Cerpen Haderi Ideris: Kujaga Rahasiamu

07.40 Zian 0 Comments

Ku usap batu nisan yang ada di hadapanku. “ Aku tak menyangka pertemuan kita secepat ini berlalu, dan kau tidak akan kembali lagi selamanya, tidak akan pernah lagi ku dengar suara khasmu di pasar”. Air mataku terus menganak sungai.
Kawan, walau kau sudah tiada, namun, aku tidak akan pernah melupakanmu. Memang sangat menyedihkan, kau datang ke dunia ini sendirian, tidak ada yang memperdulikanmu , kau datang tidak diharapkan orang dan bila kau tidak ada tidak dicari orang. Hanya aku yang mengerti kau. Hanya aku yang perduli kau, dan hanya kau yang perduli dan mengerti aku.
Kita memang dalam banyak hal memiliki persamaan, saat kau mati tidak ada orang yang mau mengurus jenazahmu. Cuma aku sendiri yang perduli, aku mandikan kau, aku kafani, kemudian aku salatkan dan aku kubur kau di sini. Begitu hinakah kita berdua sehingga tak seorang pun yang perduli dengan kita saat hidup, apalagi sudah mati.

Yang sangat menyedihkanku, siapa yang mengurusku ketika mati nanti, apa orang akan membiarkanku membusuk begitu saja atau membiarkanku disantap srigala?. Aku merasa iri kepada pejabat yang mati karena penyakit jantungnya kambuh lantaran saking senangnya divonis bebas, padahal ia nyata bersalah.
Banyak orang yang mengurus jenazahnya, bahkan berebutan, karena memang banyak duitnya, bahkan diantar ke pemakaman dengan arak-arakkan. Sedangkan kau!...dan …aku bagaimana?. Bagaimana kawan?
“Jangan takut kawan, walau alam kita sudah berbeda, namun, kita masih bisa bertemu. Walau hanya suaraku yang bisa kau dengar. Aku sebenarnya tidak mati, aku Cuma berpindah alam , dari alam maya ke alam nyata, alam yang sebenarnya. Kalau kau mati , aku yang akan memerintahkan para Malaikat yang mengurusmu, bagaimana?”
Suara itu kudengar jelas dari kuburnya. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia pun menyambung pembicaraannya. “Kawan, jangan kau iri pada mereka, saat hidup mereka berbau harum dan disanjung, padahal mereka yang memuji dan menyanjung justru menjerumuskannya kepada kesombongan dan kehancuran, sehingga bila ia mati lebih busuk dari bangkai babi.”
“Lain halnya dengan kita, walau tubuh kita berbau busuk waktu di dunia, dekil, rambut acak-acakan, bila orang melihat merasa jijik dan takut, namun ketika mati akan tercium harumnya”
“Ya, memang benar dari kuburmu tercium bau harum yang belum pernah aku cium sebelumnya dan tidak pernah aku jumpai minyak wangi seperti ini di pasar manapun”.
“Makanya jangan sedih lagi ya!, kembalilah ke pasar. Kuharap kau jangan bersedih lagi atas kepergianku, kapan dan dimanapun kau bisa menemuiku, namun ingat jaga rahasiaku. Supaya rahasia ini tetap terjaga, kuharap kau mau menggantikan posisiku.

***

Aku sebenarnya baru sebulan mengenal temanku ini, namun keakraban cepat terjalin diantara kami berdua. Waktu awal perjumpaanku dengannya di pasar cukup aneh, ia tertawa-tawa.
“Ha…ha…ha…!” Kemudian tangannya diacungkan ke langit dan “doom”. Suaranya mengagetkan orang-orang yang ada di pasar, dan yang paling terkejut tentu saja aku. Karena saking terkejutnya, aku ikut-ikutan menyuarakan “doom” dan aku arahkan tanganku ke arahnya, ia malah lebih keras tertawanya dan “doom” ia arahkan juga tangannya ke mukaku, sehingga terjadilah “doom-doom” secara bergantian dari mulut kami. Jadilah kami bahan tertawaan orang saat itu.
“Dasar orang sinting”, Kata orang-orang disekitar kami. Aku memang latah, kalau terkejut sering menirukan kata-kata orang yang mengejutkanku. Aku tidak sinting, aku tidak gila, aku normal, Cuma itu tadi latahnya itu Loe.
Mulai saat itu, bila aku pergi ke pasar pasti disapanya aku dengan sapaan yang sama, ha…ha…ha…doom. Ia acungkan tangannya ke arahku, aku pun serta merta membalasnya dengan tingkah yang sama. Kemudia ia mulai berlalu dari hadapanku. Namun, tanpa kusadari, aku terus mengikuti langkah-langkahnya di pasar itu.
Ia terus berjalan masuk lorong-lorong pasar, tak ambil pusing apakah orang menertawakannya, mencaci, menghina, bahkan ada yang tak segan-segan menendangnya dan mengusirnya karena dianggap mengganggu kenyamanan orang yang berjualan.
Ia memang dekil, , mukanya awut-awutan, rambutnya sebahu acak-acakkan, kaki tak beralas, baju yang dikenakan berlapis-lapis. Namun, sesekali ada juga yang bersimpati kepadanya dengan memberikan uang seribu atau seratus perak, ia tidak menolak dan tdak juga mengucapkan terima kasih. Hanya tertawa khas yang keluar dari mulutnya, ha…ha…ha…, setelah tertawa ia arahkan tangannya ke wajah orang yang memberi uang dan “doom”. Mungkin dengan cara itu ia mengucapkan terima kasih.
Terkadang kalau ada puntung-puntung rokok ia pungut, ia jadikan satu dengan kertas kemudian ia nyalakan. Sebelum menghisap tak lupa ia mengeluarkan ciri khasnya ha..ha…ha…doom, baru dia menghisap rokok buatannya itu. “Sedaaap…!, ha…ha…ha…doom.
Senja itu kakiku ini lagi-lagi menurutkan langkah kaki kawanku itu. Ya anggap saja kawan, namanya pun aku belum tahu. Pernah aku nanya namanya siapa, tapi ia tak menyebut nama, namun, ciri khasnya yang keluar dari mulutnya, tertawa ha…ha…ha…doom, ya sudah sebut saja temanku itu hahahadoom.
Kaki ini terus mengikutinya, sampai akhirnya pada sebuah rumah di tepian hutan di ujung desa, tanpa terasa ternyata kalau diperhitungkan perjalananku itu lebih dari 25 kilometer, waktu perjalanannya pun cukup singkat tidak lebih dari 15 menit.
“Hai…Karim”, Ia menyapa namaku.
“Darimana ia tahu namaku, padahal aku tidak pernah memperkenalkan namaku kepadanya’, Aku membatin.
“Gak usah bingung begitu, kalau mau kenal aku lebih akrab silakan masuk saja ke gubukku. Aku sdah siap menunggumu di dalam”.
“Sudah siap menungguku?, aku makin bingung, kan yang berbicara masih berada di luar gubuk, kok sudah siap menunggu di dalam, ada apa nih. Ya sudahlah jangan terlalu banyak mikir nanti sinting sendiri, lebih baik aku masuk mengikuti sarannya”.
Setelah aku mengucapkan salam dan masuk gubuk itu, ternyata memang benar ia sudah menungguku dengan wajah dan penampilan yang berbeda saat aku temui ia di pasar. Ia memakai pakaian serba putih dan tercium bau minyak wangi yang tak pernah kucium sebelumnya dan tak pernah kujumpai di pasar.
“Silakan duduk”, Ia mempersilakanku duduk.
Aku duduk bersila di hadapannya. Aku tidak habis pikir ia mirip sekali dengan wajahku, lalu aku memberanikan diri menanyakan siapa namanya.
Ia menjawab singkat, “Namaku Karim”.
Ia melanjutkan perkataannya, “Baiklah Karim, memang dalam beberapa hal kita memiliki persamaan, bahkan sampai pada nama. Aku akan menerangkan semuanya, agar kita benar-benar sama dan menyatu, sehinga tidak bisa dibedakan satu dengan yang lainnya”.
Ia menghela nafas dan kembali melanjutkan pembicaraannya. “ Sebenarnya penampilanku yang kau lihat di pasar itu adalah bayangan dunia lahir, semua serba busuk dan menipu. Aku memberi pelajaran pada mereka bahwa dunia ini busuk. Sebenarnya kebanyakan mereka melihat tapi buta, semestinya mereka berlari dan membenci dunia ini sebagaimana ia membenciku. Namun, mereka tuli dan buta, mau saja ditipu oleh dunia. Sehingga tidak memahami apa yang aku ucapkan, ha..ha..ha…doom, bisa diinterpretasikan (Hai anak-anak Adam dengar omongan orang yang ma`rifat)”.
Kalau sedikit saja mereka membuka mata hati dan pendengarannya, tentu akan mengerti, semua bersumber dari-Nya sebagaimana aku arahkan tanganku ke atas ketika menyebut doom. Ha-ha-ha adalah tawa kegembiraan atau nikmat yang semuanya bersumber dari doom yang aku tunjukkan ke atas. Langkah dan gerak, huruf dan kata, menjelma kalimat, semua bersumber dari-Nya.
Nah, sekarang aku yang ada di hadapanmu ini adalah batinmu sendiri, mata hatimu sendiri, apa yang dikatakan batinmu benar adanya. Jadikanlah pasar sebagai tempat ibadahmu, sementara sebagian orang menjadikannya sebagai tempat untuk saling menipu. Jadikanlah cacian dan makian orang sebagai ladang pahalamu dan mulutmu berkata sambil tertawa ha…ha…ha…doom, aku mengerti apa yang kau katakan itu zahir, sementara aku akan mengatakan Dia. Dia memang Dia, tidak ada selain Dia, hanya Dia.
Pesanku yang terakhir tolong jaga rahasiaku ini, agar rahasiaku ini tetap terjaga. Jadilah kau seperti diriku yang ada di pasar, sebagaimana sangkaan orang bahwa aku memang gila.
Pagi itu aku pergi kepasar, dan memang benar kawanku yang tidak lain batinku sendiri lebih duluan sampai di pasar, tentu saja aku sangat kenal kekhasannya dengan hahaha doomnya.
Namun, kali ini tawanya sangat keras dan lebih sering, ia duduk di emper sebuah toko dan ha…ha…ha…doom terus mengalir dari mulutnya dan kepalanya terus bergoyang, ketika ia mengucapkan doom mukanya menghunjam ke dadanya sebelah kiri dan tangannya mengacung ke langit.
Aku mendekatinya, untuk lebih menjalin keakraban yang mendalam, semakin dekat dan semakin dekat sampai akhirnya temanku itu melemah dan melemah. Bibirnya terus melantunkan kalimat rahasia yang hanya aku dan dia yang tahu maknanya, yaitu tidak lain ha…ha…ha…doom dan akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir.
Tidak seorang pun yang perduli dia, hanya aku, inilah penyatuanku dengan batinku secara keseluruhan, sehingga dimana dan kapanpun aku akan dapat berbicara dengannya walau kami berbeda dunia. Aku zahir dan dia batin. “Kawan rahasiamu akan tetap jadi rahasiaku”.
“Kawan, mulai sekarang aku tidak khawatir lagi, karena aku sudah menemukan dirimu dalam diriku”. Aku berdiri dari pusara dan melangkah kembali ke pasar dan aku tertawa…, ha…ha…ha…doom.


Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 20 Januari 2008
https://www.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-kujaga-rahasiamu/382046183812

0 komentar: