Cerpen Khairi Muhdarani: Surat untuk Sahabat-sahabatku
Ia meringis menahan sakit diperutnya yang seperti di obrak abrik. Napasnya masih utuh walaupun terasa sulit. Pandangannya masih jelas walaupun terkadang kubas. Telinganya pun masih mendengar walaupun sedikit samar. Ia mengambil beberapa lembar kertas dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya sudah siap dengan sebilah pena. Ia mulai menulis surat untuk sahabat-sahabatnya:Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sahabat-sahabatku,
Segala puja dan puji hanya untuk-Nya. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Allah, maka tak seorangpun yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tak seorangpun yang bisa memberi petunjuk. Sholawat dan salam semoga bibir dan hati ini terus mengucapkannya, karna rindu kita dalam sholawat, dan kalimat romantis kita dalam sholawat.
Sahabat-sahabatku,
Sebelum mata penaku ini melangkah lebih jauh, sebelum lembaran kertas kusam ini menjelaskan kerinduan yang mendalam, dan sebelum kristal-kristal disudut bola mataku ini meleleh dan membentuk parit-parit kecil di pipiku yang sudah kisut ini, terlebih dahulu kuhaturkan doa semoga kalian di sana dalam keadaan sehat, dalam keadaan kuat, dalam keadaan masih kokoh iman dan taqwa.
Sahabat-sahabatku,
Kutulis surat ini ketika malam menyibak jubah hitamnya yang pekat. Kutulis surat ini ketika lengkih binatang malam menyeruak dicelah-celah jendela kayu kamarku. Kutulis surat ini dikala malam yang dena, dikala seluruh nafas insani berpacu dalam dunia mimpi yang lelap. Dan yang pasti kutulis surat ini ketika rasa rinduku kepada kalian membuncah dan membuat mataku ini enggan menutup.
Sahabat-sahabatku,
Saat ini kuberanikan diri menulis surat untuk kalian, walaupun aku masih belum menemukan sebuah kata untuk melukiskan rasa sayangku, rasa cintaku, rasa terima kasihku dan rasa penghargaanku kepada kalian. Masih kuingat uluran tangan persahabatan kalian kepada si miskin ini, si buruk rupa ini, si hati yang tak mulia ini. Aku seperti sebuah kotoran yang kalian kais kemudian kalian jadi sebuah pupuk yang menyuburkan tanaman. Aku hanyalah anak kampung yang datang di tengah kalian dengan tekad dan impian. Ya, hanya itu, hanya tekad dan impian. Tak ada yang tau dari kacamata apa kalian melihat aku? Dari sudut mana kalian memandangku? Tetapi yang pasti kalian menerimaku sebagai sahabat kalian tanpa embel-embel kekayaan, tanpa embel-embel jabatan dan tanpa embel-embel raut muka yang mempesonakan.
Sahabat-sahabatku,
Masih kuingat kebersamaan kita, senda gurau kita, dan gelak tawa kita ketika salah satu sahabat kita menjadi bulan-bulanan ejekan kita, dan membuatnya hanya senyum kecut tersudutkan. Dan hari-hari hanyalah seperti arisan tersudutkan, besok bisa aku yang tersudutkan, besoknya lagi bisa salah satu di antara kalian. Tetapi tak ada dendam diantara kita, tak ada kesumat di antara kita. Semuanya adalah hiasan kebersamaan kita. Bahkan tugas individu dari pengajar yang konon harus diselesaikan oleh pribadi masing-masing, bisa kita selesaikan bersama di kolong meja.
Sahabat-sahabatku,
Sekarang lengking suara binatang malam masih menyeruak geram. Semilir angin malam masih mendesis sinis. Udara malam yang dingin masih menusuk-nusuk pori tubuh. Tetapi tubuh ini enggan bergerak, tangan yang memegang pena ini enggan untuk diam. Semuanya mengalir. Mata pena seperti menari-nari riang di atas kertas kusam ini, sesekali dibarengi tetesan air sejuk dari sudut kelopak mata. Semuanya seperti nyata, bayang-bayang kalian juga seperti nyata. Kertas dihadapanku ini seperti sebuah layar besar yang memperlihatkan kalian, senyum kalian, canda kalian dan tak ketinggalan ledekan kalian.
Sahabat-sahabatku,
Masih kuingat ketika persaingan dunia kerja yang membuncah. Seakan menjadi sebuah ujian persahabtan kita. Disini kita dituntut bersaing, dituntut untuk saling mengungguli, dituntut untuk saling mengalahkan. Entahlah, kenapa saat itu aku yang menjadi pemenang? Kenapa aku yang mendapatkannya? Kenapa aku yang mengalahkan kalian? Entahlah, mungkin ini rahasia Tuhan untuk persahabtan kita. Berita kemenanganku menyeruak dan hanya dalam hitungan detik sudah sampai kepada kalian sahabat-sahabatku. Kepada kalian yang ikut bersaing maupun kepada kalian yang sudah memenangkan persaingan sebelumnya. Ucapan-ucapan selamat datang dari jiwa-jiwa kalian yang suci, jabatan tangan pun terhulur dari tangan-tangan kalian yang lembut. Iya dari jiwa-jiwa yang suci, jiwa-jiwa para sahabatku. Dari tangan-tangan yang lembut, tangan-tangan para sahabatku. Bahkan kalian sahabat-sahabatku yang terkalahkan dengan lapang dada menerima kekalahan kalian, dengan senang hati menyodorkan ucapan selamat, karna bagi kalian ”kekalahan kalian adalah kemenangan sahabat kalian yang harus dirayakan”. Iya, kalian bahagia karena dengan kekalahan kalian berarti kemenangan untukku. Tapi aku jahat, aku pengkhianat, aku sialan, aku.... yang aku tak tau masih pantaskah aku disebut sahabat. Aku meninggalkan kemenangan itu. Aku melemparkan piala penghargaan itu ke tong sampah. Aku melempar bongkahan emas itu ke kali yang deras. Betapa murkanya kalian, kritik-kritik pedas dan tajam pun keluar dari mulut kalian, iya, keputusanku telah mengorbankan kalian. Aku mengecewakan kalian sahabatku. Seandainya aku tidak ikut dalam persaingan itu, mungkin salah satu di antara kalian sudah memegang piala itu, salah satu diantara kalian sudah mendapatkan bongkahan-bongkahyan emas itu. Aku takut bertemu kalian, aku takut menatap wajah kalian sahabat-sahabatku, aku takut tak bisa menjelaskan kepada kalian kenapa aku membuang piala itu ke tong sampah.
Sahabat-sahabatku,
Betapa takutnya aku ketika malam itu kalian ngajak kumpul-kumpul bersama memanfaatkan libur panjang. Aku didera rasa takut, rasa malu, rasa bingung ketika nanti bertemu kalian. Aku takut kalian bertanya tentang piala yang aku buang ke tong sampah itu. Aku takut kalian mengahakimiku. Tetapi aku sangat merindukan kalian sahabat-sahabatku. Aku takut tidak bisa bertemu kalian lagi sahabatku. Malam itu kuberanikan bertemu kalian dengan tekad yang kuat. Dan rasanya tak perlu malu sebagai seorang laki-laki untuk membiarkan air hangat dari sudut mataku ini menetes. Membiarkan air mataku membentuk parit-parit kecil dipipiku yang kasar ini. Karena sambutan kalian sahabat-sahabatku. Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa. Secepat itukah kalian memaafkanku? Secapat itukah seorang sahabat memaafkan kesahalah sehabatnya? Ingin rasanya kujelaskan kepada kalian, ingin rasanya kuterangkan kepada kalian kenapa aku membuang piala berharga itu. Tetapi aku mengurungkan niatku. Karena kalian benar-benar sahabatku, kalian tak menunggu permintaan maaf dariku. Kalian sudah memaafkanku. Tak perlu lagi aku menjelaskan kepada kalian bahwa aku membuang piala itu demi ibuku. Iya, tak perlu penjelasan tentang ibuku yang sakit-sakitan. Anak tertuanya yang salah pergaulan sering membuat ulah. Sering membuat asma ibuku kumat. Sering membuat kami menangis. Tak mungkin aku meninggalkan ibuku ke ibu kota. Anak macam apa aku ini kalau harus meninggalkan ibuku demi sebuah piala, bongkahan-bongkahan emas, atau pangkat dan kedudukan. Tidak, aku tidak ingin dikatakan sebagai anak yang durhaka. Aku tidak bisa pergi sementara dirumahku bertumpahan air mata. Siapa yang menjadi sosok bijaksana kalau bukan aku. Siapa yang bisa mengayomi keluarga yang didera cobaan ini kalau bukan aku. Iya aku yang selalu tampil bijaksana ditengah keluarga. Aku yang selalu terlihat sabar walaupun sering menangis sendiri di kamar. Kalau aku ikut menangis siapa lagi yang menyeka air mata kelurgaku ini. Iya, tak perlu lagi penjelasan itu. karena kalian sudah memaafkanku sahabat-sahabatku.
Sahabat-sahabatku,
Malam masih sunyi, mata pena masih menari. Sesakali suara burung hantu menebarkan panorama mistis. Nafasku pun mulai sulit terkais. Hanya ada jejak seorang makhluk yang bergamis. Atau ruhku yang sedikit menipis. Aku lupa memberitahu kalian sahabatku. Dan memang aku sengaja lupa untuk hal itu. Pagi tadi harusnya aku cuci darah di Rumah Sakit. Kata dokter yang sok jadi tuhan itu, aku menderita gagal ginjal dan harus rutin cuci darah tiap bulan. Tapi bisa engga yak cuci darah bayarnya dengan lembaran daun? Ayolah sahabat-sahabatku, tolong bilang kalau bisa bayar “cuci darah” dengan lembaran daun...! Jangan bilang tidak bisa...! Karena orang tuaku tak punya sepetak tanah pesawahan yang bisa dijual lagi, tak ada tanah kebun yang bisa digadaikan lagi. Tapi kenapa kalian menggelengkan kepala seperti itu? Ah, kalian kan sahabatku...! tapi sudahlah ternyata memang tak bisa “cuci darah” dibayar dengan lembaran daun dari hutan dibelakang rumahku.
Sahabat-sahabatku,
Malam sudah larut. Burung hantu sudah bersuara kisut. Makhluk bergamis di sampingku sudah bersiap mencabut maut. Dan aku masih meminta kesemapatan yang tak patut. Beruntung makhluk bergamis itu manggut. Dan dia mulai patut. Permintaanku hanya satu dan tak menuntut. Silahkan ruh dibadan ini kau cabut. Tapi sampaikan kepada sahabat-sahabatku tentang surat ini yang sudah kumal dan kusut. Sampaikan permintaan maaf dari makhluk yang sudah tak berwujud. Janganlah kalian lupakan sujud.
Wassalam
Ttd
Sahabat yang Hampir Terlupakan
Ruh itu membiarkan jasadnya terkulai dengan tangan masih memegang pena. Ia ikut terbang bersama makhluk bergamis. Membiarkan esok pagi salah satu keluarganya menemukan jasadnya dan berteriak kemudian menangis histeris.
Astambul, 03 Agustus 2011
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/surat-untuk-sahabat-sahabatku/10150428551768242
0 komentar: