Cerpen Nailiya Noor Azizah: Senandung Hati Sang Honorer
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guruNamamu akan selalu hidup dalam sanubariku...
Yori, guru muda berjilbab dan berkaca mata itu merapikan mejanya. Ada setumpuk Lembar Kerja Siswa di atasnya. Tangan mungilnya nampak cekatan mengoreksi tugas murid-muridnya.
Di depannya, nampak beberapa siswa yang lebih memilih berdiam di dalam kelas pada saat istirahat. Ya, Yori lebih senang menghabiskan waktunya di kelas, walaupun bel istirahat berbunyi. Maklum jam mengajarnya selalu diselingi waktu istirahat. Yori malas kalau harus ke ruang guru. Bukan apa-apa. Karena memang dia tidak memperoleh tempat duduk sendiri di ruangan itu. Dia enggan kalau harus nebeng duduk terus di meja rekannya, sesama honorer. Yori maklum. Mungkin karena dia masih seorang Guru Tidak Tetap alias honorer. Tapi, Yori menjalaninya dengan senang hati. Dia hanya menuruti panggilan hatinya, menjadi seorang guru.
Sepintas Yori melihat beberpa muridnya berjalan ke arahnya. Yori tidak merasa aneh, sebenarnya. Hanya saja, mereka nampak maju mundur alias ragu-ragu.
”Kenapa, Rif?” sang guru akhirnya membuka obrolan.
”Maaf sebelumnya, Miss...” murid yang disapa ‘Rif’ masih terlihat ragu.
“Ya?” sang guru menunggu muridnya meneruskan kalimatnya. Dia tersenyum, mencoba menumbuhkan keberanian dalam hati murid-muridnya.
“Apakah kemampuan kami dalam Mendengarkan begitu rendah, Miss?” Nurul, muridnya yang perempuan akhirnya angkat bicara. Yori mengerutkan keningnya, mencoba menalar ke arah mana pembicaraan anak-anak didiknya ini.
”Nilai bahasa Inggris kami untuk aspek Mendengarkan banyak yang tidak tuntas, Miss. Agil dan Arif saja yang jago bahasa Inggris Cuma dapat 5,9” tutur Ilham kemudian.
”Oh ya..???” tanya Yori nyaring, tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya. Sang guru akhirnya meminta para siswa mendata nilai bahasa Inggris di rapor mereka. Maklum, di sekolah ini yang berhak mengolah nilai adalah pengelola nilai. Nilai tugas harian, PR, dan ulangan bulanan diserahkan guru bidang studi ke wali kelas untuk kemudian diserahkan lagi ke pengelola nilai. Yori bahkan tidak tahu seperti apa hasil ulangan akhir semester murid-muridnya.
***
Yori, guru muda berjilbab dan berkaca mata itu mendesah, sambil tak berhenti menatap sobekan-sobekan kecil yang sedari tadi silih berganti di tangannya. Di sana tertulis kata-kata dan angka-angka yang beberapa hari ini menghantui pikirannya. Setelah mendengar pengakuan beberapa muridnya, Yori memang meminta mereka menulis nilai bahasa Inggris yang mereka peroleh di rapor. Hingga akhirnya, Yori menemukan keanehan itu.
Yori sudah mendiskusikan dengan Ayah dan Bunda bahkan dengan Kak Niki juga. Jawaban mereka sama, Yori harus merubah nilai murid-muridnya itu.
”Tapi, ini tidak semudah membalikan telapak tangan, Yah. Yori harus berhadapan dengan wali kelas dan pengelola nilai. Bahkan beberapa guru yang Yori mintai pendapat akan masalah ini juga menyarankan Yori untuk tutup mulut saja. Yori akan dianggap membuka aib sekolah, Yah.” guru muda itu mengebu-gebu.
Seharian Yori berkelana. Mencari pendapat, saran, usul atau apaupun namanya dari orang-orang sekelilingnya, dari orang-orang yang teguh memegang prinsipnya.
”Seandainya aku menjadi murid-muridmu, aku ingin engkau memperjuangkan nilai-nilai kami” ucap Fitri, sohibnya. Bahkan dalam sujud malamnya Yori juga berusaha menemukan jawabannya. Sampai pada akhirnya dia telah berazzam, dia harus memeperjuangkan nilai murid-muridnya.
***
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu...
”Maaf, Bu Yori, nilai rapor murid-murid di kelas 8G itu tidak bisa dirubah lagi. Jadi, lebih baik ibu tidak usah lagi membincangkan masalah ini. Lagi pula, nilai-nilai yang kurang kan bisa ibu tabung buat semester depan?” jawab sang pengelola nilai enteng.
Ubun-ubun guru muda itu mendidih. idealismenya berontak. Andai tak berjilbab dia pasti sudah melabrak guru senior di hadapannya ini. Dia bisa sabar ketika tidak memiliki tempat duduk sendiri di ruang guru. Dia juga bisa maklum ketika tidak dilibatkan dalam pembuatan soal ulangan umum. Tapi masalah ini... Kenapa? Gumamnya pelan. Apa karena dia hanya seorang honorer???
***
Pagi ini Yori sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Di depan sekolah nampak beberapa orang tua murid berkerumun.
”Assalamu’alaikum bapak-bapak dan ibu-ibu.” Yori menyapa mereka hangat.
”Wa’alaikumsalam, Miss Yori” mereka menjawab tak kalah hangat. Yori tersenyum dalam hati. Ternyata mereka juga menyebutnya Miss Yori. Beberapa saat kemudian kerumunan itu semakin besar. Para guru yang baru datang tampak kebingungan. Perwakilan dari mereka menghadap kepala sekolah dan meminta pihak sekolah segera merubah nilai rapor anak-anak mereka. Alot namun pasti. Akhirnya kepala sekolah berjanji akan mengusahakan perubahan rapor itu secepatnya. Guru muda itu tersenyum.
***
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...
”Maaf Bu Yori, berdasarkan permintaan dan kesepakatan para guru di sekolah ini, saya meminta Anda mengundurkan diri. Anda dianggap telah mencoreng nama baik sekolah dan guru di sini” kata kepala sekolah keesokan harinya. Guru muda berjilbab dan berkaca mata itu menyeka matanya.
”Baik, Pak, saya akan segera mengundurkan diri. Terima kasih karena sekolah ini pernah menerima saya” Yori berkata dengan terbata-bata. Ia mencoba tegar walau air matanya tetap keluar. Ia hanya ingin menjadi seorang guru. Ia hanya ingin berlaku jujur. Ia hanya ingin memberikan sesuatu yang memang menjadi hak murid-muridnya. Dan yang terpenting, ia tidak ingin mendustai hati nuraninya. Begitu keluar ruangan kepala sekolah, puluhan mata sinis seolah menghakiminya.
”Makanya ga usah neko-neko jadi orang. Baru jadi honorer saja sudah berani bertindak seperti itu” kata ibu setengah baya yang beberapa hari lalu berdebat dengannya. Ia hanya menunduk, memandang kedua ujung jilbab biru malamnya.
***
Engkau patriot pahlawan bangsa
tanpa tanda jasa...
Yori segera mencengkram HP biru mudanya begitu mendengar bunyi sms masuk. Dari Eni.
’Perjuanganmu membuahkan hasil, Yo. Hari ini murid-muridmu telah menerima rapor dengan nilai baru. Oya, sudah membaca koran pagi ini? Selamat! Kamu lulus tes PNS. Selamat menjadi Miss Yori lagi...:)’
Yori bergegas menuju teras rumahnya, merebut koran di tangan Kak Niki, dan...benar..ada namanya diantara sekian banyak nama-nama yang lulus tes seleksi PNS.
”Subhanallah...balasanMu begitu besar ya, Allah...” Yori tersenyum. Ia juga membayangkan senyum murid-muridnya.***
23 Januari 2009
untuk para bintang semasa honorerku: selvia, denis, agustina, arif, agil, muzahid, ilham, dkk, serta teman-teman seperjuangan: selamat menjadi ’guru’!
Sumber:
Tabloid Serambi Ummah, 2009
https://www.facebook.com/notes/nailiya-noor-azizah/senandung-hati-sang-honorer/10150567995058033
0 komentar: