribu sampai satu juta rupiah, ditambah  kalau ia mengecer sendiri di lapak yang ia buat di depan rumahnya tentu akan lebih banyak lagi laba yang diperolehnya.  Harga normal  sekarang di pengecer enam ribu lima ratus rupiah, itu  kalau diawasi pihak kepolisian, kalau tidak, harganya tidak bisa dikendalikan, ya sekehandak hati si pengecerlah.

Mesin mobil butut Pak Sapwan sudah dinyalakan. Tepat pukul enam ia meluncur ke SPBU.
“Busyet  aku terlambat, antrean   sudah meular naga,” gerutu Pak Sapwan.  Sudah dua puluh mobil di depan Pak Sapwan terparker di sana.
“Kalau semua mobil yang ada di depanku ini memodifikasi tangkinya lebih besar dariku,  bisa-bisa  tidak kebagian  mereka yang jauh di belakangku. Hah persyetan amat ama mereka, yang penting  aku bisa dapet hari ini,” Batin Pak Sapwan.
Pukul delapan pagar biasanya dibuka, petugas  yang bekerja di situ mulai beranjak  membuka pagar. Sementara itu, para pelangsir lain yang rata-rata menggunakan motor besar sudah berjubel di depan pintu pagar, suara mesin menderu-deru berpacu seolah menunggu bendera bapalan motor  diangkat ke udara tanda balapan di mulai.  Mereka ini biasanya dalam sehari bisa lima kali putaran keluar masuk SPBU.
Pintu pagar dibuka, para pelangsir itupun berpacu  mengambil posisi pertama. Yang baru datang terpaksa bersabar menunggu antrean yang begitu jauh. Entah kenapa hari ini cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Tiba-tiba ada pelangsir yang  baru datang, coba menerubus maju ke depan tanpa mengindahkan antrean. “Woi ...! Bung ...! Ikuti aturan dong!” teriak   para pelangsir yang lain.
Namun, pelangsir yang itu tidak mengindahkan  teriakan itu. Dia sepertinya tak perduli, bahkan  setelah mengisi  tangkinya ia langsung meluncur ke luar. Tidak lama, sekitar lima belas menit  ia sudah  kembali  dan menyelonong lagi  menuju urutan pertama.
Sementara  mobil Pak Sapwan masih berada di posisi ke Sembilan belas. Pak Sapwan ikut terpantik juga emosinya melihat pengantre yang bikin olah itu. “Mengapa petugas SPBU kok  tidak bisa berkutik, mau-mau saja mengisi tangki  motor  Tundernya,” Gerutu Pak Sapwan.
“Andai aku yang mengantre  di dekat situ, sudah kumaki-maki dan kulabrak orang itu,” batin Pak Sapwan.
Pak Sapwan semakin  penasaran siapa orang itu? Tapi, tak lama ada saja diantara para pelangsir yang berani  mendekati orang tersebut dan menegurnya. “Oh, Bang Johan rupanya,”  batin Pak Sapwan.
“Bos, hormati dong pengantre yang lain!” ucap bang Johan agak marah.
“Hei, kamu tidak tahu, siapa saya?”
“Memangnya Bapak siapa? Malaikat?” sengit  bang Johan.
“Aku ini polisi tahu!” sahut orang itu tak kalah sengitnya.
Tidak hanya itu, ia melayangkan tinjunya ke arah Bang Johan, untung saja Bang Johan bisa menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Melihat  kejadian itu para pelangsir yang lain  terpantik emosinya karena ulah polisi tersebut. Tak ayal lagi pengantre yang lain tanpa diperintah ikut membela Bang Johan. Tak ketinggalan Pak Sapwan, sahabat karib Bang Johan pun turun dari mobilnya. Ibarat semut melawan manusia polisi itu jadi bulan-bulan para pelangsir. Untung saja kawanan polisi yang berseragam  cepat datang melerai.
Andai polisi yang lain terlambat datang melerai, mungkin polisi itu sudah mati dibakar massa. Begitulah kalau  masalah disikapi dengan emosi dan kekerasan. Namun, barangkali massa tidak  serta merta bisa disalahkan. Soalnya polisi yang semestinya memberikan contoh menghormati budaya antre, malah ia yang melanggar, tentu siapapun tak akan mampu menahan emosi.  Memangnya  belum cukup gaji yang ia terima? Kalau di luar jam dinas barangkali masih bisa di tolerer, ya?
Begitulah kejadian itu menjadi pembicaraan hangat  di masyarakat. Masalah apakah polisi itu diberi teguran oleh atasannya? Bagi Pak Sapwan  tak ada kepentingannya. Baginya  yang penting harus mendapatkan  bagian minyak  setiap hari, minimal sekali, ya kalau bisa dua atau tiga kali. Begitu juga, ia tak perduli dengan demo-demo yang dilakukan para makasiswa yang menolak kenaikan harga BBM, baginya yang penting  ia  bisa dapat penghasilan, di tengah-tengah sulitnya mencari lapangan kerja.
Jujur saja, jauh di lubuh hati Pak Sapwan, sebenarnya ia merasa kasihan juga pada mereka yang tidak bermaksud melangsir, ikut berlama-lama  mengantre, tapi, apa boleh buat,  itulah kenyataan. Tambahan lagi, kalau antrean truk yang mengatre solar berbarengan dengan mobil  yang akan mengisi bensin memakan kiri-kanan badan jalan, sehingga kemacetan panjang tak bisa terhindarkan.
Terkadang terpikir juga, oleh Pak Sapwan, apa sih tujuan pendirian SPBU di daerahnya ini?  Barangkali tujuan awalnya, ya untuk memudahkan masyarakat sekitar  mendapatkan bahan bakar. Namun, kenyataannya sekarang yang dihadapi adalah kemacetan demi kemacetan.
Masih jelas diingatan Pak Sapwan, andai waktu itu ada orang sakit yang menghajatkan pertolongan secepatnya tentu akan mati. Andai PLN yang mengalami kebakaran itu bertepatan pada jam macet, mungkin kebakaran itu akan menghabiskan seluruh fasilitas PLN yang ada, untungnya waktu itu masih jam tujuh pagi, mobil yang mengantre belum banyak, sehingga mobil pemadam  dengan leluasa melaju  ke tempat kejadian. Huh andai macet, bisa dibayangkan berapa kerugian yang akan ditanggung.
Kalau berpikir seperti itu mestinya Pak Sapwan tidak ikut-ikutan melangsir. Namun, apa boleh buat, ia tidak punya pilihan lain.  Mau jadi pegawai, cuma lulusan SMP.  Mau jadi pengusaha, rasanya mustahil. Ya melangsir BBM  inilah jalan satu-satunya yang ia  bisa. Ya menangguk sedikit untung di SPBU. Begitu pikir Pak Sapwan.
Sepuluh hari lagi, rencana kenaikan harga BBM akan dilaksanakan. Pak Sapwan berpikir, bahwa ia  harus menggunakan waktu sebaik-baiknya. Ia  harus dapat untung besar. Ia pun menerapkan strategi menjual sebagian hasil tangkapannya, dan menyetok sebagian yang lain untuk dijual pada saat harga sudah naik. Bagi  orang yang punya modal besar mungkin sudah sejak sebulan yang lalu menyetoknya.
“Mulai hari ini aku harus menyetok sebagian hasil tangkapanku, hehehe, memangnya ikan?” Pak Sapwan membatin.
Tiga hari menjelang kenaikan harga BBM, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak  mobil Pak Sapwan disita polisi, karena  tangkinya melebihi kapasitas  normal.  Ia  pulang jalan kaki menuju rumah, istri pun marah-marah. Apa boleh dikata, mobil sudah disita, ya lebih baik menjual yang sudah ada.

***

“Tolong ... Tolong ...!”  suara orang minta tolong. Ternyata itu suara Pak Sapwan.
Para warga berdatangan menuju arah suara. Asap hitam terlihat mengepul dari rumah Pak Sapwan. Namun,  mereka cuma bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara  mobil  pemadam kebakaran telat sampai  ditempat kejadian, karena terjebak macet.  Habis sudah  rumah dan minyak yang dia stok  serta lima buah rumah tetangga dilahap si jago merah.
Rupanya malam itu, saat listrik padam Pak Sapwan menakar minyak untuk dijual besok hari, sambil menakar ia tak sadar menyalakan rokok, akhirnya api  pun menyambar bensin yang ditakar, dengan gerak refleks ia begegas mencari kain basah, namun ketika bergegas itu kakinya menyenggul  minyak yang lain, dan tumpahannya  menambah besarnya api. Tak ayal lagi, api  dengan cepat membesar. Untung besar  diharap, tapi malah buntung yang didapat.
Nasib, nasib. Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Begitulah kira-kira ratapan batin Pak Sapwan. Menangguk untung di SPBU, malah dapat petaka. Pak Sapwan terduduk menatap puing-puing rumahnya yang sudah menjadi arang.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-menangguk-untung-di-spbu/10150654759478813

0 komentar: