Cerpen Khairi Muhdarani: Wanita Itu dan Seekor Burung Gereja
“APAKAH kalian percaya reinkarnasi?”Di era modernisasi seperti ini, mungkin kalian tidak percaya dengan yang namanya reinkarnasi. Karena sangat jauh dari logika yang sehat, jika orang yang sudah mati dan sudah meninggalkan dunia ini, bisa terlahir lagi dengan jasad yang berbeda, bisa terlahir dengan ras yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, bahkan makhluk yang berbeda. Tetapi itu benar-benar terjadi. Iya, benaran terjadi. Itu terjadi pada diriku. Tuhan mengabulkan permintaanku, maka terlahirlah aku kembali. Terlahir menjadi seekor burung gereja. Mungkin, karena hidupku sebagai seorang lelaki terlalu singkat di dunia ini, karena penyakit kangker otak yang menyerangku di usia empat puluh satu tahun, maka Tuhan mengabulkan permintaanku untuk rengkarnasi. Reinkarnsi seperti yang kuinginkan, menjadi seekor burung gereja.
Aku memang memintanya. Meminta untuk reinkarnasi. Reinkarnasi menjadi burung gereja.
Bukan sayap yang mengepak. Bukan kebebasan yang tak terbatas. Bukan juga keindahan dan kecantikan bentuk yang membuatku berharap menjadi seperti sekarang, menjadi seekor burung gereja. Tetapi karena wanita ini. Wanita dengan pakaian compang-camping, tubuh yang bau, rambut yang kusut, gigi yang sudah menghitam, buah dada yang sudah tak lagi montok, bibir yang biru. Dia memang terlihat menjijikan. Membuat setiap orang yang melihatnya lebih memilih untuk memalingkan muka. Bahkan ketika dia melepaskan seluruh pakaiannya, itu bukan pertunjukan tari erotis yang mengundang mata-mata keranjang. Dia tidak ubahnya seperti sampah, sampah masyarakat. Apa yang salah ketika masyarakat menyebutnya sampah? Karena dia memang tidur di pinggir jalan. Iya, tak ubahnya sebuah sampah. Tetapi tidak bagiku, bagiku yang dari dulu selalu memperhatikannya. Memperhatikan binar matanya. Ada sesuatu di dalam matanya. Sesuatu yang tak tersentuh hanya dengan sekedar pandang.
***
SEJAK aku masih masih berwujud seorang manusia. Dia tak jauh dari tempat ini. Iya, di pertigaan jalan yang menghubungkan Jalan Mistar Cokrokusumo dan Jalan Trikora inilah, di sebuah post yang hampir runtuh, dia selalu duduk tertegun. Memandang ke langit yang jauh. Menengadah, menatap, melesat ke awan, ke langit ke tujuh, ke arah antah berantah, ke tempat yang hanya dengan hati bisa terjamah. Kadang dia bisa melepaskan pakaiannya, membiarkan buah dada berjuntai, selangkangan terpampang, dan muka yang kusut kemudian senyum mengembang. Tak ada rasa malu baginya, lagian untuk apa malu. Akan terlihat aneh ketika orang gila mempunyai rasa malu. Iya, gila. Dia memang gila, begitulah biasanya masyarakat mencapnya. Walaupun tidak ada pelantikan untuk jabatan sebagai orang gila, tetapi ketika anak-anak pulang sekolah melemparinya dengan kaleng-kaleng sisa minuman, kemudian koor keluar dari mulut mereka, ”Orang gila....! Orang gila...! Orang gila...!” cukuplah sudah pendeklarasian dirinya sebagai orang gila.
Sementara aku melihat lain dari dirinya. Dia kadang berdiri di pinggir jalan. Matanya liar, beberapa saat dia duduk, kemudian berdiri lagi, perilakunya tak ubah seperti orang yang menunggu, dan semenjak beberapa kali memperhatikannya seperti itu, maka akupun berspekulasi bahwa dia sedang menunggu seseorang.
Di seberang pertigaan itu. Di sebuah warung penjual es kelapa, aku sering duduk memperhatikannya. Kadang aku membeli sebuah es kelapa dan beberapa gorengan untuk diserahkan kepadanya. Dan dia hanya akan meminum dan memakan pemberianku itu, ketika aku sudah menjauh darinya. Karena apabila aku masih di sana, jangankan menyentuh makanan itu, melihatnya pun dia tak mau. Tetapi ketika aku menjauh, dia perlahan menyentuh pemberianku sambil melirik kiri dan kanan atau melihat punggungku dari kejauhan.
Aku berharap bisa bicara dengannya, bertanya tentang keadaannya, bertanya perasaannya, kemudian bertanya siapakah orang yang membuatnya menunggu seperti ini. Tetapi itu seseuatu yang sangat tidak mungkin. Dia tidak mau bicara. Bahkan gerutunya pun tidak jelas. Maka aku hanya bisa memperhatikannya seperti itu, melihatnya dari jauh, dan memastikan keadaan yang masih utuh, walaupun dari raut mukanya terlihat hati yang rapuh.
Suatu hari aku melihatnya jongkok di pinggir jalan. Masih menunggu. Sesekali debu dari truk yang melintas di pertigaan jalan ─ memasuki jalan Trikora ─ menciptakan debu yang membuat tubuhnya terlihat samar dibungkus debu. Dia terlihat menggerutu. Memilah krikil-krikil kecil sambil menunggu, krikil yang mungkin tak setajam krikil kehidupannya. Dan yang membuatku tercengang adalah, ketika beberapa ekor burung gereja yang berterbangan di sekitarnya, meloncat-loncat lincah, sesekali hinggap di kepalanya, kemudian terbang lagi ke tanah. Sesekali burung-burung gereja itu terlihat membatunya mengumpulkan krikil-krikil, mematok krikil dengan paruhnya yang kecil, kemudian dia mengambilnya. Sungguh dia seperti bersahabat dengan burung-burung itu. Iya, aku sangat jelas melihatnya. Dia seperti bercakap-cakap dengan burung gereja itu. Tidak ada intonasi. Hurup yang keluar dari mulutnya pun tak bisa dibedakan, mana vokal dan mana konsonan. Tetapi dengan suara menggerutu, dia terlihat melakukan pembicaraan yang sangat intim dengan burung-burung gereja itu. Seakan mereka menjadi sahabat, dan seakan-seakan burung-burung yang berjenis binatang itu, lebih menegrti dia, daripada manusia yang katanya mempunyai akal, tetapi aku kan pernah mencoba untuk berbicara denganya, mungkin dia tidak percaya lagi dengan manusia. Di matanya manusia tak sebaik burung-burung gereja ini. Mungkin. Maka sejak saat itu, dimana ponis dokter sudah mendahului Tuhan, aku meminta untuk dilahirkan kembali menjadi seekor burung gereja.
***
AKU melompat-lompat di sekitarnya, naik ke kepalanya, ke pudaknya, atau duduk di sampingnya. Ikut memandang ke arah antah berantah, menemaninya. Aku sangat bahagia, terlahir seperti ini, terlahir sebagai burung gereja. Bersahabat dengannya. Aku melihat matanya dengan sedekat ini. Dan tentu saja yang kunanti-nantikan, berbicara dengannya. Mendengar keluh kesah atau umpatannya. Itulah. Iya, hanya itu yang kuinginkan. Dan benar seperti dugaanku sebelumnya, dia memang bisa berbicara dengan seekor burung gereja.
”Apa yang kau lakukan?” tanyaku. Dia hanya menoleh, melihatku. Kemudian memandang lagi ke langit. Sesekali dia memilih krikil-krikil yang ada di samping pertigaan Jalan Trikora dan Mistar Cokrokusumo itu.
”Kau tak mendengar dari teman-temanmu yang sudah lama menemaniku di sini?” katanya. Menggerutu. Masih dengan lafal-lafal kalimat yang keluar dari mulutnya. Yang dulu tak ku mengerti. Lafal yang keluar tanpa bisa dibedakan antara vokal dan konsonan. Tetapi, entahlah, kenapa aku sangat mengerti jelas kata-katanya. Seperti biasa. Seperti berbicara biasa. Memang benar dugaanku, binatang, burung-burung geraja seperti aku ini, lebih mengerti bahasanya, lebih bisa mendengarkannya. Bahkan dari geraknya pun sudah bisa terlihat. Bahasa tubuhnya pun bisa menjelaskan semua pikiranya. Sungguh luar biasa.
”Ya, aku tak pernah mendengarnya,” jawabku.
”Mereka tidak cerita?” tanyanya.
”Aku baru saja ada di sini,” jawabku. Karena tak mungkin aku bercerita bahwa aku baru terlahir sebagai burung gereja. Dan aku adalah seorang manusia yang berengkarnasi menjadi seekor burung gereja.
”Menunggu!” jawabnya sendu.
”Menunggu?” ulangku.
”Iya, menunggu.”
”Menunggu siapa?”
”Kamu ada waktu?”
”Waktu apa?”
”Ada waktu mendengarkannya?”
”Tentu saja!”
”Ceritanya panjang,”
”Aku siap mendengarnya dari awal.”
”Baiklah, lihat mataku!”
”Maksudnya?”
”Bibirku tak cukup menceritakannya. Mataku akan menceritakannya. Lihat mataku dan menyelamlah ke dalamnya, maka kau akan melihat yang terjadi,” begitu jelasnya. Dan akupun menatap matanya, menyelam ke dalam tiap relung mata itu. Terpampanglah semuanya satu persatu.
***
NAMANYA Juar. Seoarang lelaki berkumis, tinggi dan kekar. Lima belas tahun yang lalu. Di tepi Jalan Trikora aku berdiri, menunggunya. Saat itu usiaku sembilan belas tahun. Setiap akhir pekan aku selalu berdiri di tepi Jalan Trikora dengan dada berdebar. Menanti kedatangannya. Beberapa kali mobil menepi dan mencoba mengajakku. Tetapi aku menjawab dengan lembut dan sopan, ”Sudah ada janji, kalau mau, jangan akhir pekan seperti ini,” begitu penjelasanku kepada mereka yang silih berganti menghampiriku.
Satu jam aku berdiri di tepi Jalan Trikora, mobil katana merah hati yang sedikit menua itu sudah tiba. Dan dialah Mas Juar. Dia terlalu spesial bagiku. Matanya yang teduh, senyumnya yang renyuh, dan selalu terlihat tangguh. Dia terlihat berbeda dibanding lelaki-lelaki yang selama ini tidur denganku. Entahlah, aku melihatnya begitu. Sebenarnya aku tak terlalu yakin dengannya. Tetapi aku sangat yakin perasaanku dengannya. Perasaan jantung berdetak kencang, perasaan teduh melihat matanya, bulu kuduk yang merinding ketika berciuman dengannya, dan hangatnya pelukannya.
Aku juga ingat ketika di pagi yang indah, saat itu tubuhku hanya terbungkus sepray yang tiap hari diganti pelayan hotel. Dia mengepulkan asap rokok yang membuatku sedikit terbatuk. Aneh memang, walaupun aku bekerja seperti ini, tetapi aku tak pernah merokok. Pagi itu teramat indah bagiku, rinai hujan di pagi itu terlihat sempurna. Bercinta dengannya pun terasa sempurna. Memang, Banjarbaru di bulan Oktober ini sudah memasuki musim penghujan. Dan semua terasa indah bila bersamanya. Aku merasa dia bukan hanya membayarku untuk tidur dengannya. Aku melihat dia kesepian. Dan dia merasa tenang bersamaku. Itupun sering terbukti dari beberapa ucapannya.
Di balik jendela kamar hotel, dia memandang ke arah rinai hujan yang bagai busur panah menghujam, tepat ke perut bumi. Kami bercakap-cakap ringan, setelah beberapa menit berciuman.
”Benarkah yang Mas katakan kemaren?” tanyaku manja, setelah melepas ciumannya.
”Iya, aku akan menceraikannya dan menikahimu, Merly!” jawabnya.
”Mas mau menikah denganku,” tanyaku.
”Kenapa tidak? siapa yang tidak mau menikah dengan gadis cantik sepertimu, aku ingin memilikimu seutuhnya,” jelasnya.
”Walaupun aku wanita penghibur?”
”Apakah kau masih dianggap wanita penghibur, setelah resmi menjadi Nyonya Juar?”
Aku sangat bahagia dengan perkataanya itu. Menjadi istri Mas Juar, menjadi seorang ibu dari anak-anaknya, memiliki keluarga kecil. Huh, rasanya akan sangat bahagia seperti itu. Berlibur setiap akhir pekan, menunggu suami di rumah, kemudian berdiskusi di ruang makan, membicarakan buah hati yang sudah mulai bisa memanggil ”Ibu” atau ”Ayah,” dan bercinta dengan sistem kelenderisasi.
”Kapan Mas akan menikahiku?” tanyaku
”Secepatnya, setelah aku menceraikan isteriku,” jawabnya.
”Tapi kapan?”
”Akhir pekan mendatang, tunggu aku di pertigaan Jalan Trikora dan Mistar Cokrokusumo, aku akan menjemputmu,” jelasnya.
”Kenapa tidak di Jalan Trikora sini saja?” tanyaku
”Karena saat menjemputmu akhir pekan yang akan datang, kau akan resmi menjadi isteriku, Merly,” jelasnya lembut, sambil memandangku, kemudian dia menciumku hangat.
***
WAJAHKU memancarkan panorama kebahagian. Aku memang terlihat berbeda, pakaianku sedikit tertutup. Berdiri di pertigaan Jalan Trikora dan Mistar Cokrokusumo ini, dengan sesekali senyum mengembang. Aku masih ingat perkataan Lastri dikontrakan tadi malam. Perkataan yang tak ubahnya sebagai penyemangat. Bukan hanya Lastri, teman-temanku sesama wanita penghibur juga mengucapkan selamat. Karena, mungkin, akulah yang pertama mewujudkan mimpi. Mimpi yang sama-sama kami miliki sebagai wanita penghibur. Mimpi menjadi wanita normal, mimpi menimang anak, mimpi menjadi istri yang berbakti dengan suami, mimpi meninggalkan dunia yang gelap, menuju pelukan pangeran pembawa cahaya terang.
Dua jam sudah aku menunggu. Mentari hampir naik seubun. Debu kendaraan pengangkut hasil tambang sedikit memerahkan mata. Maka tak heran mataku terasa perih, kemudian berair. Apakah karena debu itu mataku berair? Rasanya aku sudah terbiasa dengan debu jalanan, terus kenapa mataku sekarang berair? Ah, mungkin karena aku sekarang akan menjadi Nyonya Juar, sehingga aku tak terbiasa lagi dengan debu jalanan, tak akrab lagi dengan lelaki-lelaki hidung belang, tak perlu lagi bercinta tanpa hati. Tetapi Mas Juar belum juga datang. Dia pasti kejebak macet. Macet? Tidak, Banjarbaru bukan kota langganan macet. Paling dia kebocoran ban, atau ngantri bensin di POM. Selama ini kah? Iya, bisa saja. Karena dia pasti datang. Dia kan sudah janji.
Matahari yang menyenja, menepi di ujung bumi tak terlalu kentara. Senja seakan tak bermakna sore itu. Gedebar burung berarakan ke sarang tak terlalu ramai di pandang. Cakrawala safak merah seakan membuat gerah. Air kali seakan berdarah. Kenapa gelagat Mas Juar untuk datang tidak terlihat. Apakah aku salah dengar? Tapi dia bilang akhir pekan kemaren akan menemuiku di sini. Dan seperti biasanya, dia datang hari Sabtu, kemudian bersamaku sampai hari Minggu. Ah, dia kan tidak menentukan jam. Mungkin dia datang di malam hari, pikirku. Tapi biasanya dia datang di siang hari, paling lambat di sore hari. Mungkin, mungkin dia mengerjaiku, memberi kejutan dan datang di malam hari secara diam-diam. Ah, Mas Juar pasti menjailiku. Mengerjaiku. Baiklah Mas Juar, akan kutunggu sampai malam. Akan kubuktikan bahwa aku setia menunggunya.
Namun dia tak kunjung datang. Sampai mentari pagi minggu menjulang. Akan memastikanku sebagai wanita jalang. Yang selalu dipandang murah dan terkelebelakang. Tapi akhir pekan bukan hanya sabtu. Bisa saja Minggu. Iya, bisa saja hari ini dia datang. Tetapi kembali, dia tak kunjung datang. Hari berganti minggu, minggu menjelma menjadi bulan, bulan bergumal menjadi tahun, Mas Juar tak jua datang.
Sampai suatu hari kulihat mobil Mas Juar. Iya aku sangat mengenali mobil itu. Katana merah hati yang sudah menua. Tetapi mobil itu hanya melintasi jalan. Aku berteriak-teriak memanggilnya. Tetapi mobil itu tetap melaju melintas Jalan Mistar Cokrokusumo. Sampai seekor burung gereja berwarna keemasan menghapiriku dan berkata, bahwa dia mengejar mobil itu dan mendengar percakapan di dalam mobil itu. seorang suami-istri dan satu orang anak yang ada di mobil katana merah tua itu sempat menoleh.
”Itu siapa Pak? Sepertinya dia memanggil-manggil kita,” kata anak kecil itu.
”Iya, siapa Pak,” sambung istrinya.
”Ah, itu hanya orang gila,” kata suaminya.
Maka, seperti yang dia ucapkan. Aku memang gila. Aku wanita gila. Menjadi orang gila, mungkin lebih berharga daripada menjadi wanita penghibur.
***
AKU melihat semua itu dari matanya. Iya, benar. Matanya menceritakan semuanya. Begitu tragis penantiannya.
”Terima kasih,” katanya.
”Terima kasih untuk apa? Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritamu?” tanyaku.
”Terima kasih sering memberiku es kelapa dan gorengan, juga terima kasih sudah mau bereinkarnasi menjadi seekor burung gereja,” katanya sendu.
Aku terperangah, menghela nafas.
Astambul, 07 November 2011.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 11 Maret 2012.
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/wanita-itu-dan-seekor-burung-gereja/10150852415198242
0 komentar: