Cerpen Nailiya Noor Azizah: Suatu Hari di Pelabuhan yang Ramai
Ketika aku masih tiga tahun, aku pernah menapakkan kakiku di sebuah tempat yang sangat ramai. Aku berjalan beriring dengan seorang lelaki yang kupanggil Ayah. Ia menggamit tanganku yang mungil dengan penuh kasih sayang. Saat itu baru pertama kali aku melihat tempat ini. Kata ayah namanya pelabuhan. Ada banyak kapal yang berlabuh di sana. Mereka besar-besar dan berjejer rapi. Ayah mengajakku berjalan di tepian laut yang sangat luas. Ayah menyentuhkan airnya ke jari-jari kecilku sambil mengatakan sesuatu yang tidak kupahami maknanya. Yang aku tahu hari itu aku sangat senang. Namun, kesenangan itu tiba-tiba hilang tatkala Paman Isa menggendongku. Ia membawaku dengan cepat menuju keluar pelabuhan. Aku berteriak sekuat tenaga. Aku menangis meronta-ronta sambil menunjuk ke arah seorang lelaki yang kupanggil Ayah. Sayang, usahaku sia-sia. Lelaki itu hilang bersama keramaian orang yang berdesak-desakkan memasuki kapal. Padahal dalam hidupku aku hanya memiliki ayah.***
Jam wekerku berbunyi, tepat pada pukul 5. Aku sengaja bangun lebih awal hari ini. Aku benar-benar tidak sabar menanti datangnya hari ini. Seorang guru baru di sekolahku benar-benar menyenangkan. Cara mengajarnya asyik dan tidak membosankan. Kadang-kadang kami diajak menonton film-film seru, bermain aneka peran, dan membaca dongeng bergantian. Hari ini ia akan mengajak kami mengunjungi sebuah tempat yang masih ia rahasiakan. Aku sangat penasaran.
Sesampainya di sekolah, ternyata teman-temanku sudah ada yang datang. Mereka tampak bersemangat, sama sepertiku. Setelah semua datang, Pak Rahmad mengumpulkan kami. Ia memberikan pengarahan tentang perjalanan kami. Beliaulah guru hebat itu. Dan beliau masih merahasiakan tujuan kunjungan kami.
Aku duduk berdampingan dengan Tomi di dalam bis mini yang wangi ini. Hm, benar-benar menyenangkan. Pak Rahmad memimpin kami menyanyikan berbagai lagu agar kami tidak bosan. Ada lagu Di Sini Senang Di sana Senang, Maju Tak Gentar hingga lagu Garuda di Dadaku. Sesekali Pak Rahmad menjelaskan nama dan kegunaan gedung atau bangunan yang kami lewati. Ada rumah sakit, kantor pos, mall, dan masih banyak lagi. Pak Rahmad berjanji kapan-kapan ia akan mengajak kami mengunjungi tempat itu. Aku semakin kagum dengannya.
Akhirnya, kami tiba di tempat belajar yang dimaksudkan Pak Rahmad. Semua anak bergegas menuruni bis. Mereka berceloteh riang sambil terus memasuki sebuah tempat terbuka yang sangat ramai itu. Ya, benar-benar ramai! Sementara itu, aku terdiam di sisi bis. Kutatap lekat tempat yang kini ada di depanku. Sebuah tempat yang membuat hatiku tiba-tiba sedih. Sebuah tempat yang pernah kukunjungi beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih tiga tahun. Sebuah tempat yang memisahkanku dengan lelaki yang kupanggil Ayah.
***
Pak Rahmad merangkulku lembut. Dilepasnya topi Ben 10 yang sedari tadi bertengger di kepalaku. Diusapnya kepalaku dengan lembut. Ia menanti penjelasan mengapa aku tiba-tiba menangis sesampainya kami di tempat ini. Seperti seorang anak yang berbicara dengan ayahnya, aku mengungkapkan segala hal yang telah kualami. Kuceritakan tentang seorang lelaki yang kupanggil Ayah. Kukatakan bahwa dia hilang dalam keramaian di pelabuhan ini. Aku menumpahkan segala kesedihanku kehilangan ayah yang selama ini kusimpan baik-baik dalam hatiku. Aku juga menceritakan tentang seorang perempuan yang menyebut dirinya Bunda. Ia datang beberapa hari ketika Ayah hilang di pelabuhan itu. Namun, itu hanya sesaat. Ia pergi lagi. Kata Paman Isa, perempuan itu sibuk dengan pendidikan dan pernikahan keduanya. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Perempuan itu jarang mengunjungiku yang tinggal di rumah Paman Isa. Ia hanya menelponku hampir setiap hari. Ia tidak tahu bahwa aku sudah bisa membaca, menggambar, dan bersepeda. Dan yang pasti ia tidak pernah tahu bahwa aku masih bertanya-tanya tentang seorang lelaki yang hilang di pelabuhan yang ramai itu. Aku hanya diam. Menyimpan kebingungan itu dalam hatiku saja.
Beberapa tahun kemudian aku mulai berani menanyakan tentang sepasang lelaki dan perempuan yang kerap mengantar teman-temanku ke sekolah secara bergantian. Kata teman-temanku, sepasang lelaki dan perempuan itu adalah orang tua mereka. Alangkah senangnya memiliki orang tua seperti mereka. Mengapa aku tidak seperti mereka. Di mana orang tuaku. Aku jadi teringat ayah. Di mana Ayahku. Tapi pertanyaan itu membuat Paman Isa marah. Katanya, ayahku hilang di pelabuhan. Itu saja. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertanya tentang ayah. Aku hanya tidak ingin membuat Paman Isa marah. Hanya dia yang menjagaku, kini.
Pak Rahmad mendengarkan semuanya dengan saksama. Ia merengkuhku dalam dekapannya. Ia tak mengatakan apa-apa saat itu.
***
Aku hampir menamatkan SD. Kata Paman Isa aku sudah besar dan harus belajar menjadi dewasa. Paman Isa memperlihatkan sebuah foto pernikahan padaku. Foto ayah dan ibuku! Paman Isa mulai menceritakan perihal orang-orang di foto itu dengan bahasa yang paling sederhana agar aku mengerti. Aku mencoba mencerna beberapa kata yang disebutnya berulang-ulang: bunda, ayah, cinta dan cerai. Bunda dan ayah bercerai karena mereka tidak lagi saling mencintai! Mata Paman Isa menjadi basah ketika menuturkan semua itu. Paman Isa sedih, seperti halnya aku yang selalu sedih sejak ayah hilang di pelabuhan yang ramai itu.
Semalam setelah penuturan Paman Isa tentang kedua orang tuaku, aku menjadi sulit tidur. Aku jadi membenci bunda yang lebih dulu meninggalkanku dan ayah. Aku jadi marah dengan bunda yang membuat ayah juga pergi meninggalkanku. Tapi, aku tak bisa membenci ayah yang memberi banyak kebaikan untukku. Ayahlah yang mengajakku bicara setiap pagi hingga aku mulai mengerti banyak hal. Ayah tak pernah lelah menyuapi bubur walaupun sering kusemburken ke wajahnya. Demikian pula saat memandikanku, ayah tetap sabar kala mukanya kecipratan air hangat akibat kakiku yang tak berhenti bergerak-gerak saat dimandikan. Ayah pula yang menuntunku berjalan pertama kali. Bagiku, ayah adalah matahari.
Paman Isa memergoki tulisan-tulisan kebencianku pada bunda. Ia memarahiku. Aku heran kenapa Paman Isa membela bunda. Bukankah bunda telah berbuat jahat padaku dan juga ayah? Hingga senja aku masih mengurung diri di kamar. Aku mogok makan dan minum. Aku tetap dalam diam sampai kudengar Paman Isa memanggil namaku lembut dari luar kamar. Aku hanya memiliki Paman Isa. Aku menghambur dalam pelukannya. Kubiarkan ia menjelaskan banyak hal tentang mengapa aku tak boleh membenci bunda atas apapun yang telah dilakukannya padaku.
***
Aku bersyukur memiliki guru seperti Pak Rahmad. Meskipun aku telah berseragam putih biru, aku masih sering mengunjunginya. Ia seperti seorang sahabat yang menjadi tempatku mengumpulkan kekuatan agar bisa menghadapi kehidupan yang keras. Ia terus menempaku menjadi seseorang yang punya rasa hormat dan cinta pada orang tua. Ia melatihku untuk membuang benci jauh-jauh, terlebih pada bunda
Sejak Paman Isa menyerahkan foto orang tuaku beberapa tahun yang lalu, aku selalu membawanya ke manapun aku pergi. Seperti senja itu saat Paman Isa mengantarku ke pelabuhan yang masih saja ramai.
Aku berdiri menatap keramaian itu. Aku benar-benar berharap seorang lelaki yang kupanggil ayah, kelak akan muncul di sana. Aku sangat merindukan ayah karena aku tahu matanya menatapku dengan cinta tatkala Paman Isa meraihku dari dekapannya yang hangat. Entahlah dengan bunda….
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/nailiya-noor-azizah/suatu-hari-di-pelabuhan-yang-ramai/10150156325823033
0 komentar: