Cerpen Khairi Muhdarani: Pelangi Malam

20.33 Zian 0 Comments

Desus dunia luar tubuhku selalu bicara. Malam adalah ketakutan. Malam adalah keangkeran. Konon malam merupakan siangnya penghuni dunia mistis. Malam adalah jubah hitam pekat yang mematrikan kesadisan dunia ruh dari dinasti iblis. Tetapi tidak bagiku. Bagiku malam adalah ketenangan. Malam adalah keindahan. Bintang-gemintang dilangit seperti noktah dari pujangga jagat raya. Atau suara jangkrik yang mengalun bak vionis kelas wahid. Semilir angin malam pun membelai lembut bak sutra dari sulaman Ninik Renda di balik bulan lima belas hari. Atau suara burung hantu yang memekik suasana keteduhan malam. Ada juga Sufis yang menyatukan diri dengan tuhannya. Atau seorangAbid yang memanjatkan do’a di sepertiga malam.
Aku masih asyik memandang ke arah nun jauh tak terjamah. Di balik keindahan gemintang itu. Dibalik senyum purnama yang syahdu itu. Diantara gurat-gurat awan pelukis segala makna itu. Ada sesuatu. Iya, ada sesuatu yang terus ku pandang. Tak lain seperti malam-malam sebelumnya. Masih sama. Masih kupandang jelas. Seberkas pelangi malam yang merupakan ruh diriku.
Konon pelangi hanya ada di siang hari dan tebentuk dari titik-titik air yang mendapat sinar mentari dan merefleksikan sinar itu menjadi prisma. Karena itu biasanya setelah hujan pelangi muncul dari sisi langit yang berlawanan dengan arah sinar mentari. Tetapi tidak bagiku. Bagiku yang telah menjelma menjadi sesosok pelangi malam.

Entah, sejak kapan ini terjadi. Tak tau dan aku buta akan semuanya. Tak mengerti dan aku tuli dengan semua ini. Aku adalah pelangi malam yang selalu menjelma di kala purnama. Warnaku adalah ketedeuhan jiwaku yang tak terjamah. Cahaya adalah lukisan diri yang tak tersentuh. Dan hanya dinikmati oleh orang yang mengerti aku. Hanya dipandang oleh orang yang melihat dengan hati. Aku masih ingat dengan semuanya. Aku tidak lupa awal kejadian ini. Awal ketika aku menjelma menjadi pelangi malam.
Dulu. Hmm dulu. Rasanya ada gerakan maha dahsyat dalam tubuhku ketika bicara dulu. Ada gumalan darah yang menghasilkan bekuan-bekuan dalam pembuluh darahku. Gumalan yang sudah meledak beberapa tahun yang lalu. Dan membuatku menjelma menjadi sesosok pelangi malam.
Dulu aku adalah manusia biasa. Dulu aku adalah keturunan Nabi Adam dan Hawa yang diusir dari surga karena memakan buah huldi. Dulu aku tidak mempunyai cahaya sebanyak ini. Dulu hanya ada dua cahaya dalam hidupku. Hanya ada cahaya hitam atau putih. Tapi aku adalah pemberontak. Dan pemberontak tidak pernah puas dengan dengan cahaya yang ada. Aku berjalan ke segala arah. Ke angin mendayu. Ke rasa tak terjamah. Ke air yang tenang. Ke awan yang berarakan. Bahkan ke api yang membara. Tetapi tak ada yang bisa memberi cahaya yang lebih. Hanya kalpaan yang kudapat. Hanya kesangsian yang kutemukan. Dan kemanapun aku berjalan, hanya hitam dan putih yang kudapatkan.
Kebosanan membuatku terpaku. Kebosanan membuatku berlari dengan pikir. Kebosanan membuatku berkelana dalam rekayasa hitam-putih. Aku benci dengan kebenaran. Karena kebenaran hanyalah hitam putih. Aku benci dengan kebenaran, kemudian melakukan pembenaran. Iya, pembenaran yang kulakukan adalah mengaduk hitam dan putih yang kemudian mengahasilkan cahaya yang berbeda. Bukan hitam atau putih. Tetapi abu-abu. Kesenanganku dengan cahaya abu-abu membuatku berkelana tanpa beban, bergaul tanpa batas, dan berlari tanpa finish.
Aku bersamanya sejak tiga bulan yang lalu. Ketika dia melihat cahaya abu-abu yang kupunya. Anton tertarik dengan cahaya abu-abu. Padahal dia adalah hijau. Hijau yang melambangkan kesejukan bagiku. Di hutan yang rimbun ini kutemukan Anton dengan hijaunya. Ku teguk cahaya hijaunya. Tentu saja tanpa melunturkan cahaya abu-abu yang kupunya. Anton menghiyasiku dengan hijaunya. Dan mewarnaiku dengan kesejukannya. Aku bahagia bersama Anton. Rasanya anton adalah ruh kedua dalam hidupku. Aku terus memujanya sampai suatu ketika kutemui dirinya terpojok di ujung telaga. Aku melihat Anton tak lagi memantulkan cahaya hijau. Anton adalah hitam. Dan aku benci hitam. Aku meninggalkan Anton dalam keadaan hitam.
Aku terus menelusuri kebebasanku. Berlayar di laut lepas. Dua bulan sudah aku bersama Jono. Dia juga tertarik dengan cahaya abu-abu yang kupunya. Jono tertarik dengan warna abu-abu. Padahal dia adalah biru. Biru yang melambangkan ketenangan bagiku. Di laut yang menderu ini kutemukan Jono dengan birunya. Kuteguk cahaya birunya. Tentu saja tanpa melunturkan cahaya abu-abu yang kupunya. Anton menepuk pundakku dengan birunya. Dan mendekapku dalam cinta yang membiru. Aku bahagia  bersama Jono. Jono bagaikan keteduhan dalam terik. Bagai kesembuhan dalam sakit. Aku terus merangkulnya sampai suatu ketika kutemui dirinya terpaku dalam pekat malam. Aku meliahat Jono sangat jelas dalam pekat malam. Dan kusadari bahwa Jono tak lagi biru. Jono sekarang putih. Jono seperti sebuah noktah dalam pekat hitam. Iya, sangat jelas bahwa Jono adalah putih. Dan aku benci putih. Bagiku tak ada cinta untuk hitam maupun putih.
Cahaya abu-abu yang kupunya adalah suatu kebahagiaan bagiku. Ditengah hiruk pikuk hitam dan putih aku tampil dengan abu-abu. Tak pernah aku lelah dalam berkelana. Berkelana dengan cahaya abu-abu yang kupunya.
Di puncak gunung bak tiang bumi ini aku terpana. Terpana dengan Arya yang datang dari arah barat. Satu bulan aku bersama Arya. Tak ada bedanya dengan Anton dan Jono, Arya juga menyukai cahaya abu-abu yang kupunya. Aku semakin bangga dengan abu-abu yang kupunya. Abu-abu yang kudapat dengan mengaduk hitam dan putih yang membosankan. Padahal Arya adalah kuning. Kuning yang melambangkan keteguhan. Di gunung yang kekar ini kutemukan Arya dengan cahaya kuningnya. Kuteguk cahaya kuningnya. Tentu saja tanpa melunturkan cahaya abu-abu yang kupunya. Arya menyentuh lembut dengan cahaya kuningnya. Memandangku dalam ketuguhan. Arya membuatku terlelap dalam keteguhannya. Membuatku selalu memujanya dalam dekap yang tak terlepas. Sampai suatu ketika kutemukan Arya tertegun di kaki gunung. Arya memandang ke angin mendayu. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Arya tak lagi bercahaya kuning. Arya tenyata abu-abu. Arya sama denganku. Arya juga abu-abu. Aku tak mau ada yang mempunyai cahaya abu-abu selain aku. Aku mecekik Arya dalam kepasrahan. Dan menguburnya dengan kebencian. Tak ada yang boleh abu-abu selain aku. Dan kukuburkan Arya dalam keadaan abu-abu.
Cahaya abu-abu yang kupunya adalah suatu kebahagiaan bagiku. Ditengah hiruk pikuk hitam dan putih aku tampil dengan abu-abu. Tak pernah aku lelah dalam berkelana. Berkelana dengan cahaya abu-abu yang kupunya.
Di tengah gurun yang katanya tandus ini. Di tengah gurun yang katanyan gersang ini. Aku memandang ke arah mentari yang warnanya putih itu. Iya, disini memang cuma ada hitam dan putih. Hanya aku yang abu-abu. Tetapi dari arah timur itu Damar datang dengan pesonanya. Damar datang dengan cahaya merahnya. Cahaya merah membara yang melambangkan keberanian. Aku tertegun dalam diam. Memandang dengan rasa paling dalam. Tetapi Damar berbeda dengan Anton, Jono maupun Arya. Damar tidak mendekatiku. Damar hanya memandangku dari kejauhan. Mungkin Damar tak suka cahaya abu-abu. Mungkin Damar bukan jelmaan dari hitam, putih maupun abu-abu. Mungkin damar memang cahaya merah. Iya, Damar pasti cahaya merah yang sejati.
Enam bulan sudah aku di gurun ini. Memandang Damar yang tak juga mengahapiriku. Aku mulai tak bisa mengendalikan perasaanku. Rasa penasaran. Rasa kekaguman. Rasa yang tak terucap. Rasa yang yang mebentuk gumpalan-gumpalan maha dahsyat di alirah darahku, kemudian membentuk letupan-letupan yang meledak tepat di jantungku. Aku tak terkontrol. Aku tak peduli hitam dan putih yang kubenci. Aku juga lupa cahaya abu-abu yang kupunya dan dulu kubanggakan. Aku hanya ingin mendekap Damar. Aku hanya ingin menyentuh Damar dalam rasa paling penghabisan.
Aku berlari kencang sekencangnya. Dan tepat ketika di hadapan Damar. Aku langsung mendekapnya secepat kilat. Dan benar. Damar adalah merah membara. Damar adalah api. Damar adalah titisan neraka yang katanya menakutkan. Damar menelanku dalam bara. Damar membakarku dengan maha dahsyatnya. Aku menggelenjang kepanasan. Aku meronta kesakitan. Damar tak perduli. Damar terus melahapku. Dan aku kemudian hangus. Hangus dan menyisakan sebuah asap yang menjulang ke langit nun jauh tak terjamah. Dan di langit malam itu, kutampilkan cahaya-cahaya pelangi malam. Cahaya hijau yang kureguk dari Anton. Cahaya Biru yang kurampas dari Jono. Cahaya kuning yang kuhisap dari Arya. Dan cahaya merah dari Damar yang membakar dan meluluh-lantahkan semua warna yang kupunya. Kemudian menghasilkan kombinasi cahaya pelangi malam, dari pembakaran maha dahsyat.

***

Aku masih asyik memandang ke arah nun jauh tak terjamah. Di balik keindahan gemintang itu. Dibalik senyum purnama yang syahdu itu. Diantara gurat-gurat awan pelukis segala makna itu. Ada sesuatu. Iya, ada sesuatu yang terus ku pandang. Tak lain seperti malam-malam sebelumnya. Masih sama. Masih kupandang jelas. Seberkas pelangi malam yang merupakan ruh diriku dari pembakaran maha dahsyat.
Hanya aku yang tau keindahan cahaya pelangi malam. Karena hanya aku yang tau bagaimana pelangi malam itu terciptakan.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/pelangi-malam/10150362143668242

0 komentar: