Cerpen Khairi Muhdarani: Sebuah Hikayat Cinta (Galuh Maurak Sari)
Asam pauh pidara pauh, rama-rama bagai serdadu. Adinda jauh kakanda pun jauh, ai, sama-sama kita merindu.Maururi Kencana mengulum senyum, membayang kekasih berwajah ranum, sesiapa yang menyaksikan pasti kan maklum, alamat si Bujang dirundung cinta terminum. Adalah Galuh Maurak Sari pujaan hati, setiap malam wajahnya terpatri, pada sampaian maupun pintu lemari, laksana kekasih di depan mata menari-nari, hendak ditangkap, ai, dia berlari. Oh, begitulah alamat si Bujang yang jatuh cinta, bagai berlaian kecirat mata, semoga cinta tak membuta, karena celaka siap saja memata-mata.
Galuh Maurak Sari perawan manis berbibir merah, matanya teduh namun cerah, apik nian dalam bertingkah, tak pernah mau menancap salah, hati-hati dalam berucap walau sepatah. Elok ia membawa diri, tak silap Maururi menaruh hati, karena degup jantung sudah mengenali, adalah Galuh Maurak Sari yang selalu dirindui. Namun apalah daya adat mengikat, anak bujang harus berjiwa kuat, berkelana mencari ilmu berupa pengalaman, untuk hidup kokoh di masa depan. Seakan keluarga menggenggam duri, jika bujang tak mengembala diri, merantau alamat kuatnya diri, boleh pulang jika emas sudah berpeti-peti. Setidaknya ada puluhan ekor gembala berupa kambing atau pun sapi, untuk merentas keluarga jika hendak meminang si Pujaan Hati.
Maka merantaulah Maururi Kencana ke negeri seberang, meninggalkan Negeri Borneo yang sangat disayang, dengan pakaian sehelai di badan, sehelai di gumpalan. Pergi merantau menyeberang pulau, walau badan terus menanak risau, takut kekasih tak kuat menahan galau, berpindah ke bujang lain yang sudah lama mengumpul harta dari seberang pulau. Atau, anak tetua kampung yang diam-diam ikut mendamba pujaan hati, beradu pantun mencoba mencari celah untuk memperistri. Ah, teguh saja Maururi kuatkan diri, karena sebelum pergi ia sempat bersua pujaan hati. Pada ujung pasar di suatu hari, bujang dan perawan sudah mengikat janji sehidup semati, saling menunggu saling menjagai hati, berupa doa kepada Rabbu Izzati.
“Adinda, Sayang!” Galuh Maurak Sari bersemu merah, panggilan itu membuat berdesir aliran darah.
“Kakanda kan pergi ke negeri seberang, bertaut ilmu mencari keberuntungan, untuk hidup di masa depan,” ucap Maururi pada pujaan hati.
“Adinda tak kuasa menahan Kakanda punya langkah. Hanya sanggup membuka tangan sambil menengadah, semoga Kakanda beroleh harta berlimpah, cepat pulang dan cepatlah tangkai bungaku dipatah!” Sendu bahasa itu diolah, isyarat tak punya kuasa berlaku pasrah.
“Segera setelah harta diperolehkan, ke arah awal pergi Kakanda akan segera membalikkan badan, kembali ke kampung dimana badan ditempa dan dibesarkan.”
“Adinda akan terus menunggu!”
“Kakanda akan kembali menunaikan rindu.”
***
Asam pauh pidara pauh, kelapa muda di padang ilalang. Adinda jauh Kakanda pun jauh, kenapa Kakanda tak jua pulang.
Galuh Maurak Sari mulai berisau hati, Kanda terkasih tak jua kembali. Berkali-kali surat dikirimi, hanya serupa kicau burung yang kembali. Ah, tak kuasa ia menyimpan cemas, berbilang tahun surat tak dibalas. Ia sudah diguyur ratusan pituah, untuk tak banyak berharap pada pemuda yang ke negeri orang sudah menyebelah. Usia tak cakap membendung waktu, berputar terus nun jauh sampai batas tak bisa ditentu.
Ayahandanya tak kuasa berpurut dada, menahan sabar atas kelakuannya. Berbilang pemuda hatinya sudah dipatahkan, lantaran Galuh Maurak Sari menampik pinangan.
“Apa pula yang kau pikir risaukan, adakah pemuda di seberang kau terus harapkan?”
“Ananda tak mau menanak racun, dengan menerima pinangan bujang berlaku majnun. Ananda tak mau mendusta hati, menerima bujang yang bukan tambatan hati.”
“Cakap betul kau atur bahasa, berharap emas yang kau dapat malah suasa. Berbilang tahun kau tunggu bujang disana, jangankan datang kabarnya pun tak ada.”
“Ananda hanya ingin beroleh bahagia, pahit sekarang untuk bahagia di hari lusa.”
“Ayahanda tak pernah mau memaksa, namun tidakkah salah jika Ayahanda risaukan, usia kau kian menjengkal kian menelan.”
“Ananda.......”
“Ah, kau terlalu memakan harap, pada pemuda yang tak bisa kau tatap. Ia tak pernah kau saksikan, berbilang tahun tidakkah kau pikir ia sudah beroleh perawan lain di negeri seberang?”
Galuh Murak Sari tak kuasa menahan bimbang, makan tak enak tidur pun tak nyenak. Risau pikir menyusut badan kian kurus kian tertelan. Ia sekarang sering bermurung, dirundung duka yang kian berpalung.
Ilalang kering sarangnya elang, ilalang muda dia biarkan. Berbilang tahun Kakanda tak pulang, berbilang pinangan Adinda abaikan.
Rumah Anjungan gagah menjulang. Ayahanda duduk di depan, sanak yang lain berjajar di belakang.
Tepat di seberang ayahanda berduduk, adalah keluarga yang datang mencoba memulai jalan perbincangan.
“Ubi kentang bukan sembarang kentang, kentang tua di cabut dengan parang dan golok. Kami datang bukan sembarang datang, melihat bunga bermekar terlalu elok.” Sang penyuluh melempar maksud.
“Masalah orang jangan ditengok, tapi tengoklah masalah diri sendiri. Ini bunga memanglah elok, tapi jangan dikira tidak berduri.” Tuan rumah menjawab.
“Sudah kami tengok masalah sendiri, sudah kami timbang kami perbaiki. Kami pun tahu bunga berduri, bolehkah kumbang coba menjajaki.”
Galuh Maurak Sari kemudian berdiri. Tak sempat ia melihat pinangan itu akan mendapat jawaban. Ia dirundung bimbang berkepanjangan, sang kekasih hati tak ada kabar tak ada kepastian.
Ia bermurung di balik jendela rumah. Pohon nyiur melambai lemah. Rumah anjungan dirasai seakan goyah, karena hatinya terasa berdarah.
***
Padang Kakanda padang, padang gurun panasnya garang. Datang kakanda datang, adinda dalam pinangan orang.
Basasuluh beroleh hasil yang bagus. Adalah keluarga Galuh Maurak Sari membuka diri. Alamat Galuh Maurak Sari boleh diperistri. Selang sepekan, acara Badatang dilaksanakan. Sambil mengukur hari untuk perayaan pernikahan.
Tak terlalu berbeda dengan kebanyakan, adat Banjar ada juga istilah dipingit. Adalah si Galuh Maurak Sari tak boleh menampak diri, pada sesiapa di luar keluarga, sangat utama dari calon suami, adalah Hurma Kelana anak tetua kampung tetangga yang beroleh keberuntungan, untuk memperistri Galuh Maurak Sari kembang desa yang dikagumi.
Galuh Maurak Sari tak kuasa menyimpan muram, pandangan matanya kian hari kian temaram. Tak kuasa ia menyanggah pinangan, karena terlalu sering ia melakukan penolakan. Tidak baik bagi seorang perawan, berulang kali menampik pinangan. Apalagi ayahanda mulai berkeras diri, ia harus dinikahkan secepatnya, sebelum usia semakin merenggut kecantikannya.
Demikianlah kemuraman Galuh Maurak Sari, karena cinta masih tertambat untuk Maururi, pemuda terkasih yang tak jua menampakkan diri, tak kurang empat kali Ma’ayun Maulud, tak jua badannya nampakkan wujud. Maka, sendu sekali wajahnya, tak ia rasai kebahagiaan layaknya calon pengantin.
Malam ini ia akan batimung, dilaluinya proses itu dengan wajah yang kian murung. Hatinya kian membeku saja, uap timungan tak kuasa menghangatkannya. Dalam timungan, keringat yang deras bercampur tetesan air mata yang kentara. Aduhai, tak kuasakah ia menyembunyikan duka? hingga sanak saudara ikut bermuram durja. Namun apalah daya, pinangan sudah diterima, calon pengantin sudah batimung, wangi nian menyentuh hidung, sesiapa pasti terbuai wangi batimung.
Detik menggulung menit, menit pun mencium jam, aduhai, jam berganti hari, hari kian menggulir diri. Dan tibalah hari yang dinanti. Tepat ketika mentari pagi mengintip hari, Galuh Maurak Sari sudah siap badudus dengan bunga mayang pinang. Air di gadurdipenuhi pelbagai bunga atau kembang. Sesiapa yang kuasa senyum dikembang, jika Galuh Maurak Sari wajahnya muram. Tepat ketika air kembang disiramkan, deras membasahi bumbunan, maka linangan air mata kian jatuh tak tertahankan. Ketika selesai dimandikan, sang calon pengantin diminta menginjak telur sampai pecah. Ai, sesiapa yang tak heran kepalang, telur diinjak tak jua pecah. Menurut alamat orang dulu, ini pertanda ada yang salah. Menurut Galuh Maurak Sari, walaupun telur tak pecah, tetaplah hatinya sudah remuk pecah membuncah.
***
Asam pauh pidara pauh, asam mangga asam kuini. Kakanda jauh Adinda pun jauh, segala perkara bisa terjadi.
Nun jauh di negeri seberang. Maururi Kencana wajahnya tak jua riang. Ia memperoleh segala yang diharapkan, harta melimpah dan istri yang sholehah. Adalah putri Saudagar kaya tempat ia menimba ilmu menimba rizki. Namanya Sri Sungkatwati, seorang gadis yang menaruh hati melihat tingkahnya yang baik membawa diri. Bukan sekedar itu, Maururi adalah pemuda rupawan yang jika senyum ia menawan. Tak ada yang salah jika Putri saudagar kaya itu jatuh hati. Maka dengan kuasa saudagar kaya, Maururi diminta sang saudagar untuk menikahi putrinya.
Tiga tahun sudah mereka menikah dan beroleh seoarang putri yang senyumnya cantik. Putri itu ia beri nama Putri Maurak Sari. Tak ada yang Maururi sembunyikan dari sang Istri. Ia beritahukan asal muasal kenapa nama itu ia berikan kepada sang Putri. Adalah Galuh Maurak Sari alasannya. Sri Sungkatwati tak bersedih hati dengan alasan suaminya, karena apalah yang harus dicemburui berlebihan, karena sang suami nyatanya dalam genggaman.
Dan janji tinggallah janji, cinta sejati bukan milik Maururi Kencana dan Galuh Maurak Sari, namun miliknya Sri Sungkatwati. Menanak murung tak jua beroleh untung, Maururi harus memberi kabar kepada Galuh Maurak Sari. Benar apa yang dikatakan istrinya tempo hari.
“Adakah Kakanda masih memikirkan gadis di seberang pulau?”
“Maafkan Kakanda yang tak bisa menyimpan galau!”
“Adinda mengerti dan berusaha berlapang hati.”
“Bukan cinta atau rasa yang membuat Kakanda seperti ini.” Maururi melempar pandang ke kebun di belakang rumah yang luas terpampang. “Tetapi janji yang tak tertunaikan membuat Kakanda semakin gelisah.”
“Kenapa Kakanda tak memberi kabar saja melalui risalah?”
“Benar, Adinda, setelah empat tahun berlalu, rasanya sudah saatnya Kakanda mengiriminya surat. Memberitahukan bahwa Kakanda sudah menikah di sini. Semoga dia bisa melupakan Kakanda.” Kelu ucap Maururi terbahasakan.
Maka dengan dawat hitam pekat, ia kirim surat melalui karib kerabat. Berharap supaya surat tak salah alamat. Ia beritakan tentang keadaannya sekarang, yang sudah beroleh perawan di negeri seberang. Ia harapkan Galuh Maurak Sari melepas harap, pada dirinya yang sudah menjadi suami orang. Dengan tangan bergetar, di akhir surat ia tulis permintaan maaf.
***
Pedang Kakanda pedang, pedang disimpan di sela kindai. Datang Kakanda datang, Adinda kini sudah Batatai.
Sesiapa yang tak iri, melihat sepasang pengantin yang serasi. Adalah Galuh Maurak Sari bersanding dengan Hurma Kelana pemuda mandiri. Namun, tak cukup wajah rupawan dan harta melimpah, jika hati tak kuasa untuk berpindah. Galuh Maurak Sari masih berharap, ada kabar tentang Maururi, meskipun sebatas pesan sikat lewat kerabat. Mungkin ada yang memberitahu tetang sebuat tempat, untuk ia menemui Maururi tambatan hati yang setiap hari selalu dinanti.
Tiba-tiba seorang kerabat Maururi muncul, mengambil sepucuk surat dari balik sarung. Dengan wajah bersemu merah, Galuh Maurak Sari mengambil surat itu tergesa. Sebuah nama terukir di surat itu. Benar saja, nama Maururi Kencana terukir dengan dawat hitam. Wajahnya yang kusam menjadi bercahaya, karena surat sang kekasih sudah dalam genggaman. Hurma Kelana sang calon suami berusaha mengambil surat itu, namun ia cepat meninggalkan pelaminan. Belum sempat ia jauh meninggalkan, ayahandanya sudah di hadapan dengan wajah merah padam, direbut ayahnya surat itu. Secepat kilat surat itu disobek, kemudian melayang ke tungku pengawahan. Tak ada yang melihat isi surat Maururi, kegaduhan malah menjadi-jadi. Diakhiri dengan teriakan Galuh Maurak Sari, “Ananda tak ingin menikah!”
Galuh Maurak Sari masuk kamar, berharap suatu saat Maururi kembali untuk melamar. Karena tanpa membaca surat itu pun ia sudah tau, Maururi pasti memintanya untuk setia menanti. Dan ia harus menunggu pujaan hati kembali.***
Astambul, 14 Juni 2012.
Keterangan:
Badatang: Istilah melamar dalam adat Banjar
Badudus: Mandi air dengan aneka bunga sebagai proses peralihan antara masa remaja dengan masa dewasa. Juga sebagai penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Biasanya dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum acara perkawinan dalam adat Banjar.
Basasuluh: Masa penjajakan, dimana orang kepercayaan pihak laki-laki akan datang ke tempat perempuan untuk menjajaki tentang hal ikhwal perempuan yang akan dilamar.
Batatai: Bersanding.
Batimung: Menguras keringat calon pengantin seperti SPA dengan aneka ramuan tradisinoal Banjar, biasanya menggunakan tikar pandan yang digulung melingkar. Sang calon pengantin masuk ke dalam dan ditutup rapat bagian atas agar pengap dan peluh mengucur. Dan di dalam sudah diletakkan panci dengan ramuan tradisional banjar dan mendidih sehingga menghasilkan aroma harum.
Ma’ayun Maulud: Tradisi adat memasukkan anak pada sebuah ayunan yang terbuat dari kain kuning dan tapih bahalai. Dan biasanya dilaksanakan bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Penyuluh: Orang yang dipercaya pihak pria untuk Basasuluh
Pengawahan: Tenda atau dapur untuk memasak aneka hidangan dalam acara perkawinan. Kadang bisa juga diartikan orang yang ditugasi bagian dapur dalam acara pernikahan adat Banjar.
Sampaian: Bagian penyangga atap Rumah Anjungan.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/sebuah-hikayat-cinta-galuh-maurak-sari/10151434980418242
0 komentar: