Cerpen Khairi Muhdarani: Kuyang

19.47 Zian 0 Comments

Tepat tengah malam, kuyang-kuyang itu akan beterbangan serupa api yang menyala, melintas pucuk pepohonan, berjalan bak meteor yang melambat, namun melucur pasti. Dari kejauhan memang kuyang adalah pemandangan yang mungkin elok bagi orang yang tak mengetahuinya. Namun, bulu kuduk mana yang tidak merinding jika sosok cahaya yang berkelipan bak meteor itu adalah sebuah kepala manusia dengan isi perut berupa usus, hati, bahkan jantung yang masih berdetak terpampang nyata, berburai dan menggantung di sebuah kepala yang mengerikan, sebuah kepala tanpa tubuh yang darahnya bececeran menetes dari leher yang terputus. Bukan, bukan leher yang terputus, namun leher yang sengaja diputus atau jasad yang sengaja memutus kepala darinya pada pekat sebuah malam yang ditentukan.
Kuyang adalah salah satu ilmu pesugihan yang sudah dikenal masyarakat di Kalimantan, begitu pun di Desa Guntung ini. Dengan ilmu pesugihan berupa kuyang, konon orang yang mengaji pesugihan itu bisa melepas kepalanya dari tubuhnya, kemudian berkeliaran menyambangi rumah-rumah para saudagar untuk mengambil sebagian harta mereka. Kuyang hanya melakukan aksinya di malam yang pekat serupa setan yang gentayangan. Jauh sebelum dini hari merangkak menyambut pagi, kuyang harus segera pulang membawa hasil pekerjaannya menyambangi rumah-rumah para saudagar. Konon kuyang akan lumpuh atau tak bisa kembali pulang, jika dia kesiangan. Bagi yang bermental pemberani, menemukan kuyang yang kesiangan dan tak bisa pulang adalah serupa rezeki nomplok, alamat akan mendapatkan upah dari sang kuyang jika berkenan mengantarkan sang kuyang pulang ke rumah.

Maka tersebutlah Desa Guntung yang konon segelintir penduduknya beprofesi sebagai kuyang. Dan benar saja, suatu malam akan bermunculan dan bertebangan kuyang-kuyang pencari harta jarahan yang membumbung terbang dari desa tersebut.
Bagi segelintir penduduk desa, menjadi kuyang adalah pekerjaan yang menjanjikan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan, harga bahan pokok yang makin menjulang, sementara global warming membuat penduduk berulang kali menelan gagal panen, yang akhir menyekik leher yang kian dihimpit beban kehidupan. Persekutuan dengan makhluk halus berupa kemusyrikan itu tak bisa dielakan, pun warga sudah mulai terbiasa dengan keberadaan kuyang, walaupun masih ada segelintir orang yang gelisah dan merasa terganggu dengan keberadaan kuyang, apalagi desanya yang mulai disebut-sebut sebagai sarang kuyang. Tak terkecuali dengan Kyai Muhdar, tokoh masyarakat yang paling dihormati dan paling dielu-elukan penduduk desa. Bagi Kyai Muhadar, hal ini sudah mencoreng namanya sebagai seorang kyai. Melalui pengajiannya yang rutin tiap senin malam ba’da isya, Kyai Muhdar selalu menyampaikan dan menentang keberadaan kuyang. Dengan para remaja dan pemuda yang dengan sukarela meng-khadam-kan diri kepada beliau, maka berbagai aksi dilakukan Kyai Muhdar untuk menyelamatkan umat.
Malam jum’at legi ini, Kyai Muhdar dan khadam-khadam-nya melakukan ritual membaca ayat-ayat rukiyat di utara kampung, setelah malam jum’at sebelumnya ayat-ayat rukiyat yang disunahkan itu dibaca di selatan kampung. Rencananya, empat malam jum’at, beliau akan membacakan ayat-ayat rukiyat di empat penjuru kampung, dibantu oleh khadam-khadam beliau yang sudah lama dididik ketauhidannya oleh beliau.
Pun penduduk yang mendukung Kyai Muhdar, berbondong-bondong ikut melakukan ritual baca ayat rukiyat itu. Namun, di sudut gelap kehidupan, di gulita yang tak tersentuh oleh cahaya iman, para pengaji kuyang merasa risih dan terganggu dengan ritual itu. Karena, semenjak Kyai Muhdar dan pendukungnya membaca ayat-ayat rukiyat di empat penjuru kampung, para pengaji kuyang mulai kehilangan kekuatan, entah kenapa mereka mulai kesulitan melepas leher mereka untuk terbang membumbung menyentuh brankas-brangkas para penumpuk harta. Sudah berkali-kali botol minyak kuyang dioleskan ke leher, namun tak jua kepala melepas dari badan, tak berbeda dengan nasib kuyang-kuyang yang lainnya, mereka juga merasa kehilangan kesaktiannya, ada yang tak bisa melepas kepalanya, ada pula yang bisa melepas kepala namun tak sanggup terbang, ada lagi yang bisa terbang namun saat membumbung tinggi berusaha menerobos genteng rumah saudagar tiba-tiba jatuh menggelinding. Tragis, saja nasib para kuyang.
Kegiatan rutin membaca ayat rukiyat itu akhinya menjadi rutinitas kegiatan yang dilaksanakan penduduk kampung, setelah para penduduk yang pro kyai dan kontra dengan kuyang merasa nyaman menyaksikan kampungnya yang tak lagi dihantui dengan kuyang-kuyang yang berterbangan. Mereka yang pro dengan kyai tak lain adalah para saudagar kampung yang selalu membiayai dan menyediakan fasilitas yang mumpuni untuk kegiatan pengajian rutin yang diadakan oleh Kyai Muhdar. Para saudagar yang sungguh dermawan, menysihkan hartanya untuk kegiatan keagamaan, menyisihkan hartanya untuk amal jariyat, menyisihkan hartanya untuk mendukung dan menyokong kegiatan rutin pengajian yang diisi oleh Kyai Muhdar.
Bertahun-tahun ritual rukiyat itu dilaksanakan, hingga tak ada lagi berita tentang kemunculan kuyang yang terbang gentayangan. Para saudagar merasa makmur dan sejahtera karena tidak perlu lagi dihantui rasa takut disambangi kuyang-kuyang yang menginginkan harta mereka. Harta yang mereka tumpuk dari segala macam cara, dari berdagang, berternak, hingga masalah hutang-piutang─yang tak kenal riba─ yang menguntungkan dan membuat harta mereka kian menumpuk. Jaminan keamanannya adalah dengan terus menyumbangkan sebagian hartanya kepada Kyai Muhdar dengan dalih mendukung kegiatan majlis ta’lim yang dilakukan oleh Kyai Muhdar.
Kian lama kian tenggelam saja keberadaan kuyang di masyarakat itu, yang meningkat adalah kaum peminta-peminta pada sebuah tempat keramat yang dulunya biasa saja, sekarang malah membeludak pengunjungnya. Sebuah makam Amang Jurdi, tokoh pembela masyarakat yang gugur karena membela masayarakat dari aksi gerombolan bersenjata puluhan tahun silam. Gerombolan bersenjata yang  melakukan pemberontakan dengan pemerintahan di negri borneo. Konon Amang Jurdi adalah seorang pendekar hebat yang kebal dengan senjata apa saja, termasuk senapan yang digunakan gerombolan. Namun kelicikan para gerombolan akhirnya mengantarkan nyawa Amang Juhdi di atas sepucuk senapan yang awalnya tak bisa menembus tubuh beliau, namun setelah istri dan anak beliau disandra oleh gerombolan bersenjata, beliau menyerahkan nyawa pada platuk yang ditarik oleh gerombolan kemudian nyawa melayang bersamaan bunyi senapan yang pelurunya pada mulut beliau bersarang, hampir menembus kepala bagian belakang. Kematian dan perjuangan yang luar biasa dari seorang Amang Jurdi membuatnya dianggap sebagai pahlawan oleh penduduk desa dan makan beliau dikeramatkan.
Dulu, sering saja masyarakat desa ke makam Amang Jurdi untuk jiarah atau membaca beberapa wiridan. Namun hanya sekedar itu, dan sekarang keadaan jauh berbeda. Hampir setiap hari banyak masyarakat yang berjiarah ke sana, meminta berbagai macam hal. Dan ajaibnya adalah banyak yang berkeluh kesah tentang ekonomi kehidupan mereka yang kian terhimpit saja, kemudian setelah pulang dari makam Amang Juhdi mereka malah mendapat serupa rezki nomplok, entah itu ada tawaran pekerjaan, tiba-tiba dapat arisan, tanah mereka mau dibeli dengan harga mahal untuk pembangunan ruko, atau bahkan mendapat galuh berkerat-kerat saat mandulang.
Kemasbukan masyarakat akan jiarah yang berlebihan itu membaut Kyai Muhdar kembali gerah. Karena, menurut Kyai Muhdar, ini sudah berlebihan. Kyai Muhdar adalah termasuk orang yang suka jiarah kubur, namun hanya makam ulama sholeh yang beliau yakini keilmuan dan kewaliannya untuk dijiarahi, pun beliau hanya tadabbur di sana. Tak pernah sekali pun beliau meminta dengan makam. Ketauhidan Kyai Muhdar memang diakui oleh penduduk kampung dan khadam-khadam beliau.
Tak tinggal diam dengan semua itu, Kyai Muhdar kembali melakukan aksi bersama khadam-khadam-nya, dengan melakukan penjagaan ketat pada makam Amang Juhdi. Setiap malam Jum’at legi dilakukan tadarusan dan pembacaan ayat-ayat rukiyat di makam tersebut untuk menghilangkan bau-bau mistis yang menjerumuskan kemusyrikan pada makam tersebut. Dan hebatnya Kyai Muhdar adalah tak ada aksi beliau yang gagal dalam memberantas kemusyrikan di kampungnya.
Berkat aksinya yang luar biasa dalam memberantas kemusyrikan, Kyai Muhdar selalu dielu-elukan masyarakat. Sepak terjang beliau terdengar dimana-mana. Dalam kurun waktu dua tahun saja, nama Kyai Muhdar sudah tersohor di seluruh negri. Hingga pada suatu ketika beliau dilamar oleh sebuah Partai Politik baru. Dan setelah beliau berpikir panjang, inilah saatnya beliau berjuang untuk bangsanya, politik adalah kendaraan yang tepat bagi beliau menegakkan kebenaran yang hak.
Dengan menggandeng Kyai Muhdar, partai politik itu mendapat angin segar untuk kemajuan partainya, dan alhasil pada pemilu partai yang baru itu sudah meraup 13% suara. Ini sungguh awal yang bagus untuk sebuah partai politik.
Satu tahun Kyai Muhdar menjadi pengurus partai, sebuah berita menghebohkan masyarakat. Hasil penyelidikan KPK menyebut Kyai Muhdah tersangkut dalam kasus suap izin usaha yang mengeruk perut bumi banua ini. Dan diluar dugaan, Kyai Muhda terbukti bersalah dalam kasus tersebut. Kyai Muhdar terbukti menerima suap 2,3 Milyar dari perusahaan. Dan beliau akhirnya dijatuhi hukuman atas perbuatan beliau.
Desa Guntung yang paling heboh dengan berita ditangkapnya Kyai Muhdar. Tak ada yang menyangka semua ini terjadi. Rupanya terlalu sulit membebaskan diri dari jebakan sistem pada sebuah panggung politik, bahkan untuk seorang Kyai Muhdar. Jauh di sudut malam tak tersentuh, adalah para pengaji kuyang bersorak kegirangan dan tepat tengah malam, kuyang-kuyang itu kembali beterbangan serupa api yang menyala, melintas pucuk pepohonan, berjalan bak meteor yang melambat, namun melucur pasti. Pada tempat yang sama, makam Amang Juhdi kembali ramai dan dilakukan pembesaran makam. Pembesaran makam itu disokong oleh saudagar-saudagar kampung untuk menindih kuyang. Itulah cara mereka menyelamatkan harta setelah Kyai Muhdar mendekam di juruji besi.

Astambul, 01 Mei 2012. (Ba’da Isya)

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 20 Mei 2012
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/kuyang/10151124845908242

0 komentar: