Cerpen Khairi Muhdarani: Lukisan Malam

20.42 Zian 0 Comments

Melia tersayang, dan akan terus tersayang,
Bersama surat ini ku kirimkan janjiku yang kemaren. Sebuah lukisan yang ku janjikan dan  kau idamkan dariku. “Lukisan Malam”.
Oh, iya Melia tersayang dan termanis. Aku akan menceritakan kepadamu bagaimana aku membuat lukisan malam ini untukmu. Aku sebenarnya sempat bingung dengan permintaanmu. Bukan permintaannya yang terlalu aneh. Bukan keinginanmu yang diluar nalar. Tapi karena aku bukan pelukis dan aku bukan seniman. Aku masih ingat rasa benciku dengan pelajaran menggambar ketika duduk di bangku sekolah dulu. Aku juga masih ingat ketika teman-teman meledekku yang tidak bisa menggambar.
Melia tersayang, Melia termanis,
Saat itu rinai hujan perlahan lenyap bersama awan yang menipis, kemudian hilang dan menyisakan langit cakrawala berkilauan. Tanah di halaman rumahku masih terlihat lembab disapu hujan. Dingin, dan memang dingin udara malam itu. Sebuah kanpas yang berwarna putih tanpa noda siap untuk dilukis. Dan menunggu tangan kaku ini menari-nari di selembar kanpas suci nan kosong. Tetapi aku kembali bingung Melia. Aku tidak bisa melukis Melia. Sementara aku harus mempersembahkan sebuah lukisan untukmu. Sebuah lukisan yang tidak boleh aku lewatkan. Karena apabila aku melewatkan lukisan ini, berarti aku melewatkan satu bukti cintaku kepadamu. Aku tertunduk lesu saat itu. Aku merasa paling lemah, aku merasa paling bodoh, aku merasa paling tak berdaya. Hanya melukis malam saja aku tak bisa Melia. Hanya menepati janji yang satu ini saja aku tak sanggup. Kalau tak bisa malam ini, dengan apalagi aku akan membuktikan cintaku kepadamu Melia?.

Melia tersayang, Melia termanis,
Dua jam sudah aku duduk di depan rumah. Tetapi kanpas ini masih putih dan suci. Pandanganku saat itu kosong Melia. Aku terus membayangkanmu. Membayangkan kau yang merajuk, membayangkan kau yang tak menegurku, membayangkan kau yang membenciku. Ah, Melia termanis dan akan selalu manis, bayanganku sudah mulai gila saat itu. Aku tak bisa melukiskan malam saat itu. Aku masih ingat suasana saat itu. Saat itu gemintang di langit berkelipan. Sang purnama menggantung dengan kokoh. Air sungai yang jernih dan bening membiaskan cahaya sang penguasa malam. Atau deru suara binatang malam. Kecipak ikan tawar yang berkejaran mendetak satu-satu. Ada juga suara burung hantu. Atau kelelawar yang bertembangan tak menentu. Aku tak bisa mengingatnya satu persatu. Mungkin ada juga jin yang mendengus di balik belukar. Atau suara hantu yang mengelekar. Bisa saja saat itu ada malaikat yang memandang nanar dan datar. Ah, Melia tersayang, Melia terkasih, saat itu aku tak terlalu memperdulikannya. Aku hanya berpikir bagaimana aku membuat lukisan malam untukmu. Bagaimana aku membuktikan cintaku kepadamu.
Melia tersayang, Melia termanis.
Saat itu malam kian meneyeruak geram. Aku mulai melukis dalam rasa was-was dan kelam. Duduk terpaku dipayungi langit malam dan sebuah obor yang temaram. Ke dalam bayangmu aku menyelam. Ke dasar hatimu aku terbenam. Bersama lukisan yang sederahana ku kais kuas dalam-dalam. Ah, aku tak perduli lagi dengan semuanya saat itu. Aku tak perduli dengan jin yang menggerutu. Aku masa bodoh dengan malaikat yang mengkhutbah di balik waktu. Aku hanya perduli dengan lukisan ini. Aku hanya perduli dengan janjiku kepadamu. Lukisan ini akan kuberikan dan ku kirimkan kepadamu tepat waktu.
Melia tersayang, Melia tercinta dan akan terus tercinta.
Kau tidak perlu bingung dengan lukisan yang ku kirimkan ini. Aku yakin kamu mengerti lukisan ini. Lukisan ini kubuat dengan hati Melia. Lukisan ini kubuat dengan cinta yang menggebu. Lukisan ini ku buat dengan perasaan rindu yang menderu. Lukisan ini ku persembahkan untukmu. Lukisan sebagai rasa cinta dan sayangku kepadamu. Aku masih ingat dengan perkataanmu. Saat itu kau bilang aku cuman omong kosong. Kau bilang aku hanya menggombal. Kau bilang aku rayu sana-sini. Kau bilang aku menghaburkan cinta di setiap dara dan wanita. Dan sekarang aku akan membuktikannya Melia. Aku tidak akan mengirim kata-kata. Aku tidak akan menghambur kata-kata kepadamu. Karena memang benar apa yang dikatakan Seno Gumira Adjidarma ”Untuk apa kata-kata? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagian siapa yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa perduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak perduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa dirubah maknanya”. Oleh sebab itu, ketika Seno Gumira Adjidarma mengirimkan sepotong senja untuk Alena, aku mengirimkan lukisan malam untukmu Melia.
Melia tersayang, dan akan terus ku sayang.
Mungkin aku tak perlu lagi menjelaskan bahwa lukisan ini ku buat dengan rasa cinta yang menggebu atau dengan rasa rindu yang menderu. Karena kau pasti sudah bosan dengan kata-kata cinta. Kau pasti bosan dengan kalimat romatis yang kau pandang sinis. Walaupun aku tak pernah jenuh menciptakan kata-kata untukmu. Aku tahu kau mencari satu kata yang maknanya lebih dari sekedar cinta. Dan ku harap kau berhenti mencarinya. Karena aku akan siap menjelajah dunia mencarinya untukmu. Baiklah, yang perlu kujelaskan kepadamu adalah ”Lukisan malam” ini. Sebenarnya aku berharap kau mengerti ”lukisan malam” ini. Kalau kau tidak menegerti, aku akan menjelaskan lukisan yang saat ini sudah kau pegang.
Seperti yang kau lihat dan kau pegang saat ini. Pada kanpas itu kubuat garis tengah yang sangat lurus. Bahkan garis itu tepat membelah kertas secara rata dan adil. Jangan kira lebih besar atau lebih berat sebelah Melia. Aku mengukurnya menggunakan penggaris analitik. Dan persis seperti yang kau lihat, bagian sebelah kanan kertas itu masih kubiarkan putih dan kosong. Bagian sebelah kirinya ku beri warna hitam. Pada bagian warna putih ku beri satu noktah hitam dan pada bagian hitam kuberi noktah warna putih. Memang sepeti yang kau lihat. Semua ku tampilkan serba hitam-putih. Malam bagiku hanya jelmaan hitam-putih. Bintang-gemintang di langit malam pun seperti noktah putih. Dan aku juga baru sadar Melia. Ternyata kehidupan dunia ini hanyalah hitam dan putih. Tetapi sehitam apapun orang, pasti ada noktah putih dalam dirinya. Dan seputih apapun orang pasti ada noktah hitam dalam dirinya. Dan ku harap kau mengerti dan menyelami lukisan ini untukmu. Oh, iya Melia tersayang. Melia tercinta. Ada yang mau ku tambahkan dalam penjelasan lukisan malam yang kau pegang. Pada bagian putih ku beri noktah warna hitam itu juga sebagai tanda bahwa seputih apapun sesorang, apabila dia tidak bisa menjaga warna putihnya itu, maka noktah hitam itu bisa membesar dan merubahnya menjadi hitam. Dan sebaliknya, sehitam apapun orang apabila terus diberi noktah putih atau noktah putihnya terus dipupuk, maka noktah hitam bisa merubah warna yang awalnya hitam menjadi putih.
Melia tercinta, Melia terkasih,
Kuharap kau menyukai lukisan ini. Kuharapkan kau memahami lukisan yang kubuat untukmu. Kuharap kau mengerti bahwa aku tak memberikan yang hanya sekedar kata kepadamu. Aku memberikan bukti kepdamu. Aku persembahkan lukisan ini untukmu. Sebuah ”Lukisan Malam”.


(Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Adjidarma ”Sepotong Senja untuk Pacarku”).

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 16 Oktober 2011.
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/lukisan-malam/10150494973728242

0 komentar: