Cerpen Khairi Muhdarani: Cinta Ismul

20.14 Zian 0 Comments

Pohon beringin ini terasa sangat kokoh, sekokoh perasaan kasih dan sayangku kepadanya. akarnya seperti mendarah daging di perut bumi. Dahannya yang rindang, serta kicau burung keruang yang mencari makan kepadanya. Ada juga dedaunan yang jatuh di sini. Atau beberapa pasangan muda-mudi yang memadu kasih yang membiru. Gurat-gurat awan menampilkan panorama keteduhan langit. Desir angin meraba pori dengan lembutnya. Nampak juga anak-anak kecil yang bermain layang-layang di lapangan bola sebelah sana. Deru kendaraan bermotor tak ketinggalan memekik suasana. Pedagang asongan tak kalah cekatan dengan burung keruang yang mencari sesuap makan. Atau penjual Ice Cream yang mengerti suasana dunia keteduhan cinta di taman ini. Sementara mataku masih memandangnya lekat, senyuman, candanya, celotehnya, dan yang pasti kecantikan yang diliputi sipat manjanya. Dia masih saja bicara, tentang segala macam hal, tentang wajahnya yang cantik, tentang pria-pria yang selalu mendekatinya, tentang ibunya yang lucu, atau tentang bapaknya yang entah sejak kapan dia mulai kembali mengingatnya. Katanya sich Ayahnya sudah meninggal ketika dia masih duduk di bangku SMP dulu. Duduk di taman ini, di bawah pohon beringin bersamanya adalah rutinitasku setelah mengajaknya makan siang. Iya, “Ga ada teman sebaya di kantor, semuanya pada pulang ketika jam makan siang”. Katanya yang membuat aku selalu menemaninya makan siang dan duduk di taman ini sejak setahun yang lalu. ”Kenapa kamu masih setia menunggu aku Mul? Sejak kita di bangku kuliah sampai sekarang, kamu selalu setia menemaniku dan menyayangiku, walaupun aku tak bisa membalas.......”. Katanya sambil memandangku lekat. Aku hanya diam.

”Kamu baik banget sama Aku”. Lirihnya lagi.
”Kamu mau Ice Cream?”. Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
”Iya, mau!”.
”Mas! Ice Cream-nya dua ya mas!”. Pintaku kepada penjual Ice Cream yang sudah mendekat dihadapanku.
“Rasa apa?”. Penjual Ice Cream bertanya.
“Aku mau yang rasa coklat!”. Katanya
“Kalau aku mau rasa vanilla aja!”. sambungku.
”Ah, Ismul, jangan rasa vanilla, rasa coklat juga dong. Ayo lah Mul!”. Pintanya sambil menarik-narik manja tanganku.
”Iya, iya, Aku mau rasa coklat juga”. Pintaku pada penjual Ice Cream. Diberengi dengan senyumnya yang merupakan senyumku juga. Ya. Aku memang selalu menuruti permintaannya.
“Kamu pernah engga tidak menuruti permintaanku?”. Tanyanya. Dan aku hanya diam.
“Jujur, seandainya bisa, aku ingin sekali membalas cintamu, menyayangimu, bahkan melebihi rasa sayangmu kapadaku, tapi cinta tidak bisa di paksakan Mul!”. Katanya lirih melanjutkan.
“Udahlah Mirna, kamu sudah berkali-kali mengulangi perkataan itu. aku engga papa kok! Aku ikhlas dengan semua yang kulakukan kepadamu. Bisa bersamamu, bisa menjagamu, dan bisa membuatmu nyaman, itu sudah cukup kok!”. Jawabku sendu.
”Mul, aku bosan!”. Keluhnya sambil memonyong dan menarik-narik lenganku. Seakan mulai bosan dengan pembicaraan tadi yang sudah sering kami bicarakan.
”Eh, Mul.! Kamu masih ingat engga, mahasisiwa baru yang kita ospek dulu, yang kita minta menari gaya ’Machel Jacson’?”. Tanyanya tentang  masa kami kuliah beberapa tahun yang lalu.
”Iya, aku ingat, kenapa?”. Tanyaku.
”Mul, aku mau kamu menari gaya Michle Jackson, kamu bisakan!”. Pintanyan manja. Dan tak ada yang bisa kutolak darinya. Walaupun rasa malunya bukan main diliat oleh banyak orang. Aku tersus menari di depannya. Dan dalam hitungan menit kerumunan orang menyaksikan bakat alamku dalam ng’dance diiringan dengan tepuk tangan penonton saat aku berhenti melakukannya.
”Hebat... hebat...hebat...!”. Kata sebagaian penonoton.
”Biasa tampil dimana Mas?”. Tanya penonton yang lain. Dan aku hanya senyum tak menjawab.
Dia senyum kemudian tertawa, dan senyum lagi. Sepertinya dia sangat senang melihat pertunjukkan yang aku lakukan untuknya. Penontonpun mulai berpencar meninggalkan pertunjukan mendadak yang disutradarai olehnya itu.
”Mul..!”.
”Apa? Jangan minta yang aneh-aneh lagi ya!”. Tukasku.
”Engga, kamu masih ingat saat kita jadi panitia ospek. Ada peserta ospek yang nyatakan cinta sama aku?”. Tanyanya.
”Iya, ingat”. Jawabku senyum sambil mengingat kejadian itu.
”Iya, dari awal sebagai panitia, kamu tidak pernah bentak-bentak sama peserta ospek, kamu dikenal sebagai kaka yang paling baik, tapi pas ada yang nembak aku, kamu mengomeli orang itu habis-habisan”. Godanya sambil senyum kepadaku. Aku tersenyum dan penjelasan itu seakan menyeret kami ke masa lalu, masa ketika ospek dulu.

***

”Kamu ini, baru masuk sini, sudah sok keren pake acara nyatain cinta sama Ka Mirna?”. Bentak Ismul kepada peserta ospek itu.
”Kamu tau engga, aku sudah lama ngedekatin Dia. Aku sayang banget sama dia. Kamu mau nyaingin aku ya? Berani banget nyatakan cinta sama Kaka Panitia”. Bentak Ismul semakin keras.
”Anak bau kencur, baru jadi calon mahasiswa sudah berani nyatakan cinta sama Gua, Lho kira Gua cewek apaan? Hah?”. Mirna ikut menimpali bentakan Ismul.
”Lho tau engga Ka Ismul ini sudah lama naksir Gua, Dia sudah bekorban banyak sama Gua. Lho yang baru masuk pake acara nembak Gua”. Bentak Mirna dengan suara sedikit serak, mungkin karena sudah bentak-bentak dengan pesereta ospek sejak hari pertama.
”Kok diam, Jawab!”. Teriak Ismul dengan suara yang Masih keras, maklum dari hari pertama sampai sekarang, baru saat ini Dia ikut membentak, mungkin bawaan hati.
”Turun! Push-Up 10 kali”. Bentak Mirna. Dan peserta ospek itu melakukannya.
”Sudah sana, kembali ke barisan!”. Kata Ismul. Peserta ospek itupun kembali ke barisan dengan langkah yang lambat.
”Cepaaaattttttt...!”. Teriak Angga, Panitia paling ditakuti peserta ospek saat itu.
”Semua peserta ikuti Ka Angga!”. Kata Bagas menggunakan pengeras suara. Dan semua peserta mengikuti Angga ke arah belakang kampus.
”Baca ini...!!!”. Bentak Mirna sambil mengacungkan layar HP ke arah salah seorang wanita peserta ospek. Bukan. Itu bukan HP Mirna. Itu HP Rizal salah satu panitia yang belakangan ini dekat dengan Mirna.
”Berani-beraninya ngirim sms sama Kaka Panitia”. Bentak Mirna makin keras.
”Dia itu pacar Gua, ngapain Lho kirim sms sama pacar Gua?”. Bentak Mirna kembali.
”Pacar? Bukankah pacarnya Mirna.......?”. Tanyaku dalam hati. ”Ah sudahlah, masa bodoh, selamanya perasaan Mirna engga bakalan berubah sama aku, dia akan menganggap aku teman. Iya, hanya teman, dan selamanya tidak akan berubah”. Gumamku dalam hati.

***

”Mul..! Ismul...! Kok ngelamun? Pasti ngingatin masa-masa jadi panitia ospek dulu ya?”. Tanya Mirna menyentakkan lamunanku.
”Eh...! Apa?”. Tanyaku terkejut.
”Tu kan pasti kepikiran waktu ospek dulu?”. Candanya dengan senyum yang tak bisa kupungkiri membuatku merasa betah bila bersamanya.
”Udah jam 2 nich! Ayo...!”. Ajaknya.
”Iya, ayo!”. Balasku sambil mengambil helm kemudian mengantarnya ke kantor tempat Dia bekerja. Tepat di halaman kantornya aku berhenti dan mebiarkannya berjalan memasuki kantornya. Iya, begitulah aku. Hanya akan pergi ketika sudah memastikan Dia memasuki kantor. Masih kuingat beberapa orang lelaki yang pernah mendekatinya, yang pernah mendapatkan cintanya dan juga yang sering menyakitinya kemudian meninggalkannya. Hanya aku, iya hanya aku yang setia menunggunya, kadang harus antara tersenyum dan menangis ketika melihatnya bermanja-manja dengan pacarnya. Atau kadang merasa jengkel dengan orang yang mengatainya. Harus tersenyum ketika Dia mendapatkan pengganti kekasihnya yang dulu. Dan kembali membiarkanku menunggu. Iya, tugasku memang sedikit, sangat sedikit. Hanya satu, iya hanya satu ’Menunggu’. Menunggu sampai waktu yang tak pasti. Kemudian menatap, menatap ke arah nun tak terjamah, bahkan sekedar dengan angan. Bisa bersamanya. Bisa memanjakannya. Bisa membuatnya tersenyum. Jadi pelarian ketika Dia ditinggalkan kekasihnya yang ke sekian. Jadi tempatnya bersendar dikala gundah. Atau bahkan jadi pelampiasan omelannya ketika marah. Itu sudah cukup bagiku. Iya, cukup bagiku yang hanya sekedar temannya. Hanya ’teman’ dan tidak lebih. Huh, kenapa rasanya ngilu ya kalau bicara ’teman’?. Tapi sudahlah, aku menikmati kebersamaan ini, kebersamaan dalam menungguku.

***

Di sebelah timur itu, fajar merekah kemerahan, seakan-akan berkejaran dengan embun pagi keemasan. Cahaya kuning memerak merangkak masuk dari jendela kayu rumah-rumah penduduk saat itu. Kicau burung pagi menyerukan wajah hari yang masih muda. Embun pagi mulai memudar oleh bias-bias cahaya sang bintang tempat pusatnya tata surya itu. Awan putih keabuan mulai sedikit membalut cahaya mentari pagi itu. Sejuk, dan memang sejuk udara di tempat yang masih tergolong asri itu. Lalu-lalang anak adam mematrikan kesibukan bumi, pasar di kecamatan sedikit padat saat itu, padat oleh pedagang-pedagang di pasar yang meluap ke bibir jalan. Bau ikan tawar sudah menjadi teman sejati setiap orang yang lewat di jalan ini. Atau teriakan penjual obat yang sudah menjadi senandung harian di Pasar itu. Sementara aku memacu motor dengan tergesa saat itu, karna terlalu pagi saat itu. Iya, terlalu pagi sehingga pedagang-pedagang tidak meluap membibir jalan, tetapi sebagian menutup jalan, sehingga jalan motorku seperti kura-kura memikul beban ”Ah pedagang ini”. Gerutuku dalam hati karena aku harus cepat sampai di taman. Mirna sudah setengah jam menunggu di sana. Aku tidak mau Dia terlalu lama menunggu. Ini pertama kalinya dia menunggu. Dia pasti sangat bete, biasanya aku datang setengah jam lebih dulu. Dia pasti lagi ada masalah, sehingga memintaku ketemuan di luar jam istirahat kerjanya. Apakah Dia tidak masuk kerja hari ini?Ah, entahlah, aku harus cepat menemuinya. Dengan menggunakan motor, perlu waktu sekitar sepuluh menit untuk melewati jalan yang hanya berjarak sekitar 150 meter itu.
Sekarang aku sudah memasuki jalan raya. Aku memacu kecepatan motorku. ”Mirna pasti sudah sangat bete!”. Gumamku dalam hati sambil terus memacu motorku. HP ku bergetar, aku buka ada sms masuk darinya. Dia lagi sedih katanya. Anton meninggalkannya. Aku terus memacu motorku dan ”Meooonnng..!!” Kucing berkelahi berkejaran ke jalan. Aku kehilangan kendali dan hampir menambrak kucing itu. Untung aku berhasil menghindar dari kucing itu. Tetapi tidak, aku tidak bisa menghindar dari Truck yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah yang berlawanan dan ”Braakkk...!”. Pandanganku buram, gelap dan sangat gelap.
”Panggil polisi! Dia sudah meninggal”. Gumam salah seorang yang ikut mengerumuni mayat di pinggir jalan itu
”Duh,,, kasihan. Masih muda kayanya”. Timpal yang lain.
”Ambil KTP-nya. Hubungi keluarganya”. Yang lain menimpali.
Polisi membawa mayat itu. Mayat yang jasadnya telah mati. Tetapi tidak dengan cintanya. Cintanya kepada Mirna tak sedikitpun surut. Bahkan semakin besar dan terus besar. Mirna terus berusaha menyeka air matanya yang tak terbendung di pemakaman itu. Memandang nisan yang bertuliskan (Ismulyadi, Lahir 14 Mei 1989 Wafat 11 April 2012).

***

”Nenek ngapain duduk di sini?”. Tanya seorang karyawati itu. Dan Nenek itu terus memandang ke langit membiru. Ke angin mendayu dan ke rasa tak terjangkau.
”Dulu,, dulu banget, sebelum ada bangunan ini, di sini adalah sebuah taman, taman dimana kami sering bersama, taman dimana Dia selalu memanjakanku, taman dimana aku tak sempat menyatakan bahwa aku juga mencintainya”. Gumam Nenek itu sambil terus memandang ke langit membiru. Ke angin mendayu dan ke rasa tak terjangkau. Matanya berkaca-kaca membentuk kristal-kristal bulat di sudut-sudut bola matanya. Tetapi tidak sampai jatuh melinangi  pipinya yang sudah kisut itu. Mungkin jatuh ke dalam. Iya jatuh ke dalam ulu hati dan membentuk genangan di dasar ulu hati, tempat berkubangnya penyesalan dan kerinduan yang membiru.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/cinta-ismul/10150369316098242

0 komentar: