Cerpen Khairi Muhdarani: Pohon Kesucian
Walaupun berada di pinggiran kota, desa kami masih mampu menjaga diri dari arus modernisasi. Orang biasa menyebut desa kami adalah Desa Agamis. Di desa kami ada sebuah pohon. Daunnya berwarna merah dan bunganya berwarna hitam. Pohon itu tumbuh tepat di tengah-tengah sebidang tanah yang berukuran sekitar satu hektar. Penduduk desa menganggap pohon itu sebagai pohon keramat. Kain kuning dan beberapa sesajen sering menghiasi pohon itu. Sudah merupakan keharusan meletakkan sesajen di pohon itu apabila ada kelahiran seorang anak perempuan. Hebatnya pohon itu adalah ketika seorang perawan desa kehilangan kegadisannya tanpa sebuah ikatan, maka bunga dari pohon itu akan jatuh. Dan anehnya lagi bunga yang jatuh itu akan menebarkan bau busuk hinggga menyebar ke seluruh desa. Bahkan baunya bisa sampai ke desa tetangga. Orang biasa menyebut pohon itu adalah pohon kegadisan, ada juga yang menyebut pohon remaja, atau pohon aib. Tetapi aku lebih suka menyebutnya pohon kesucian.Pak Samsuri yang sudah berpuluh-puluh tahun merawat pohon itu pernah berkeluh kesah kepadaku.
”Selama saya bekerja di sini, rata-rata tiap tahunnya ada satu atau dua bunga saja yang jatuh, sisanya akan hilang sendirinya ketika purnama”. Jelasnya kepadaku.
”Wah berarti desa kita aman dari kebo-kebo yang suka kumpul ya Pak?”. Tanyaku antusias.
”Iya, itu dulu. Tapi sekarang satu atau dua itu bukan dalam hitungan tahun lagi, tapi sekarang dalam hitungan bulan”. Keluhnya.
”Kok bisa gitu Pak?”. Heranku.
”Ya, emang kenyataannya kaya gitu”. Jawabnya.
”Emangnya di Pohon itu biasanya ada berapa bunga Pak?”. Tanyaku lagi.
”Ya banyak lah. Ratusan. Bahkan bisa sampai seribu”. Jawabnya.
”Oh, kalau begitu masih banyak yang tidak jatuh kan Pak?”. Hiburku.
”Iya, tapi kan harusnya tidak ada yang jatuh?”. Jawabnya.
”Kalau tidak ada yang jatuh, itu pohon sempurna namanya Pak. Pohon Malaikat”. Diplomatisku.
”Gini ya nak Ary, sebenarnya saya cuman khawatir saja dengan desa ini, takut ajab, takut bala”. Keluhnya.
”Yang penting kita sama-sama berdo’a saja Pak. Semoga desa yang kita cintai dan kita banggakan ini terhindar dari ajab atau bala dari Yang Maha Kuasa”. Jelasku.
”Amin”. Jawabnya.
***
Pagi itu hampir semua orang yang aku jumpai memakai masker. Ada juga yang menggunakan sapu tangan atau selendang yang toch juga disulap menjadi masker. Memang bau dari bunga pohon kesucian yang jatuh terasa menyengat pagi itu. Tak ada yang heran dengan bunga yang jatuh atau bau yang menyengat itu. Karena tadi malam penduduk kampung berhasil melabrak sebuah rumah dan mengarak sepasang muda-mudi itu keliling kampung. Kemudian membawa mereka ke penghulu untuk dinikahkan di tempat. Yang membuat warga khawatir, belakangan ini mereka hanya sering mendapati bunga yang jatuh atau bau busuk yang menyengat tanpa mengarak atau melabrak pasangan yang kumpul kebo.
Ironis memang ketika melihat peningkatan bunga yang gugur. Padahal majlis ta’lim makin ramai dan makin membeludak pengunjungnya. Walaupun rata-rata jama’ahnya adalah ibu-ibu paru baya. Sementara remaja yang datang ke pengajian bisa dihitung dengan jari. Remaja kampung sekarang lebih senang pergi ke bioskop naik motor dengan pasangannya. Atau berangkat ke Mall yang jaraknya puluhan kilometer. Pakaian mereka pun sekarang lebih terbuka. ”Ini namanya perkembangan jaman, kalau kita tidak ikut perkembangan jaman, kita akan terus kuncup, tidak akan berkembang”. Kata salah seorang dari remaja yang merasa bangga dengan arus modernisasi. ”Kalau rambut lurus gini kan keliatan cantik, apalagi dipoles warna kekuning-kuniangan atau kemerah-merahan”. Kata remaja putri yang lainnya.
***
Pak Samsuri masih duduk tertegun. Pandangannya kosong. Apalagi yang bisa dia banggakan dan dia lakukan terhadap pohon ini. Kian hari hari kian banyak banyak saja bunga yang berguguran. Dan anehnya warga kampung sudah terbiasa dengan bau busuk dari bunga yang jatuh itu. Awalnya hanya sebagian orang yang tidak menggunakan masker lagi ketika ada bungan yang jatuh, tetapi sekarang hampir semua orang tidak lagi mengguanakan masker. Dan yang membuatnya semakin khawatir ketika warga malah merasa nyaman dengan bau busuk itu. Seperti aroma terafi saja di indra penciuman mereka. Aku kembali menemuinya dalam termenung.
”Tak ada yang perlu disesalkan dengan perkembangan jaman!”. Aku membuka pembicaraan.
”Iya, harusnya semua sama-sama ikut menjaga pohon ini”. Ketusnya.
”Ya, biar dijaga bagaimanapun pohon ini akan tetap tua dimakan usia dan disapu jaman”. Kataku santai.
”Tugas kita kan menjaga, bukan membiarkan. Mau dia akan mati oleh perputaran waktu dan pertukaran jaman. Itu bukan urusan kita. Karena kita diperintahkan hanya untuk menjaga pohon ini”. Jawabnya dengan pandangan masih menuju ke arah nun jauh tak terjamah.
”Lah, kalau sudah seperti ini, mau apa lagi?” Tanyaku.
”Ya kita semua kan bisa sama-sama merawatnya, memupuknya, dan menyirami terus agar pohon ini segar dan bungannya tidak berjatuhan lagi”. Jawabnya datar.
”Kita siapa Pak? Kita berdua maksudnya?”. Tanyaku heran.
”Ya, bukan cuma kita berdua. Tapi seluruh warga di sini. Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh-tokoh yang lainnya”. Lirihnya.
“Ya tapi kenyataannya Pak. Tokoh mana lagi yang bisa kita andalkan. Mereka sekarang lebih banyak diam. Lebih suka ngurusin diri masing-masing”.
”Nah itu dia Nak Ary. Kemaren saya liat Pak Lurah malah senyum-senyum saja ketika meninjau pohon ini”.
”Yang bener Pak, engga prihatin atau gimana gitu?”. Heranku.
”Boro-boro prihatin, dia malah datang untuk medengus-denguskan hidungnya dan mencium bau bunga yang busuk itu. Dengan dalih aroma terafi”. Ketusnya.
***
Matahari yang menyenja menepi di ujung bumi tak terlalu kentara. Senja seakan tak bermakna sore itu. Gedebar burung berarakan ke sarang tak terlalu ramai di pandang. Cakrawala safak mereh seakan membuat gerah. Air kali seakan berdarah. Semua orang tidak terlalu memperdulikannya. Semua orang malah terpaku dan meresapi bau busuk bunga pohon kesucian. Baunya menyebar ke seluruh desa di kecamatan. Bagaimana tidak menebarkan bau busuk yang menyengat, semua bunga yang ada di pohon itu berjatuhan. Bunga itu berjatuhan seiring dengan robohnya pohon itu. Tepatnya pohon itu bukan roboh, tetapi sengaja dirobohkan. Karena tepat di mana pohon itu tumbuh, tepat di tanah yang berukuran satu hektar itu, akan di bangun sebuah hotel dengan tempat hiburan malam yang megah dan besar.
Astambul, 29 Agustus 2011.
Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 04 September 2011
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/pohon-kesucian/10150442641378242
0 komentar: