Cerpen Khairi Muhdarani: Surat untuk Si Manis

20.38 Zian 0 Comments

Hai, Manis!
Ketika surat ini kutulis, adalah bayang senyummu yang menggurat di putih kertas begaris, lekung senyum yang bagai bibir pantai menggaris. Aku tak perlu lagi takut kehilangan, tak pula gentar arti perpisahan. Lagian, apa yang bisa dirasa kehilangan, ketika aku tak pernah memilikimu, dan apa pula yang ditakutkan dari perpisahan, ketika aku dan kamu bukan sebuah pertemuan. Ya, hanya sebuah tatapan, kemudian aku lupa arti sebuah memiliki, lupa arti sebuah harapan, dan hanya linglung dalam kekaguman.
Malam ini, Manis! Ketika sebuah pekat memberi arti seekor binatang kecil bernama kunang-kunang, ketika hitam mengartikan putih kilau gemintang, ketika sunyi mengartikan derik binatang malam pukang, adalah aku yang duduk tenang, memandang kepada angin melintas, kepada purnama yang sedikit pias, kepada diri yang tak sanggup mendapatkan cintamu walau menghamba atau memelas. Karena cintaku memang tak pernah kau balas.
Malam ini, Manis! Ketika kesedihan tak perlu dituliskan, dan ketika senyummu yang paling kunantikan, adalah bayangku yang jauh mengembara, melintas jalan ke jalan, lereng ke lereng, gunung ke gunung, danau ke danau, bahkan mungkin banua ke banua.

Lalu, Manis, pada sebuah tempat di ujung dunia, di mana dingin mengigilkan tubuh, menusuk, membekukan darah di tubuh, aku melihat fenomena yang belum pernah kutemui di tempatku. Aku duduk terkesimak melihat fenomena itu. Sebuah lukisan kombinasi warna di langit cakrawala merona. Bergerak, berkombinasi menghadirkan tarian cahaya penuh warna. Jauh lebih indah dari pelangi, jauh lebih mengesankan dari fajar terbenam di pantai kemaren hari, jauh lebih mempesona dari air terjun tujuh bidadari.
Setelah aku tanya kepada orang-orang setempat, mereka menyebutnya tarian bidadari langit. Ada pula yang menyebutnya mainan putri dewa. Tetapi para ahli dan pakar astronomi menyebutnya Aurora. Iya, namanya Aurora, Manis. Kau pernah mendengarnya? Aku rasa, tidak.
Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-menyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet, sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh matahari.
Dan entahlah, ketika melihat keindahan membuatku berpikir untuk mengambilnya, kemudian menyerahkannya kepadamu. Menyerahkan Aurora itu kepadamu. Ah, kau pasti menyukainya, Manis!
Dan  mungkin dengan ini kau akan percaya bahwa aku mencintaimu, bahwa aku tak pernah membual kepadamu, bahwa aku menyerahkan yang bukan sekedar kata kepadamu. Dan aku tau kau tak perduli dengan kata, karena dunia sudah dipenuhi dengan kata-kata. Orang jaman sekarang sibuk dengan kata-kata, tanpa perduli kata yang mereka ucapkan. Tanpa peduli kata bisa setajam pedang, bisa sekejam pelatuk yang ditarik kemudian nyawa melayang. Hanya percaya yang kuinginkan darimu, karena jangankan mendapatkan cintamu, mendapatkan kepercayaanmu pun sampai sekarang aku tak bisa.
Aku sering bertanya tentang arti kepercayaan? Apakah ia sesuatu yang kekal, atau hanya sebuah rasa yang muncul ketika ada cinta. Dan kemudian, Manis, ketika kau tidak mencintaiku, maka kepercayaan tak tertuang di hatimu? Seperti itu kah?
Ah, aku sungguh tak perduli itu, aku mencintaimu, dan akan terus mencintaimu. Kau tak mencintaiku, itu bukan urusanku. Bisa mencintaimu sudah begitu cukup bagiku. Lagian cinta adalah membahagiakan, buat apa menodai kebahagian cinta dengan galau yang tak berkesudahan, apalagi menebar kebencian karena cinta tak tersambutkan.
Maka, Manis, akan kuambil Aurora ini, bukan sekedar untuk membeli kepercayaanmu, bukan pula untuk membeli cintamu. Aku hanya ingin membawanya kepadamu, menyerahkannya, menghamparkannya di hadapanmu. Dan kemudian, Manis, ini yang paling utama adalah melihat keterpesonaanmu kepada Aurora, kemudian senyum manis tersungging di bibir ranummu. Oh, adakah kebahagiaan selain senyum orang kita cintai?
Aku akan menceritakan kegundahanku ketika bisik diri menjadi sebuah jeritan, menjadi sebuah teriakan. Dan kadang menyerupa sebuah longlongan. Sebuah teriakan yang memaksaku membawa Aurora ini untukmu, untukmu dan hanya untukmu. Tentu saja untuk melihat senyum manismu.
Awalnya, Manis. Ketika aku akan membawa Aurora ini, aku sempat berpikir, “Akan aku taruh di mana Aurora ini?”. Jujur aku bingung! Keindahan adalah susuatu yang terlalu sulit untuk di taruh. Keindahan bukan sesuatu yang perlu tempat, karena keindahan adalah sesuatu yang hadir dalam suasana. Ketika kita duduk memandang tumpukan sampah, pengemis yang lukanya bernanah, bau busuk dan udara yang bikin gerah, adalah sebuah keindahan ketika duduk dengan orang yang dicintai. Kemudian sebaliknya, ombak gulung-menggulung, burung pulang ke sarang bergerombong, mentari ke tepi bumi yang menyondong, adalah serupa anjing ganas yang melonglong, ketika duduk bersama orang yang kita benci. Bukankah begitu? Bukankah begitu absolut arti keindahan?
Maka aku sempat berpikir mengajak keluargamu, mungkin dengan bersama mereka, kau akan mendapat keindahan yang sesugguhnya dari Aurora ini. Mungkin ketika kau duduk dengan ayah dan ibumu, kemudian sikap nakal adikmu meningkahi. Saat itu aku hamparkan panorama Aurora di hadapan kalian. Ah, aku sudah membayangkan betapa indah senyummu, betapa kilau teduh matamu. Dan di balik pohon nyiur aku mengintip, menikmati dan bahagia melihat senyummu.
Ah, aku rasa apa gunanya aku banyak berpikir, apa gunanya aku banyak menimbang sangka, apa gunanya aku banyak menduga. Mending, aku langsung ambil Aurora ini, dan nanti akan aku hamparkan di hadapanmu. Ini sebagai bukti aku mencintaimu. Bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Biar aku puas, biar aku merasa sudah memberikan sesuatu. Sesuatu yang bukan sekedar kata. Untukmu, Manis.
Karena mungkin, hanya dengan ini semua bisa tersampaikan. Dengan ini, bukan dengan kata. Karena aku tau kau tak percaya kata-kataku. Kau tak percaya tutur rapiku. Bahkan sebenarnya, pada sajak cintaku yang tak pernah selesai, kau adalah sebuah awal. Aku kadang menyimpan sepi pada lereng-lereng sunyi, kemudian menuliskannya pada puisi, tapi kembali kau membacanya sebagai benci. Jadi untuk apa lagi aku rangkai kata dalam puisi, untuk apa kutulis sajak paling hakiki, karena kau tak pernah percaya kata-kataku. Dan Aurora ini adalah satu-satunya harapanku. Untukmu, Manis! Untuk senyummu pada bibir terlukis.
Maka Bersama sampul surat yang kemilau, bersama senyummu yang kudamba ketika bersenda gurau, bersama sepiku di malam yang terkadang bertarung dengan galau, aku kirimkan sebuah pesan kepadamu. Nanti sore di tepian pantai, ketika anak-anak nelayan bermain dan berkejar-kejaran, akan aku berikan Aurora ini kepadamu, Manis. Dan kau boleh mengajak keluargamu. Teman-temanmu, mungkin.
Aku akan menjelaskan, betapa cinta bukan sebuah kata, betapa cinta bukan sebuah ucapan. Mungkin dulu, sebelum bahasa ditemukan, adalah tindakan yang mengartikan cinta. Maka ketika kau tak percahaya bahasa lisanku, aku berikan Aurora ini. Untukmu, Aurora ini kutukar dengan senyum manismu. Itu saja! Karena hanya di bahagiamu aku bisa tersenyum.
Salam, Manisku...!

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/surat-untuk-si-manis/10151574907348242

0 komentar: