Cerpen Khairi Muhdarani: Sebuah Kisah Cinta

20.27 Zian 0 Comments

HIDUPKU adalah luka sepi yang menganga oleh tajamnya pisau rindu. Dan takkan bisa ditutup hanya dengan menyulam pertemuan pada segaris waktu yang menciptakan tatapan tanpa getaran berlawanan. Padanya hanya kusaksikan mata yang keruh memutih susu, bukan seperti kerling cahaya mengeristal yang perlahan menyosok wajah di mataku. Dan kurasa inikah cinta menepuk angin, mengenai asa pada malam yang dingin, pada lautan mimpi yang kian asin. Lengking saja malam membising, seiring bisik angin mengkhabar berita pernikahannya, pun lantun suaranya tak kalah memekik bersama ucap yang samar dan tanpa tekanan, namun perlahan saja pada hatiku kian menohok dalam, seperti mempunyai kekuatan yang tak kasat hanya dengan tatapan.
Dua puluh tahun sudah semua berlalu setelah kejadian itu, dimana usia kian membeban pundakku, rambut memutih memeberatkan kepalaku. Tanpa segarais dosa kau muncul di hadapanku dengan pandangan mata yang membuat aliran darahku  berdesir hebat, kau panggil aku dengan suara merambat udara kemudian menyayat. “Kaukah itu, Ningsih?” tanyamu sambil mengangkat dahi dan menampakkan gurat wajahmu yang membias gurat usiamu.

***


NAMANYA Gusri. Seorang pemuda gagah anak kepala desa. Rebutan gadis-gadis desa yang setiap duduk di teras rumah nama pemuda itu selalu lembut tereja. Bersama ayahku yang pindah mengajar ke desa ini, aku memulai kehidupan sebagai gadis desa, bersekolah di sebuah SMU terkemuka di kota kabupaten yang jaraknya 20 kilometer dari desa ini. Pun disinilah cinta pertamaku diukir bersama tinta riak air sungai yang mengalir tanpa henti ke hilir. Kuharap sebagai isyarat cinta yang takkan pernah berhenti hingga menyongsong lautan cinta kami sama-sama bermuara walaupun sedikit anyir.
Selain aku, hanya dia yang juga bersekolah di kota kabupaten. Maklum, dia anak kepala desa, sudah menjadi rahasia umum di desa ini, kalau kepala desa mempunyai harta yang lebih dibanding penduduk lainnya. Kami sering naik angkot yang sama, dan kebiasaan bersama itu membuat kami akrab, hingga terjalinlah suatu hubungan di antara kami. Hubungan yang menokohkan dua hati, merajut benang-benang cinta menjadi sulaman asmara yang kian hari kian mengapi bara. Hubungan yang melukis janji-janji cinta yang saling melilit menjerat memati ikat. Bagiku perhatiannya lebih dari segalanya. Perlahan dan kian lama kian menancap kokoh saja rasa itu.
Hari itu, masih sangat kuingat, pada memori yang sedikit kusam kisah itu mengikat erat, mendesir masih rasa ini bila semua itu diingat dan memang selalu diingat. Pada hari itu, di terik mentari yang mulai menyebelah ke barat, aku dan kamu, seperti anak remaja yang dimabuk cinta yang membiru rasa. Kita memutuskan untuk tidak pulang langsung ke rumah, namun memilih untuk pergi ke alun-alun kota.
Kemesraan para remaja yang dimabuk cinta di bawah beringin alun-alun kota selalu saja mengundang pandangan kita berdua untuk menoleh ke arah sana, ketika angkot kita melewati tempat tersebut. Maka saat itu kamu dengan sedikit ragu mengajakku untuk pergi ke sana selepas pulang sekolah. Pun dengan entengnya aku mengangguk dengan ajakanmu. Maka saat itu, di tengah hiruk pikuk kota yang memamerkan kesibukannya, kau peluk aku di bawah beringin itu, setelah setengah jam kita berkeliling alun-alun kota. Tak sedikitpun tanganmu terlepas dari genggamanku saat itu, isyarat kau akan terus menjagakukah? tanya hatiku saat itu. Mengulum senyum saja aku mejawab tanya hatiku sendiri saat itu. Matamu terlalu teduh untuk seoarang wanita tidak mengagumimu. Pun bentuk tubuhmu juga terlalu gagah hingga tak kuasa mata wanita untuk tidak memandang lekat padamu. Saat itu sorot-sorot mata memang mengamati kebersamaan kita. Kebersamaan yang mungkin menjadi idaman bagi semua orang. Atau bisa saja kebersamaan yang tulus dari kita berdua ini sudah terlalu jarang di kota ini. Namun saat itu kita tidak memperdulikannya, kita hanya masbuk dengan nuansa cinta yang kita ukir kemudian kita eja bersama, halus kemudian melengking lafazd cinta.
Buntutnya adalah ketika kita mau pulang, kita malah ketinggalan angkot dan terpaksa kita naik angkutan kota yang hanya melintasi kota kecamatan. Dengan jarak dua kilometer dari kecamatan, kita memutuskan untuk pulang jalan kaki, mendaki bebukitan, menyebarang parit bening yang deras. Saat itu cuaca mendung, perlahan kilat menyambar kemudian hujan deras turun. Dengan tergopoh sedikit berlari kau ajak aku berteduh di sebuah gubuk reot tak berpenghuni di pinggiran sawah. Setengah tubuhku kuyup dijamah hujan dan perlahan udara dingin menghadirkan gigil ditubuhku. Dengan lembut dan perhatian kau serahkan jaketmu kepadaku, kemudian dengan hangat kau peluk tubuhku erat. Lekat saja matamu mendikte mataku, hingga ada desir yang perlahan menelusup ke sanubari. Ada getaran magnetik yang membuat wajahmu mendekat dan perlahan saja mataku menutup hidmat, hingga nafasmu menghembus seiring kecupan bibirmu yang membuat tubuhku bergetar hebat. Sekejap saja semua itu terjadi, dan terbentuk sebuah bukti bahwa semuanya telah kuberi, termasuk mahkota yang pada wanita sebagai nilai diri.

***

AKHIRNYA aku menemukanmu di sini, Ningsih. Kau masih secantik dan seanggun dulu, walaupun usiamu mungkin sudah hampir menginjak empat puluh tahun. Namun usia dan fisik tak bisa mengubah getar hati yang pada bola matamu itu semua bersumber. Ini aku, Ningsih, Ini aku, Gusri, kekasihmu dulu. Dua puluh tahun setelah kepergianmu itu, akhirnya aku menemukanmu di sini. Kiranya senyumku ini bersama bias ceria di wajahku menggambar kegembiraan pertemuan ini. Pertemuan yang kuanantikan belasan tahun. “Kaukah itu, Ningsih?” Iya, itu memang kau, Ningsih. Aku  masih hafal  dengan jelas teduh matamu.

***

SAAT itu usiamu tidak terlalu muda di kalangan penduduk desa, termasuk bagi kepala desa yang merupakan ayahmu sendiri. Walaupun usia dua puluh tahun itu, bagiku masih terlalu muda untuk dirimu menikah, terlepas aku yang takkan pernah bisa menerima pernikahanmu dengan wanita lain. Aku sudah menyerahkan segalanya kepadamu, Gusri. Berita perjodohanmu dengan gadis cantik anak Pak Camat dengan cepat merambat menelungkup hingga ke desa tetangga. Pun bisik-bisik berupa cibiran seakan tajam selaras dengan tajamnya pandangan mata para ibu-ibu desa yang menjajakan cerita tentang kedekatan kita berdua. Bahkan ada yang katanya sempat melihat perbuatan kita di gubuk hamparan sawah tempo lalu. Setiap aku berjalan melintas kumpulan ibu-ibu yang menyulam manik di teras rumah, aku merasa pandangan mata mereka tajam menohok dan menghujat ke arahku.
“Kau akan menerima perjodohanmu?”
“Aku mencintaimu, Ningsih!”
“Kau akan menerima perjodohanmu?”
“Ayahku yang mengatur semuanya.”
“Kau akan menerima perjodohanmu?”
“Aku mencintaimu, Ningsih!”
“Perjodohanmu?”
Diammu saat itu adalah jawaban jelas, dan perlahan menyingkirkanku ke sudut tak tersentuh kehidupanmu. Perlahan tubuhku terkapar bersama luka hati yang menganga membusuk menggelepar. Kau tega Gusri. Kau tega. Kemana kucari lelaki sepertimu jika pada huruf paling akhir kueja, maka namamu yang terucap mantap, jika pada benak teratas bayangmu hadir menghujam keras, jika pada setiap hentakan langkah, jejakmu akan terus membekas. Akan kucari yang sepertimu, akan kutemukan yang lebih baik darimu. Bohongkah hasratku itu. Bohongkah inginku itu. Kau kejam Gusri. Kau kejam.

***

WALAUPUN harapanku denganmu masih tergambar jelas. Namun, dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk segalanya bisa terjadi dalam hidupmu. Namun menemukanmu di sini adalah sebuah rasa haru membiru bersama cinta yang dari dulu pada hatiku tak henti menderu. Kepergianmu dua puluh tahun yang lalu untuk berkuliah di pulau jawa, kukira hanya akan memakan waktu empat sampai lima tahun, namun seiring waktu berlalu kau malah tak kunjung kembali. Terlalu bulat kau telan berita pernikahanku saat itu, hingga takkah kau cerna kataku yang terucap mantap walaupun bibir sedikit bergeretap “Aku mencintaimu, Ningsih!”

***

KENAPA kau hadir tiba-tiba seperti ini? memperjelas luka yang dari dulu mengukir bekas. Kau muncul di sini, memperjelas getaran cinta yang tak bisa kubuang walaupun kepada Tuhan aku sudah memelas.
“Apa kabar, Mas?” Perlahan saja ucapku bergetar sambil membuang pandang dari tatapanmu yang setajam pedang, membuat api asmara bergejolak membakar meradang.
“Baik!” Senyummu masih manis, “Kamu kemana saja, kenapa setelah pergi untuk mengenyam perguruan tinggi, kamu tidak kembali lagi ke kampung?” Aku masih melihat isyarat rindu dari ucapanmu, namun sangat tak pantas jika rindu itu diucapkan olehmu. Karena rindu itu harusnya untuk wanita yang sudah kau nikahi, wanita yang entah sudah memberikan berapa orang anak kepadamu.
“Setelah pendidikanku selesai, aku ada pekerjaan di sini, Mas!” elakku dari kenyataan bahwa aku tak kuasa melihat pernikahanmu saat itu. Iya, sampai sekarang aku tidak terima dengan perjodohanmu, mungkin seiring dengan perasaanku yang sampai sekarang masih menghadirkan getar bersama namamu jika terdengar, bahkan melintas dibenakku walaupun nanar.
“Oh!” Anggukmu mengisyarat tanya yang tak bisa terucap.
“Mas, ke sini ngapain? Sama siapa? Sama Istri, Mas, ya? Mana mereka?”
Kau terdiam saja saat itu sambil menatapku lekat, dan entah kenapa bibirmu terlihat berat untuk terangkat. Tiba-tiba kau mendekat kemudian menyentuh pundakku. Kerling matamu masih membias cinta dan masih kuat seperti dulu hingga membuatku kaku tak berdaya.
“Ningsih!” Suara yang datang dari belakang menyentakkanku. Pun dengan dirimu.
“Eh, Mas Johar! Kenalin, ini Mas Gusri, teman dari kampung dulu!”
“Mas Gusri kenalin, ini Mas Johar, suamiku!”

***

PERIH. Tak ada harap yang perlu dicatat jika dugaanku tentang harap yang kadang menghasilkan sebuah luka tak pernah salah. Sebenarnya pertemuanku denganmu ini, Ningsih, adalah kuharap awal dari hidupku. Pada huruf paling ujung ingin kusulam namamu, bersama lafaz-lafaz yang pada rambat udara menjelma kelu, karena celah-celah hati lebih cepat menyerap daripada gendang telinga yang terlambat menganga. Ke tepi manapun kuletakkan asa berbusa, maka kepadamu jua memantul rasa bernama cinta. Terlalu tragis jika cinta ini melahirkan bengis hanya karena setetes air berupa tangis. Namun, semua sudah mengusap harap, kau telah dimiliki orang lain. Tak runtuhkah dermaga sabar? Jika ditohok penantian menjantung debar, dan kenyataan kau sudah tak bisa dilamar. Gempar, memar, cintaku terkapar, tak kuat sakit untuk kulempar.

***

AKU masih sangat mencintaimu, Mas Gusri. Namun, semua harap sudah kukubur bersama kepergianku dulu yang tak kuasa menahan perih dengan pernikahanmu dulu. Itu dua puluh tahun yang lalu, Mas Gusri. Aroma udara sudah berubah, lekuk tubuhku dan tubuhmu juga berubah. Aku....
“Kamu ini apa-apaan sih, Ningsih?”
“Apanya, Mas?”
“Gusri tadi siapa sih, kenapa tadi kamu bilang sama dia kalo aku ini suamimu?”
“Nggak apa-apa, Mas, cuman iseng aja!”
“Kamu itu sudah berumur, Ningsih, harusnya kamu itu sudah punya anak, nggak malu apa kamu dibilang sebagai perawan tua.”
“Mas, mulai lagi deh!”
“Aku heran sama kamu, Ningsih, udah banyak lelaki yang melamar kamu, tapi selalu saja kamu menolaknuya. Kamu maunya apa sih?”
“Aku belum kepikiran ke sana, Mas!”
“Belum kepikiran di usia seperti ini?”
“Iya.”
“Ngomong-ngomong kamu kenal dimana sama Gusri si pengusaha sukses tadi?”
“Pengusaha sukses?”
“Iya, pengusaha sukses, tapi sayang dia masih membujang sampai sekarang, padahal banyak lho wanita-wanita cantik yang mencoba mendekati-nya!”
“Membujang?”
“Iya.”
“Mas Gusri membatalkan pernikahannya saat itu?”
“Maksudmu?”
“Nggak papa!” jawabku sambil mengulum senyum.
Ada cinta hingga ujung penantian, terukir indah walau dipahat keras bersama impian dan harapan yang kadang sulit terlogikakan.

Astambul, 12 April 2012

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/sebuah-kisah-cinta/10151415335828242

0 komentar: