Cerpen Khairi Muhdarani: Kebisingan Cinta

20.03 Zian 0 Comments

Di sebelah timur itu, fajar merekah kemerahan, seakan-akan berkejaran dengan embun pagi keemasan. Kicau burung di pagi itu sahut-bersahutan, bak mendendangkan syair pemujaan cinta. Desir angin pagi menyentuh lembut pori-pori tubuh, seakan menyampaikan salam penghuni langit kepada bumi. Lalu-lalang anak adam, hulu ke hilir, hilir ke hulu seakan berpacu dengan waktu yang baru dimulai. Ada yang pergi dengan pacul dan parang di pinggang. Ada yang mengenakan pakaian merah-putih, sandal jepit, sebilah pensil dan sebuah buku tulis 25 halaman. Dengan senyum yang tulus  “aku mau berangkat sekolah” kata mulut kecilnya yang polos. Begitulah suasana Desa Sei Tuan. Ada juga yang berangkat dengan pakaian sangat rapi, berdasi, sepatu mahal dan mobil mewah, pastilah orang kaya di desa ini. Begitu juga dengan Muhammad Ismu Laili seorang pemuda berusia 23 tahun. Hari ini Muhammad Ismul Laili yang biasa di panggil Ismul akan memulai aktivitas barunya. Bekerja di sebuah Klinik pengobatan sunah Nabi, lebih akrab di telinga Ismul dengan sebutan Thibun Nabawi.

“Assalamu’alaikum”. Ismul mengucap salam dengan santai dan tegas, tak menggambar seseorang yang berhadapan dengan hari pertama kerja. Gugup, takut, bingung dan segala macam kecemasan yang biasa dialami orang yang baru masuk kerja tak terjadi pada Ismul. Sipat percaya diri yang tinggi sebagai orang yang mempunyai kemampuan adalah hal yang menjadi pegangan Ismul saat itu.
“Wa’alaikumussalam, Subhanalloh, silakan masuk”. Suara sangat lembut menjawab salam Ismul. Entahlah, memang sangat lembut atau malah diperlembut. Yang pasti saat itu kedengaran sangat lembut. Walaupun seakan-akan dipaksakan. Ya, seperti bacaan tajwid, yang harusnya dibaca dengan Mad Ashli, malah dibaca Mad Ladzim Mutsaqqal Kalimi. Enam harakat atau tiga alif  untuk bacaan Mad Ladzim Mutsaqqal Kalimi kata Guru Qiro’atIsmul saat di bangku Aliyah dulu.
Ismul masuk dengan langkah pasti. Sorot mata beberapa karyawati atau disini biasa disebut Akhwat tertuju padanya. Beberpa akhwat yang memperhatikannya itu bisa dikatakan cantik, walaupun Ismul tak terlalu menggubrisnya.
”Silahkan duduk”. Masih dengan nada yang lembut, wanita yang berusia sekitar kepala tigaitu mempersilahkan Ismul duduk. Sementara mata Ismul berkeliaran kesana kemari memperhatikan ruangan yang disulap dengan nuansa kekuning-kuningan itu.
”Terima kasih”. Jawab Ismul.
”Nama saya Rissa Chandra Ekawati, biasa dipanggil Bu Rissa, saya General Maneger di sini”. Dia memperkenalkan diri.
”Saya Muhammad Ismul Laili Bu, Biasa di panggil Ismul, Saya diminta Bu Mila untuk mulai masuk kerja hari ini”. Ismul menjawab dengan santai.
”Iya, Kemaren Bu Mila sudah memberitahu saya. Mungkin kamu sudah tau, Bu Mila adalah salah satu di antara tiga Owner di sini, Owner yang duanya lagi adalah Bu Yeti dan Ustazd Syaiful”. Jawab Bu Rissa. Masih dengan nada lembutnya.
”Iya Bu”. Jawab Ismul singkat.
”Begini lho Akhi Ismul, disini merupakan pengobatan Thibun Nabawi, pengobatan Sunah Nabi. Materi bukanlah satu-satunya tujuan kita disini. Syi’ar agama atau dakwah tentang pengobatan sesuai sunah Nabi merupakan tujuan utama kita, biar masyarakat Islam berobat secara Islami. Sebagai seseorang yang bekerja dengan sunah Nabi sudah sepatutnya kalau kita bersipat islami, bagaimana mau menasehati orang, kalau kita sendiri melakukan tindakan-tindakan yang tidak islami”. Bu Rissa menjelaskan panjang lebar.
”Iya, Bu”. Ismul mengangguk.
”Jadi, setelah bekerja di sini tolong jaga perilaku walaupun berada di luar tempat kerja, karna dimanapun Akhi Ismul berada, Akhi Ismul membawa nama Klinik Pengobatan Thibun Nabwi ini”. Bu Rissa melanjutkan penjelasannya.
”Iya Bu, Insya Allah saya akan berusaha menjalankan segala peraturan yang ada di sini”. Ismul menjawab mantap dengan sorot mata yang tajam tanpa keraguan.
”Disini pergaulan antara Ikhwan dan Akhwat sedikit kita batasi, karna sebagai seorang muslim sudah pasti kita ketahui bahwa dilarang Ikhwan dan Akhwat yang bukan muhrim untuk berinteraksi terlalu jauh, kalau ada yang ketahuan dekat. Pacaran misalnya, maka dinikahkan adalah harga mati”. Bu Rissa menjelaskan dengan tegas dan meyakinkan.
”Iya Bu, saya akan berusaha untuk itu, tapi seperti yang Ibu tau, saya lulusan Fakultas Hukum, saya terbiasa berteman akrab dengan teman-teman kuliah saya, tanpa membatasi laki-laki maupun perempuan, jadi untuk hal ini saya akan berusaha sedikit demi sedikit, tidak bisa langsung seperti hal yang dijelaskan tadi, semua perlu tahapan Bu”. Jelas Ismul dengan tegas dan tak kalah meyakinkan.
”Iya, Kami sangat mengerti, semua Ikhwan dan Akwat yang masuk disini, dulunya juga mempunyai latar belakang yang hampir sama dengan Akhi Ismul, tapi Alhamdulillah kami bisa mewarnainya ke arah yang positif, dan Insya Allah begitu juga dengan Akhi Ismul nantinya”. Jelas Bu Rissa.
”Iya Bu, Alhamdulillah kalau begitu, saya sangat mengharapkan bimbingan dari teman-teman disini”.
”Insya Allah, sebagai saudara, kita harus saling tolong-menolong dalam kebaikan”.
Begitulah percakapan pertama yang terjadi di tempat kerja Ismul yang baru. Bu Rissa memperkenalkan Ismul dengan semua Ikhwan dan Akhwat di Klinik Pengobatan Thibun Nabawi itu.

***

Sesuatu yang tak pernah Ia bayangkan sebelumnya. Seorang Ismul yang merupakan jebolan dari Fakultas Hukum ternama di Banjarbaru dengan nilai Akademik yang membanggakan harus bekerja disebuah klinik pengobatan dengan omset penghasilan yang tak menentu. Ya, sipat idealis itulah yang membuat Ismul berada disana dengan kepribadian yang sangat berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Entahlah, apakah itu sipat idealis atau malah kesombongan yang tak disadari olehnya. Ismul yang dikenal ceria, banyak bicara, sering jail, suka bercanda dan tidak mudah tersinggung itu menjadi orang yang berbeda di tempat kerjanya yang baru. Dingin, cuek, bahkan keliatan jutek adalah suatu sipat yang menghiasi pribadinya belakangan ini, saat di tempat kerja saja tentunya.
Delapan tahun menjajal ilmu agama, dua tahun di Ibtidaiyah, tiga tahun di Tsanawiyah, dan tiga tahun di Aliyah merupakan modal kuat Ismul dalam bekerja di klinik pengobatan Sunah Nabi ini, walaupun tidak ada Ikhwan dan Akhwat yang tau. “Ismul anak Hukum”, itulah yang diketahui Ikhwan dan Akhwat di klinik pengobatan Sunah Nabi ini. Ya, tentu saja karna dia masuk dikenalkan sebagai lulusan Fakultas Hukum.
Sesuatu yang kontras dengan pernyataan Bu Rissa terjadi di sini, mungkin istilah peraturan diciptakan untuk dilanggar adalah hal yang sedang terjadi di sini. Percakapan-percakapan ringan, saling ejek, bahkan saling rayupun menjadi pemandangan yang lumrah di sini. Yuli adalah akhwat yang menjadi buah bibir dikalangan Ikhwan, mungkin karna dia termasukakhwat yang paling cantik, lembut dan sipatnya yang bersehaja, tak ayal kalau Yuli disukai banyak ikhwan di sini. Suatu hal yang lumrah kalau beberapa Ikhwan berlomba-lomba mendekati Yuli yang juga merupakan mahasiswi di sebuah Fakultas Keguruan swasta. Kuliah sambil kerja, itulah yang diijalani Yuli saat ini, “aku harus jadi orang yang berguna dan membanggakan orang tua” itulah prinsif dan gumam Yuli dalam hatinya. Di saat paraIkhwan yang berlomba-lomba mendekati Yuli, lain halnya dengan Ismul yang masih konsisten dengan sipatnya yang dingin, cuek dan keliatan jutek, walaupun Ismul juga menaruh perhatian dengan Yuli. Sipat Ismul yang dingin, cuek dan sedikit jutek ini malah membuatnya keliatan berbeda di mata Yuli. Ya, berbeda dengan ikhwan-ikhwan lain yang selalu menghujani Yuli dengan kata-kata manis dan menyejukkan. Rasa penasaran Yuli terhadap Ismul membuatnya menaruh perhatian lebih terhadap Ismul. Entahlah, cinta bisa datang dari segala arah, dari segala penjuru dan dari segala pintu, dari rasa benci, dari rasa iba, dan termasuk dari rasa penasaran. Begitulah cintanya Yuli, dari pintu yang terukir kalimat penasaran, Ismul meneyelusup masuk dan memenuhi segala penjuru hati Yuli yang selama ini kosong. Cinta memang buta, cinta memang serampangan, cinta tak pandang bulu, semua orang bisa menjadi korban cinta, dan kali ini Yuli menjadi korban persemayan benih-benih cinta.

***

Di Klinik pengobatan Thibun Nabawi, setiap Ikwan dan Akhwat diberi satu hari libur dalam setiap minggu dan mereka bebas menentukan harinya. Hari ini Ismul mendapatkan jatah liburnya. Pagi ini Ismul berpikir sejanak, menentukan arah langkahnya hari ini untuk mengisi waktu liburnya. “Ah mendingan nongkrong di Warnet, berfantasi di dunia maya”.Gumam Ismul dalam hati. Ismul bersiap-siap berangkat ke warnet, pakaian rapi, sepatu ket warna putih dan tas kecil. Tak lupa sebelum berangkat, Ismul memeriksa tas kecilnya. Dompet, buku catatan, dan Flasdisk adalah hal yang harus selalu ada di tas kecil milik Ismul. Betapa terkejutnya Ismul, dia baru ingat kalau Flasdisk-nya dipinjam Fikri, yang tak lain adalah sahabatnya saat di Madrasah Aliyah dulu. Ismul mengambil Handphone-nya dan menghubungi Fikri.
“Hallo”.
“Iya, Hallo, kenapa Mul”. Fikri menerima telephone dari Ismul.
“Dimana nih? Aku mau ngambil Flashdisk ku”. Ismul to the point.
“Aku lagi di kampus, Jam 11 ambil ke kampusku”. Jelas Fikri
”Sip, Aku mau menjelajah dunia maya nich, jadi perlu Flashdisk”. Jelas Ismul.
”Yap, silahkan menjelajah dunia maya, asal jangan menjelajah si Maya aja..!”. Canda Fikri
”hahaha,,,! Ya itu teserah aku”. Timpal Ismul
”Ya udah, bila sudah nyampe kampus, SMS aku ya”.
”Oke, bye”.
”bye”.
Hanya perlu waktu 20 menit, Ismul sudah sampai di kampus Fikri, di Fakultas Keguruan, dan ini merupakan semester akhir Fikri.
(Aq sdh ddpn kmpz km nich...!!!) SMS Ismul masuk ke Inbox Fikri.
Hanya sekitar dua sampai tiga menit Fikri datang menemui Ismul, tetapi Fikri tidak sendirian, Fikri bersama Fahmi, Ais, Roy dan Diyan. Senyum mengembang di wajah Ismul, bertemu dengan teman-teman sekolahnya dulu, merupakan suatu kebahagian. Memang setelah lulus di Madrasah Aliyah, banyak teman-teman Ismul yang kuliah di sini, walaupun dulunya semua teman-teman dekat Ismul ikut mendaftar di Fakultas Hukum, Namun nasib baik hanya berpihak kepada Ismul, dari semua teman-teman Ismul, hanya Ismul yang lulus di Fakultas Hukum terkemuka di daerahnya ini. Ismul memarkir motornya dan diajak teman-temannya untuk ngobrol sebentar di Taman kampus. Setelah bercengkrama beberapa saat bersama teman-temannya, Ismul pamit karena di saat yang sama jam kuliah teman-teman Ismul juga akan segera dimulai. Dengan langkah yang bersemangat, Ismul berjalan menuju parkiran motor di kampus swasta ini, semangat yang begitu saja muncul setelah bertemu dengan teman-teman lamanya.
”Ka Ismul...!!!”. suara lembut dan bersehaja yang terasa tidak asing membelai lembut gendang telinga Ismul. Sesosok gadis cantik dengan baju yang bisa dikatan agak tertutup di banding gadis-gadis yang ada di kampus ini. Jilbab warna merah muda seakan memahkotai wajahnya yang anggun.
”Eh, Yuli...!!!”. jawab Ismul yang sedikit terbata karena terkesimak akan keanggunan sosok Yuli. Ismul baru ingat kalau Yuli juga berkuliah di kampus ini.
”Sedang apa  di sini Ka?”. lanjut Yuli.
”Ngambil Flashdisk sama teman”. Jawab Ismul singkat dengan sorot mata yang tajam memandangi keanggunan Yuli.
”Ah kaka ini, ngeliatinnya jangan gitu dong, engga boleh”. Yuli tersipu malu menyadari Ismul yang memandangnya dengan sorot mata yang tajam.
”Memangnya kenapa?”. Tanya Ismul.
”Hati-hati lho, entar kaka jatuh cinta sama aku, kalau ngeliatinnya kaya gitu”. Yuli menjawab sekenanya.
”Eh kalau sudah jatuh cinta duluan sama kamu, apa yang harus ditakutkan, enggak papa kan?”. Ismul juga menjawab sekenanya. Sipat asli Ismul mulai tergambar dari ucapannya.
”Ah, kaka ini...!!!”. Yuli tersipu malu.
”Enggak papa kan kalau aku suka sama kamu”. Ismul kembali menggoda. Dan yuli pun semakin tertunduk malu.
”Kaka mau kemana?? Mau langsung ke Klinik ya??”. tanya Yuli.
”Engga, aku hari ini Off”. Jawab Ismul.
”Oh, sama dong, Aku hari ini Off juga ka. Terus kaka mau kemana?”.Tanya Yuli.
”Mau ikut??”. Ismul bertanya balik.
”Emangnya mau kemana?”. Yuli kembali bertanya.
”Ke suatu tempat yang indah, kamu pasti suka”. Jawab Ismul sedikit dengan nada menggoda tetapi dengan sorot mata yang serius.
”Kemana?”. Tanya Yuli lagi.
”Ke taman wisata Gunung Kayangan, kamu pasti engga pernah ke sana?”. Jawab Ismul dengan nada persuasif.
”Gunung Kayangan? Aku pernah dengar dari teman-teman, katanya panorama di sana indah ya Ka?”. Yuli menjawab dengan nada tertarik. Entahlah, apakah tertarik dengan tempat yang ditawarkan  Ismul, atau malah tertarik untuk bersama Ismul yang sudah lama memikat hatinya.
”Ya udah, mau ikut engga?”. tanya Ismul.
”Baiklah, aku ikut”. Entahlah, angin apa yang membuat Yuli memberanikan diri ikut dengan Ismul, padahal ini pertama kalinya Yuli dibonceng oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Angin cinta. Mungkin itulah yang membisik-bisik dan menusuk-nusuk perasaan Yuli saat ini. Pandangan mata Ismul yang tajam bak busur panah yang menusuk hati Yuli tanpa ampun. Sehinggga tameng yang terbuat dari perak yang mengeristal pun tak sanggup membendung keinginan Yuli untuk bersama Ismul.
”Pegangan”. Kata Ismul. Dan mungkin inilah hipnotis cinta, tanpa daya upaya Yuli langsung berpegangan dengan Ismul yang memboncengnya. Ya, cintalah saat ini yang memegang peran sebagai sutradara, Ismul dan Yuli hanya pemain yang tak berdaya dengan skenario cinta yang ada.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Yuli hanya senyum-senyum sendiri di belakang, dengan tangan masih berpegangan erat di tubuh Ismul. Begitu juga dengan Ismul yang tak kuasa melukiskan kebahagiaannya saat ini. Ismul mengurangi kecepatan motornya.
”Kamu sudah punya pacar Yul?”. Yuli tersentak dengan pertanyaan Ismul yang membuatnya menerka-nerka arah pembicaraan ini.
“Belum”. Jawab Yuli sendu.
“Kamu mau engga jadi pacar aku?”. Yuli kembali terperanjat, aliran darahnya seperti bara api yang meletup-letup, jantungnya seperti irama genderang, ada getar maha dahsyat ditubuhnya.
“Gimana Yul? Dijawab dong...!!! jujur aku sudah lama menyukaimu, walaupun saat di klinik aku sedikit jutek sama kamu”. Lanjut Ismul mengaharap jawaban.
”Iya Ka, Aku juga sudah lama menaruh perhatian sama Kaka, aku juga cinta sama kaka”.
Jawab Yuli. Malu.
Senyum merekah tergambar jelas di wajah dua insan itu, Biru langit seakan menjadi payung saksi cinta mereka, kala kedua tangan sudah berjabat erat, dua hatipun berpadu satu, saat itulah melodi kasih bersimponi, aku milikmu, kamu milikku, terucap dalam satu kata. Cinta.
Gunung Kayangan terlalu elok ketika itu. Mungkin dia terlalu pengertian, sehingga menghadirkan panorama keindahan teja, mentari senja itu seperti lunglai, seakan terjatuh lemas di balik Gunung Kayangan. Dua insan yang dimabuk cinta itu seperti laba-laba belang yang merajut sulaman cinta dalam kesunyian, di bawah teduhnya langit senja, mereka merasakan hangatnya cinta, hingga menelusup dengan perlahan ke relung-relung jiwa. Setelah menyaksikan keindahan matahari tenggelam di Gunung Kayangan, merekapun pulang dengan rasa cinta yang membiru. Mungkin hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Yuli dan Ismul. Semenjak saat itu Ismul tidak lagi tampil sebagai orang yang jutek, Ismul kembali dengan dirinya yang sebenarnya, orang yang homoris, menghibur, dan kadang juga suka menjahili ikhwan maupun akhwat yang ada di klinik. Sipat Ismul yang seperti itu membuat ikhwan dan akhwat di klinik sangat menyukainya. ”Klinik rasanya sepi kalu Ismul tidak masuk”. Begitulah pernyataan ikhwandan akhwat di klinik ketika Ismul off.

***

Pagi ini, tak ada yang berbeda di Klinik Thibun Nabawi, masih dengan suasana yang sama, Ismul, Dhani, Memet, Revan, Rahmi, Shasa dan Yuli duduk-duduk santai sambil menonton televisi. Begitulah Ikhwan dan Akhwat dalam mengisi waktu saat menunggu pasien, melakukan percakapan ringan hingga bersenda gurau adalah sesuatu yang sudah lumrah di Klinik ini, peraturan tentang interaksi antara ikhwan dan akhwat hanyalah selembar kertas yang tersimpan rapi dalam map kelabu. Tapi jangan coba-coba interaksi berlebihan ketika ada Owner atau Bu Rissa, bisa diomeli habis-habisan kalau mereka tau atau melihat. Masih dengan suasana yang sama, Dhani, Memet dan Revan mengeluarkan jurus-jurus mereka yang tangguh dalam merayu Yuli.
”Tau engga Yul, Aku kalau liat kamu itu, rasanya sejuk banget hatiku, apalagi kalau kamu senyum”. Goda Dhani.
”Iya, siapa ya Dhan cowo yang beruntung bisa ngedapatin hati Yuli ini”. Timpal Memet.
”Kayanya para pujangga harus menciptakan satu kata di atas kata cantik deh...!! soalnya cantik saja tidak cukup untuk mewakili keanggunan Yuli”. Revan ikut menimpali.
”Tu kan...!!! kalian ini mulai lagi..!!!”. Yuli menanggapi dengan wajah kemerahan, sambil melirik ke arah Ismul yang hanya senyum melihat kekasihnya digodain teman-temannya.
Benar saja, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang tau hubungan Yuli dengan Ismul, karena tanpa ada penjanjian apapun, dengan sendirinya mereka merahasiakan hubungan mereka dari Ikhwan dan Akhwat di klinik. Terang saja mereka merahasiakannya, karena dinikahkan memang harga mati bagi Ikhwan dan Akhwat yang ketahuan berpacaran. Sementara Yuli dan Ismul masih belum siap untuk menikah, Yuli yang mempunyai alasan dengan kuliahnya dan Ismul dengan alasannya yang masih belum mempunyai penghasilan yang cukup untuk menikah adalah gambaran jelas tentang ketidaksiapan mereka untuk menikah. Bukan berarti mereka tidak serius dalam menjalin hubungan, tetapi itu adalah alasan yang real bagi mereka, dan mereka juga sudah merencanakan hal itu. Setelah Yuli lulus kuliah dan Ismul mendapat penghasilan yang diinginkan adalah saat yang tepat untuk menikah menurut pendapat mereka.
Setengah tahun sudah jalinan cinta Ismul dan Yuli terajut. Cinta merakapun semakin tumbuh, tumbuh, dan tumbuh. Komplik-komplik kecil memang sering mewarnai perjalanan cinta mereka, tapi itu menjadi bumbu penyedap dalam hubungan mereka. Mengambil jadwal off  pada hari yang sama adalah hal yang mereka lakukan agar mereka bisa jalan bersama tiap minggunya.
Hari itu, tepatnya jam dua belas seperempat siang, Ismul di panggil oleh Owners untuk menghadap. Ismul pun pergi menghdap Owners. Dengan terlebih dahulu mengetuk pintu, Ismul mengucap salam.
”Assalamu’alaikum”. Salam Ismul sambil membuka pintu ruang pertemuan.
”Wa’alaikum salam”. Serempak jawab Owners yang sudah menunggu di ruangan. Ismul hapal betul dengan suara itu. Ya itu suara para Owner, ada Ibu Yeti, Ibu Mila, dan Ustazd Syaiful.
”Silahkan masuk”. Kata Ustazd Syaiful yang saat itu seperti raja yang didampingi dua permaisurinya, yaitu Bu Yeti dan Bu Mila di sebelah kiri dan kanan. Ismul masuk dengan perlahan. Dan seperti ada yang menyekat nafasnya ketika dia melihat Yuli duduk di kursi yang terletak di sudut kiri ruangan ini. Yuli duduk menunduk, sambil sesekali menyeka butiran bening yang mengalir dari kelopak matanya.
”Silahkan duduk”. Ustazd Syaiful langsung menyodorkan sebuah amplop kepada Ismul.
”Apa ini?”. Tanya Ismul kebingungan.
”Buka!”. Kata Ustazd Syaiful dengan sorot mata yang tajam. Ismul pun mengambil amplop yang disodorkan kepadanya. Pada saat yang bersamaan Ustazd Syaiful memanggil Yuli yang dari tadi duduk dipojok untuk mendekat dan duduk tepat di samping Ismul. Dan betapa terkejutnya Ismul ketika membuka amplop itu. Beberapa lembar foto kemesraan Ismul dan Yuli ketika di Gunung Kayangan terpampang jelas di foto itu.
”Besok saya akan mengumumkan rencana pernikahan kalian berdua kepada seluruhIkhwan dan Akhwat yang ada di klinik ini”. Tegas Ustazd Syaiful dengan mantap. Dibarengi dengan derai butiran air mata di wajah Yuli yang makin deras.
”Saya belum siap menikah Tazd”. Jawab Ismul tak kalah tegasnya. Ismul kembali ke sipat awalnya ketika baru pertama masuk di klinik ini.
”Maksud Antum apa? Saya kira Antum sudah tau jelas peraturan di sini”. Sanggah Ustazd Syaiful.
”Iya, saya kira Bu Rissa sudah menjelaskan kepada Ismul dengan sejelas-jelasnya tentang peraturan yang ada di klinik ini”. Bu Mila ikut angkat bicara dengan nada yang lembut.
”Gini ya Akhi Ismul, keputusan yang kami ambil ini adalah demi kebaikan bersama, kebaikan klinik, kebaikan kalian berdua dan kebaikan Ikhwan dan Akhwat yang ada di sini. Tidak ada yang tau tentang semua ini, kecuali Allah dan kita berlima ini, jadi ketika diumumkan pernikahan nanti, tidak ada wacana yang menyatakan kalian dinikahkan karna ketahuan pacaran, tapi wacana yang muncul nantinya adalah kalian dinikahkan karna kami yang menjodohkan. Karena kita sangat menghidari yang namanya ghibah dan fitnah yang akan muncul dari ikhwan dan akhwat yang ada di klinik ini yang akan membuat kita memakan bangkai saudara sendiri, Na’udzubillahi min dzalik”. Bu Yeti menimpali.
”Maaf ...!!! Saya tidak bisa...!!!”. Jawab Ismul lirih.
”Iya Bu...!!! kami belum siap untuk menikah”. Yuli yang dari tadi hanya diam juga angkat bicara setelah menyeka air matanya.
”Yang pasti kami belum siap menikah, dan sekarang semuanya terserah para Owner saja, kami siap menerima keputusan yang terburuk sekalipun”. Tungkas Ismul dibarengi anggukan Yuli.
”Baiklah, saya tidak akan memaksa kalian, tetapi demi nama baik kalian, demi nama baik klinik dan demi tegaknya syari’at islam di sini, saya mencoba berpikir bijak, ada satu hal yang bisa saya ambil keputusan dari pertemuan ini, saya tidak akan mengeluarkan kalian berdua, karna akan memunculkan kecurigaan di kalangan ikhwan dan akhwat ketika kalian di keluarkan bersamaan. Maka saya tidak mengelurkan kalian berdua, tetapi mengeluarkan salah satu di antara kalian berdua”. Jelas Ustazd Syaiful dengan tegas.
”Mengenai siapa yang harus keluar di antara kalian berdua, saya tidak bisa memutuskan. Kalian berdua lah yang memutuskan. Dan saya harap ketika pertemuan rutin seluruhikhwan dan akhwat pada besok lusa. Salah satu di antara kalian ada yang mengumumkan pengunduran diri, dengan alasan yang dibuat sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kecurigaan di kalangan Ikhwan dan akhwat”. Ustazd Syaiful melengkapi penjelasannya.
Hening, derai air mata Yuli semakin memilukan suasana. Suram, udara saat itu terasa bertuba. Kerlingan secerca kebahagiaan kemaren yang masih tergambar jelas, kini terlihat buram oleh keputusan yang dilayangkan owners, keputusan yang sangat adil, tetapi tidak untuk keadaan Yuli dan Ismul saat ini.
”Baiklah, silahkan kalian berdua keluar!!! Besok lusa saya tunggu dalam pertemuan mingguan”. Tutup Ustazd Syaiful dalam pertemuan itu.

***

Hari ini adalah Hari Sabtu, hari dimana pertemuan mingguan rutin dilaksanakan, hari ini terlalu panas baginya, walaupun mentari terlihat sendu, guratan awan hitam seakan menertawakannya, pekik elang tua seakan memperkeruh suasana hati, desir aliran darah seakan medidih, kemudian menimbulkan letupan-letupan bola api yang berpusat di jantung hatinya. Ya, di jantung hati Ismul yang mengambil keputusan berat hari ini.
Pertemuan mingguan ini membahas segala macam permasalah dan keluhan-keluhan olehikhwan dan akhwat yang ada di klinik ini, dengan tujuan yang sama adalah memperbaiki pelayanan dan eksistensi pengobatan thibun nabawi terhadap masyarakat Islam.
” Baiklah, apakah tidak adalagi yang ingin disampaikan? Kalau tidak ada, pertemuan hari akan kita tutup”. Jelas akhwat Rina yang saat itu bertugas sebagai moderator.
”Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. Ucapan salam pembuka Ismul membuatakhwat Rina memepersilahkan Ismul menyampaikan sesuatu.
”Wa’alaikum salam”. Ikhwan dan akhwat menjawab serentak.
”Suatu kebahagian, suatu kebanggan, dan suatu kehormatan bagi saya bisa bekerja di sini. Banyak ilmu yang saya dapatkan di sini, suasana kekeluargaan, suasana persaudaraan seakan menjadi mutiara paling berharga yang tak mungkin bisa saya lupakan”. Lirih Ismul dengan mata berkaca-kaca, tetapi air matanya tidak sampai jatuh keluar, mungkin jatuh kedalam, ya ke dalam ulu hati dan membentuk genangan yang nantinya menjadi tempat berkubangnya keperihan.
”Istilah ada pertemuan pasti ada perpisahan, merupakan pepatah yang tak sembarangan, karna ini adalah kenyataan, setiap orang yang bertemu pasti akan berpisan, entah seperti apa cara perpisahan itu berlangsung”. Ismul melanjutkan pembicaraannya dengan nada yang berusaha menahan linangan air.
”Hari ini, saya mengundurkan diri dari klinik Thibun Nabawi”.
Darrr...!, seperti peluru kendali yang meremuk-redamkan perasaan Yuli saat itu, ketika mendengar pernyataan Ismul. Air matanya tak terbendung, dan sebagian akhwat yang lain juga ikut larut dalam suasana haru itu, karena mereka sudah menganggap semua ikhwandan akhwat di sini seperti keluarga sendiri, apalagi Ismul merupakan sosok yang membawa keceriaan di klinik ini. Ismul mengatur nafasnya, kemudian melanjutkan penjelasannya.
”Dari sejak SMP dulu.....”. Ismul menggunakan istilah SMP, padahal dia lulusanTsanawiyah, itulah Ismul yang masih belum mau menunjukkan dirinya sebagai orang mempunyai dasar yang kuat dalam ilmu agama.
” Saya sudah mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis, di awali menulis puisi kemudian sekarang mulai menekuni cerpen. Alhamdulillah beberapa cerpen saya sudah sering muncul di surat kabar harian lokal maupun majalah nasional. Kemaren sebuah majalah mingguan terkemuka nasional, meminta saya untuk mengisi cerpen maupun puisi tiap minggunya, sementara surat kabar lokal juga meminta saya untuk menulis puisi mingguan dengan tema yang mereka tentukan. Perlu waktu luang bagi saya untuk mencari inspirasi dalam menulis. Berkunjung ke beberapa tempat yang istimewa merupakan hal yang sering saya lakukan untuk mencari inspirasi, sehingga ketika saya masih bekerja di sini, saya tidak mempunyai waktu luang untuk mencari suasana yang mendukung inspirasi muncul. Saya harap owner menerima pengunduri diri saya”. Jelasa Ismul panjang lebar, dan merupakan alasan yang sangat tepat dan masuk akal. Karena apa yang disampaikan Ismul bukan semuanya kebohongan. Yang merupakan kebohongan adalah ketika dia menyatakan bahwa ketika masih di klinik dia sulit mendapat inspirasi, padahal yang namanya inspirasi bisa muncul di mana saja, tetapi dia harus menepati janji dengan owneruntuk mengundurkan diri dari klinik
”Kalau memang itu merupakan keputusan Antum, kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya berharap semoga Antum di luar bisa berprestasi lebih baik”. Jawab Ustazd Syaiful.
”Iya, saya juga mau meminta maaf  kepada ikhwan dan akhwat yang ada di sini, kalau-kalau selama ada di sini, ada perkataan saya maupun tindakan saya yang kurang berkenan baik di sengaja maupun tidak”. Jawab Ismul.
”Kenapa mendadak seperti ini? Jujur ini merupakan sesuatu yang tidak pernah kami duga sebelumnya, dan yang saya tau Ismul sudah menjadi penulis dari awal masuk di sini, Ismul mengambil jam pagi, karna sore dia fokuskan untuk menulis, dan saya lihat selama ini tidak ada sesuatu tanda-tanda yang menunjukan bahwa Ismul sulit atau terbebani dalam bekerja seperti itu”. Jelas Bu Rissa yang sedikit curiga.
”Iya, tapi itu sebelum Ismul mendapat tawaran mengisi tulisannya pada beberapa media cetak terkemuka”. Ustazd Syaiful menjelaskan seakan mengetahui dengan jelas tentang kegiatan Ismul. Ikhwan dan akhwat saling berpandangan dan menambah kecurigaan di antara mereka terhadap apa yang terjadi.
”Baiklah, saya kira sampai di sini pertemuan kali ini, dan buat Ismul semoga tidak lupa dengan klinik ini, dan dengan keluarnya antum saya harap tidak memutuskan silaturrahmidengan kita semua yang ada di sini. Marilah kita membaca Hamdalah, istigfar tiga kali dan do’a kifaratul majlis”. Ustazd Syaiful mengambil alih peran akhwat Rina sebagai moderator yang harusnya menutup pertemuan ini. Begitulah suasana sandiwara hari itu, Ismul dan Ustazd Syaiful menjadi aktor utama yang terpuji dalam sandiwara alasan pengunduran diri Ismul.

***

Desir angin malam mulai menyentuh tubuhnya. Pekik binatang malam menyerukan kesunyian malam. Rembulan pun pucat pasi. Gurat awan seakan melukiskan kekecewaan penghuni langit kepada khalifah bumi. Mata Yuli masih terlihat sembab. Pandangan terasa kosong. Hanya pikirnya yang melayang ke sana kemari. Kota Banjarbaru mulai menutup matanya. Lapangan Murjani mulai kehilangan penghuni. Taman Idaman sudah tak bertuan. Tapi Yuli masih saja terjaga di malam dena itu. ”Kenapa ini harus terjadi kepadaku” pikirnya. Ya, Ismul lah saat ini yang membuat mata sayu gadis ini tak terlelap. Cintanya kepada Ismul sudah terlalu kokoh di sanubari. Di beranda rumah kontrakan, di lantai dua tepatnya mata sayu itu memandang ke langit teduh dan menatap ke angin mendayu. Desah helaan nafas kerinduan terpatri dalam gurat wajah kecemasan. Cemas akan nasib hubungannya bersama Ismul. Terang saja, seminggu sudah setelah pengunduran diri Ismul dari klinik, seminggu pula mereka tidak ada komunikasi. Sempat terpikir olehnya untuk keluar dari klinik pengobatan thibun nabawi ini, kemudian melanjutkan hubungan dengan Ismul. Hubungan yang sekarang masih belum jelas statusnya. Tetapi klinik thibun nabawi sudah seperti rumahnya yang kedua. Banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan dan tinggalkan begitu saja. Kebersamaan, kekeluargaan, dan ketenangan di klinik thibun nabawi membuatnya seperti mempunyai keluarga di perantauan ini. Bertahan di klinikthibun nabawi adalah keputusannya saat ini. Walaupun harus berjuang menahan perih, perih karena rindu kepada pujaan hati. Sakit. Sakit karena sang pangeran tak lagi nampak dalam genggaman. Angin masih saja menusuk-nusuk pori tubuhnya saat itu. Tetap terjaga dalam dekapan malam yang kian beku. Tiba-tiba sebuah sms masuk diterimanya, dan betapa terkejutnya dia karena sms itu berasal dari orang yang dipikirkannya saat ini. Iya,sms dari Ismul yang memintanya bertemu di lapangan Murjani besok sore ba’da Ashar. Antara bahagia dan ragu-ragu kembali menyelimutinya. Bahagia melepas rindu dengan belahan jiwa tautan jantung. Tetapi ragu, ragu karena harus melanggar janji dengan para owner klinik thibun nabawi untuk tidak lagi menemui Ismul selama dia masih bekerja di klinik thibun nabawi. Entahlah, dia masuk kamar dan memejamkan mata, kemudian memutuskan untuk menemui Ismul besok sore, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda, perjalanan menuju tempat yang jauh. Jauh, yang hanya bisa di gapai oleh angan.


Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/kebisingan-cinta/10150421801118242

0 komentar: