Cerpen Khairi Muhdarani: Dzikir Cinta-Nya
Kutaruh rinduku pada ujung rasa berbusa yang tak tahu berapa lama busa itu akan bertahan untuk tidak menguap. Rinduku padanya memang menggerah hingga peluh mengucur dan kulitku lembab. Pada ujung hutan yang lebat kuteriakkan namanya hingga memantul suara yang sembab. Isyarat bahwa tak ada pantulan dari arah berlawanan tentang cintaku yang tak tersambutkan. Inilah mungkin yang harus kuteguhkan pada dinding hati yang kian semeraut dengan ukiran namanya. Atau pada jantung yang detaknya melafaz cinta ketika namanya terucap maupun terdengar.Dia bukanlah wanita berkelas dengan asesoris tubuh serba mahal, pakaian serba necis atau hidup gelamor pertanda wanita kelas atas ataupun artis. Tidak. Jauh sekali dengan dirinya. Sebenanya terlalu sederhana untuk melukis wajahnya, hanya dengan memejamkan kedua mata kemudian dalam aroma diam jiwaku, maka wajahnya perlahan memburat di ruang pikirku, lengkap dengan pakaian lebar menyentuh lantai, jilbab panjang menutup setengah tubuh dan senyum simpul mengulum aroma manis kamboja di sudut taman surga. Ah, kesederhanaan dan kepandaiannya membawa diri itukah yang membuatku tanpa ragu untuk mengucap tegas bahwa aku mencintainya?
Sejak kapan istilah akhwat itu membalut dirinya hingga benteng berupa ikhwan pada diriku kemudian membatas tepat di tengah antara kami berdua. Dinding yang serupa aurora di kutub utara, terlalu indah untuk hanya sekedar dipandang dan terlalu naïf jika raga tak ingin menembus kemudian mencoba menerjang. Ada bumbu penyedap pada dinding aroma aurora yang aku sendiri tak tau apa maksud dan tujuannya sehingga jika tak ditembus bisikan setan akan membuatku menggeliat kemudian menggelanjang. Benteng itu mereka sebut hijab, hingga untuk melihatnya pun aku seakan terjerambab pada sebuah kesalahan yang tak terampunkan.
Terlalu rumitkah semua itu? Lantas bagaimana dengan rasaku yang kian lama mengiris tangis, menyeruakkan bau anyir dari gejolak nafsu yang bengis.
Takterlalu sering kami bersitatap, bahkan dia selalu membuang pandang pada selaksa tempat yang remang untuk aku sentuh suasananya. Bahkan ketika kami duduk bersampingan seperti ini. Kelihatanya memang sangat aneh, dimana dua makhluk berlawanan jenis yang pada salah satu hatinya memendam bait-bait cinta namuntak bisa melepas rindu pada sebuah kata mesra. Dia diam saja, setelah kupaksa untuk duduk di sini menemuiku.
“Aku mencintaimu, Nis!”
“Jemputaku dengan cara-Nya!”
“Aku ingin tau perasaanmu!”
“Rasaku sudah kutaruh pada ayahku sebagai waliku, dan jika kau ingin tau perasaanku,maka ambillah rasa itu melalui orang tuaku.”
“Aku belum siap untuk itu.”
“Berartikau belum siap mencintaiku.”
Ingin kubunuh gigis diri yang pada tiap jengkal hari aku kais rezki dengan merontokkan daki-daki dan meneteskan kiringat amis. Kutukar keringat membasah hanya dengan sebungkus nasi, lantas dengan apa aku bisa mengambilnya pada orang tuanya yang harga sebungkus rokoknya saja serupa dengan dua jam aku menggulung tulang, memintal urat. Singkong kukerat harus memandang yang padanya emas dan intan berkerat-kerat. Kemana sekarang nilai cinta jika membunuh lelaki yang muda namun sudah renta oleh nasib yang membuat dirinya menahan mental dipukul dan ditempa.
Aku ingin mengambilnya dengan cara-Nya. Cara yang sederhana dengan beberapa kalimat yang disaksikan oleh beberapa orang yang adil. Terlalu sederhana bahkan sangat sepele, namun jika kau tatap sosok diriku ini. Tubuh kurus, tulang terbungkus bilulang, wajah muda namun gurat jaman menjalur pada tiap lekuk wajahku. Menangis dan bersimpuh di hadapan-Nya kah satu-satunya cara yang kupunya? Lantas dalam perguliran hari yang menukar waktu dan memintal jaman akan membuatnya jatuh ke dalam genggaman ikhwan lain. Kemudian kuucap dengan bergetar, bahwa dia bukan jodohku, dan Allah sudah menyediakan yang jauh lebih baik dariku. Sesederhana itukah? Semudah itukah? Bagaimana jika ucapan lisan yang kelu itu membuat hati ngilu, lantas pemberontakan jiwa membumihanguskan rasa malu, yang katanya pada diri orang yang beriman malu itu adalah identitas kehormatan. Apa yang bisa kulakukan dengan cintaku ini. Salahkah jika kusebut kau menghukumku dengan cinta, salahkah?
Kembara jiwa ditohok derita keperihan cinta mengantarkanku pada ketenangan pemujaan.Tak ada yang lebih pantas dipuja selain yang Maha Terpuji. Maka, dalam cinta-Nya aku terus membenamkan diri, dalam dan sangat dalam. Hingga di puncak sana,di ujung wajahmu bermuara tak lagi kulihat bentuk wajahmu. Hanya wajah-Nya.Wajah yang mengukir gurat tubuhku, mengendalikan semua nafas dan detak jantungku. Ke sanalah aku lari, ke sanalah aku mengahadap. Bukankah semua orang akan kembali kepada-Nya.
Beritaitu sudah kuterima. Dia pilihan yang tepat dari orang tuamu. Seorang lelaki yang gagah dan tampan. Seorang pengajar pada sebuah pesantren terkemuka yang melahirkan para da’i-da’i kondang. Seseorang yang akan menjadi imam, yang mengajakmu ke jalan yang diridhai-Nya. Aku sudah menyaksikan semuanya, setiap orang mencium tangannya, setiap orang menghormatinya, dan aku juga yakin dengan diperistri olehnya, maka kau akan menjadi wanita terhormat. Menjadi Istri seorang Ustazd terkenal. Wah, aku yakin kau pasti akan sangat bahagia.
***
Kuncup waktu terus merapat. Kukais kehidupanku dengan terus mamantapkan makrifat. Terus kukais cinta-Nya. Hingga lenguhku berhasil menyebut naman-Nya. Namun, tak pernah kusangka pada sebuahjeda waktu yang tak tau seakan mulai berhenti. Dengan linangan air mata yang membulir di pipi mulusmu, kau datang bersamanya. Dan dengan senyum manis terkulum lelaki di sampingmu itu memandangku lekat. Isyarat pandangan penuh tanya yang menusuk ke jantung.
“Kaukah, Ismul?” tanyanya.
“Iya,saya!”
“Diamencintaimu!”
“Mencintaiku?”
Kelu. Longlong sepi meneriakan suara sembab.
“Nikahiaku, Mul!” ucapmu.
Zikirku membahana, menjulang menembus arasy-Nya. Menggendor dengan selaksa cinta yang perlahan mengantarkanku ke singgasana-Nya. Mengantarkan kami pada nikmat cinta-Nya.
Astambul, 15 Mei 2012.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/dzikir-cinta-nya/10152133452143242
0 komentar: