Cerpen Khairi Muhdarani: Isteriku Zahra

19.56 Zian 0 Comments

Kami mendesah setelah pergumalan cinta yang maha dahsyat. Keringat kami bercampur menjadi aroma khas. Dia terkulai di sampingku dan tersenyum puas. Bukan karena puas dengan apa yang sudah kami lakukan. Tapi puas karena melayaniku dengan tulus dan khidmat. Bahkan ketika aku lupa bertanya apakah dia sudah orgasme ketika bercinta denganku, dia hanya diam dan tersenyum manja kepadaku. Ah, ternyata cintanya kepadaku melebihi cintaku kepadanya.
Ini tahun ke lima usia pernikahan kami. Dan Nazwa yang berusia empat tahun adalah buah cinta, buah kasih sayang, dan buah pergumalan nafsu kami yang halal dalam ikatan cinta yang sakral. Ikatan pernikahan yang kami tempuh dengan harapan menyempurnakan iman. Aku mencintainya dan menerimanya dengan ikhlas. Aku tau dialah jodoh untukku. Buktinya, di usia pernikahan yang sudah mencapai lima tahun ini, kami masih merasa seperti pengantin baru. Aku sangat menikmati rumah tangga ini, begitu juga dengannya. Semua kami jalani dengan penuh kasih sayang dan mengaharapkan ridah-Nya. Namanya Zahra. Dialah isteri kebangganku.

Semuanya terasa sempurna bagiku. Kehidupan keluarga ini kujalani dengan penuh kebahagiaan. Pergi mencari nafkah di siang hari. Pulang bercengkarama dengan anak dan isteri di sore hari. Bercinta dengan sistem kelenderisasi di malam hari. Ah, sungguh tak salah aku memilihnya. Tak salah aku memilih Zahra sebagai isteriku. Sungguh betapa menyesalnya aku seandainya memutuskan khitbah lima tahun yang lalu.

***

“Dokter Ismul”. Begitu biasanya pasien-pasien yang kuobati memanggilku. Entahlah, kenapa pasien-pasien suka memanggilku seperti itu. Padahal sejak kecil sampai lulus di Fakultas kedokteran, orang biasanya memanggilku ”Fendi”. Mungkin dengan dipanggil dokter Fendi akan membuatku terlihat lebih keren. Tetapi biarlah mereka memanggilku ”dokter Ismul”. Karena namaku ”Ismul Efendi Atasi”.
Dua tahun sudah aku menjadi dokter di Puskesmas ini. Banyak wanita-wanita cantik sering mendekat dan menggodaku. Kata orang, wanita mana yang tidak berharap untuk menjadi pendamping hidupku. Seorang dokter yang gagah dan tampan. Dan sudah suatu hal yang wajar ketika wanita-wanita cantik sering mencuri pandang kepadaku. Misalnya saja Mirna seorang bidan desa yang selalu mengirim sms sayang kepadaku. Atau Dewi seorang Pranata laboratorium di Puskesmas yang menggigit bibirnya ketika melihat tubuhku yang gagah dan kekar. Bahkan bisa saja seperti Yanti seorang polisi wanita yang sering berkunjung ke rumah mencari perhatian dengan Ibuku.
”Ismul..! coba duduk dulu di sini temani Ibu”.
“Iya Ibu, tunggu sebentar...!”. Aku menutup buku di tanganku. Kemudian duduk di samping Ibuku.
“Kapan lagi Mul?”. Ibu mulai menyudutkanku lagi.
”Iya Bu,,,! Insya Allah tahun ini juga Bu...!”. Jawabku sekenanya dengan tuntutan Ibu yang mengharapkan aku menikah secepatnya.
Semenjak lulus SMA aku tidak pernah lagi pacaran. Bukan karena tak ada wanita yang mau denganku. Bukan juga karena aku merasa bosan dengan wanita-wanita cantik yang terus berusaha mengejar dan mendapatkan cintaku. Tapi lebih tepatnya aku jatuh cinta kepada Sang Pencipta Cinta itu sendiri. Bukankan Dia Maha Pencemburu. Apa jadinya kalau aku mencintai seseorang melibihi cintaku kepada-Nya. Bukankan Dia melarangku untuk berpacaran. Bukankah dalam agamaku tidak ada istilah pacaran. Bukankah ta’aruf yang dalam agamaku dibolehkan, juga ada batas dan ketentuan. Bukankah tinta emas dalam kitab suci agamaku sudah menjelaskannya secara nyata. Bukankah aku manusia yang beragama. Bukankah agama itu aturan. Bukankan Dia lah yang menciptakan manusia. Dia lebih tahu tentang batas dan kemampuan manusia. Maka segala peraturan yang dibuat-Nya sudah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan manusia. Ketika manusia keluar dari peraturan itu, bukan peraturan-Nya yang harus disalahkan. Bukan peraturan-Nya yang harus ditinjau dan direvisi kembali. Tetapi manusia lah yang harus dikembalikan kepada peraturan itu. Dan saat ini aku kembali kepada peraturan-Nya.
Mungkin memang benar yang dikatakan Ibuku. Sudah saatnya aku menikah untuk menyempurnakan iman. Saatnya aku membina keluarga. Saatnya aku menjadi imam dalam keluarga yang akan kubentuk dengan iman dan takwa. Dan saatnya aku menceritakan keinginanku ini dengan Ustazd Mahlan.
”Oh, Subhanallah. Allah pasti memberi kemudahan kepada setiap orang yang ingin melakukan kebaikan. Apalagi kalau Antum ingin menyempurnakan iman. Allah pasti akan memberi kemudahan. Insya Allah. Lagi pula menurut Ana memang sudah saatnya Antum menikah. Antum sudah termasuk kriteria orang yang dianjurkan Rasul Allah untuk segera menikah”. Begitulah ucapan Ustazd Mahlan ketika selesai mendengar penjelasan tentang keinginanku untuk segera menikah.
”Tapi saya kesulitan mencari calon isteri yang sesuai dengan kriteria yang saya inginkan Tazd”. Keluhku.
”Memang Antum maunya yang seperti apa?”. Tanya Ustazd Mahlan.
”Yang sesuai sunah Nabi”. Jawabku pasimis.
”Sulit untuk mencari wanita yang dari keturunan baik, kaya, cantik, dan berakhlak mulia. Mungkin wanita sekarang hanya memiliki salah satu di antara kriteria itu”. Jawab Ustazd Mahlan datar.
”Bukankah menurut sunah Nabi yang diutamakan itu akhlaknya, agamanya Tazd? Yang penting sholehah. Kalau sudah sholehah saya Insya Allah mau Tazd”. Jawabku yakin.
”Jadi Antum minta bantuan Ana untuk mencari calon istri buat Antum?”. Ustazd Mahlan menggodaku.
”Kalau Ustazd mau membantu”. Jawabku, malu.
”Insya Allah Ana akan bantu Antum. Minggu depan Antum ke sini lagi. Insya Allah minggu depan Antum sudah bertemu dengan seorang wanita pilihan Ana. Dia murid Ana di pesantren. Insya Allah dia wanita yang sholehah. Antum boleh melihatnya minggu depan”. Ustazd Mahlan menjelaskan dengan pasti, sambil tersenyum.
Syukran Tazd”. Ku ucapkan terima kasih dengan senyum riang.
Afwan”. Jawab Ustazd Mahlan, senyum.

***

Malam mulai menepi di penghujungnya. Ribuan nafas insani terlelap dalam malam. Aku terjaga dalam malam yang dingin. Zahra terlihat khusu’ di atas sajadah persegi panjang. Butiran dari kelopak matanya itu terlihat bening dan perlahan menetes satu-satu. Ah, Zahra terkasih. Wanita ini pemegang teguh cinta Sang Pencipta cinta. Dia berani menentang jaman. Di sudut-sudut kehidupan dia terpojokkan dalam perkucilan. Dialah wanita bergamis panjang. Dialah Zahra isteriku tersayang. Dialah Zahra bercadar pelangi. Tertatih berjalan di atas aspal jaman yang tak lagi mulus. Kerikil-kerikil tajam sering merobek-robek tiap langkahnya yang tertatih. Langkah sang pemuja cinta-Nya.
”Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Jagalah aku dan keluargaku. Jadikanlah suamiku sebagai imam dunia-akhirat untuk keluarga kecil ini. Jagalah anak kami dari jalan yang tak kau ridhai…..”. Suara itu terseka oleh isakan yang membuat mulutnya kelu. Kemudian do’a itu berlanjut di dalam. Sangat dalam. Jauh ke dasar hati. Tempat persemedian cinta yang hakiki. Dan aku hanya mengucap amin dari balik selimut kecoklatan. Sedikit dihiasi dengan dengkur  Nazwa yang tak terlalu kentara.
“Bi…! Abi…! Bangun Bi…! Bentar lagi subuh”. Aku yang dari tadi sudah terjaga langsung beranjak dari tempat tidur. Dan tak lupa kudaratkan ciuman sayang tepat di keningnya. Dia pun tersenyum kemudian membangunkan Nazwa untuk ikut Shalat Subuh berjamaah.

***

Jantungku berdetak tak karuan. Perlahan kuketuk pintu rumah Ustazd Mahlan. Dan aku masuk dengan mengucap salam.
”Assalamu’alaikum”. ”Wa’alaikum salam”. Jawaban serempak seakan menggambarkan kebahagian penantian. Sepertinya mereka sudah lumayan lama menungguku dan akupun langsung duduk mengambil posisi.
Sungguh ini sesuatu yang membuatku sangat gugup. Hari ini aku bertemu calon isteriku, calon pendaping hidupku, calon Ummi dari anak-anakku. Ini lebih membuatku gugup jika dibandingkan dengan sidang skripsi.
”Nah dokter Ismul, akhwat inilah yang Ana maksud kemaren. Insya Allah dia ini seorang yang sholehah”. Jelas Ustazd Mahlan memperkenalkan. Dan aku menatap ke arah wanita bergamis itu. Mukanya masih memakai cadar hitam. Dia menunduk tak berani bersitatap denganku.
”Buka cadarmu!”. Perintah Ustazd Mahlan kepada wanita itu. Dan dia perlahan membuka cadarnya. Aku menunduk.
“Dokter Ismul, silahkan lihat wajah calon isterimu!”. Kata Ustazd Mahlan yang memperhatikan aku menunduk. Dan akupun mengarahkan pandanganku kepada wanita yang melepas cadarnya itu. Aku menghela nafas melihat wajah calon isteriku. Kulit wajahnya hitam, tak seputih kulit wajahku yang bersih merona. Ada bercak-bercak bekas jerawat di wajahnya, tak seperti wajahku yang mulus dan lembut. Susunan giginya sedikit tonggos, tak seperti gigiku yang rapi tersusun. Alisnya pun sangat tipis, tak seperti alisku yang tebal dan meliuk bak ukiran bibir pantai. Bahkan bibirnya biru kehitaman, berbanding terbalik dengan bibirku yang merah delima.
”Bagaimana dok?”. Ustazd Mahlan bertanya setelah menangkap aku yang sudah melihat wajah calon isteriku. Aku hanya diam. Dia bisa dikatakan tidak terlalu cantik. Lebih tepatnya sangat tidak menarik. Kalau tidak terlalu kasar, aku ingin menyebutnya jelek.
”Bagaimana dok?”. Pertanyaan Ustazd Mahlan yang kedua kalinya. Aku menelan ludah. Kulihat dia seperti pasimis. Aku terperangkap fisik sesaat. Kemudian aku sadar dengan ucapanku kepada Ustazd Mahlan minggu kemaren. Aku teringat tentang akhlak dan agamanya yang harus dijadikan penilaian utama. Ustazd Mahlan adalah guru spiritual yang paling kupercaya saat ini. Tidak mungkin dia memilihkan yang salah. Dan sepertinya Allah menakdirkanku berjodoh dengan wanita ini.
”Bagaimana dok?”. Pertanyaan Ustazd Mahlan yang ke tiga kujawab dengan anggukan, kemudian berucap ”Insya Allah saya setuju Tazd”. Aku lihat kerlingan matanya berbinar cahaya-cahaya kebahagiaan. Kerlingan itu berubah menjadi kemerlapan cairan air mata yang kemudian membentuk parit-parit kecil di wajahnya yang tak semulus wajahku.
”Baiklah, berarti kamu siap menikah dengan Zahra. Insya Allah Zahra wanita yang sholehah. Dia akan menjadi ibu yang baik buat anak-anakmu. Minggu depan kita laksanakan akad nikah”. Kata Ustazd Mahlan, mantap. Dan aku mengangguk.

***

Sungguh menyesalnya aku seandainya memutuskan khitbah lima tahun yang lalu. Seandainya aku melihat Zahra dari fisiknya, mungkin aku tak akan sebahagia ini. Aku sangat bangga mendapatkan isteri seperti Zahra. Isteri yang selalu mencintaiku karena Allah. Isteri yang selalu menyelam dalam cinta Sang Pencipta Cinta. Isteri yang menjadi harapan semua ikhwan di dunia ini. Kupersembahkan sebuah puisi untuk Zahra. Untuk isteriku tercinta.

Ah, sungguh elok nian bidadari-bidadari dengan cahaya kehijauan
Lembut, sayu dan bersahaja
Bagai rinai hujan yang menetes pasti dari cakrawala kehijauan
Ranum dan bening. Sebening air mata di sepertiga malam
Kau gedor singgasana-Nya disaat semua orang terlelap dalam malam
Karena kau tau dia tak pernah tidur.
Ah, lemah, lemah kemudian jatuh berberai hati ini melihatnya.
Terasa kerdil menatap kau di balik cadar hijau keperakan
Malu, malu kemudian lemah berburai air mata di hadapan-Nya
Ketika tak mampu memberi rasa yang paling sempuna kepadanya
Kepada Zahra isteriku tersayang.


Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 02 Oktober 2011
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/isteriku-zahra/10150471734118242

0 komentar: