Cerpen Khairi Muhdarani: Miss. Pink

20.12 Zian 0 Comments

Motorku terus membelah jalan. Konferense Rajab yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gelora 17 Mei Banjnarmasin adalah tujuanku saat ini. Bukan, aku bukan orang HTI, aku hanya mendapat tiket dari teman kerjaku untuk mengikuti acara itu. Tentu saja semangatku sangat tinggi saat itu, karena selama ini aku hanya sering melihat orang-orang HTI di televisi, dan itulah aku, selalu ingin tahu, dan tidak lebih, hanya ingin tahu.
Kota Banjarbaru masih terlihat lengang saat itu, aku terus memacu motorku membelah Jalan A.Yani. Telapak tangan Samsudin Noor saat itu menyambut sebuah pesawat dengan sigapnya. Satu jam perjalanan, dan jantung kota Banjarmasin berdetak sedikit kencang saat itu. Bendera al-liwa’ dan ar-rayah yang merupakan bendera panji perjuangan islam berkibar di sepanjang jalan kota Banjarmasin.
Aku tiba sekitar satu jam setelah acara dimulai, Stadion 17 Mei padat, sangat padat, beberapa bus dan mobil terlihat memenuhi jalan di depan Stadion 17 Mei itu, belum lagi parkiran motor yang tersusun rapi bak prajurit yang akan berperang.

Aku melangkah menuju pintu masuk S-3 di sudut kanan Stadion 17 Mei, dengan tiket yang sudah tertulis namaku (Ismul Efendi Atasi), aku langsung memasuki Stadion 17 Mei. ”Takbir...!”. Teriak salah seorang saat itu. ”Allahu akbar”. Teriak ribuan peserta yang lain. ”Khilafah,, Khilafah,, Khilafah...!!!”. Sekelompok orang memulai, kemudian di ikuti ribuan peserta lainnya.
Aku masih saja duduk di tribun paling depan saat itu, dan masih sangat asing dengan yang ku lihat saat ini, ya, aku mengerti, negara islam di bawah kepemimpinan khilafah yang menjadi tujuan mereka. Aku masih tertegun, aku orang islam, dan bangga kalau hidup di bawan kepemimpina khilafah, tetapi aku sangat cinta NKRI, walau seperti apapun pemerintahannya, aku akan terus menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan bangsaku yang rela mengorbankan jiwa raga demi tumpah darah Indonesia. Begitulah aku, selalu prinsifku, mau negara islam ataupun negara republik, yang penting jalankan syari’at islam dan di akhirat nanti Allah akan mempertanyakan amal ibadah kita, tanpa bertanya ”kamu tinggal di negara mana?”. Tetapi aku juga senang kalau HTI berhasil mendirikan negara khilafah. Ya, begitulah aku, ”terima beres”. Buat HTI teruslah berjuang dengan cara yang sopan dan jauh dari anarkisme. Jangan seperti oknum NII yang sekarang meresahkan bangsa.
Sambutan-sambutan dari beberapa tokoh dan alim ulama sedikit membuatku bosan saat itu, tak satupun dari tokoh ulama itu yang aku kenal. Entahlah, mungkin karena aku tidak terlalu dekat dengan ulama, atau malah ulamanya yang tidak mendekat kepadaku (hehehe). Aku memutuskan untuk keluar dan berwisata kuliner dengan makanan jajanan yang ada di luar. Pemandangan yang kontras terlihat diluar, seakan tak ada batas antaraikhwan dan akhwat, mahasiswa dan mahasiswi dari perguruan tinggi islam di Banjarmasin sepertinya, iya aku kenal betul warna almamaternya. Boncengan satu-satu naik motor, bersenda gurau dan sangat dekat sepertinya. Tiba-tiba mataku terpokus pada satu titik, titik dimana sosok wanita dengan pakaian merah muda dan dibuat serasi serba merah muda. Matanya yang sayu, bibirnya merah delima, alis tebal dan senyum menawan bak primadona di siang itu. Udara siang itu terasa panas, debu halaman Stadion 17 Mei memerahkan mata. Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang di bawah pohon palem di depan Stadion 17 Mei saat itu dan mataku masih tertuju kepada gadis itu, gadis yang sedang membeli makanan jajanan di bawah terik matahari saat itu. Tiba-tiba gadis itu berjalan ke arahku, dia melambaikan tangannya dan aku hanya bisa tersenyum ragu. Gadis itu terus mendekat, detak jantungku semakin kencang, menimbulkan letupan-letupan bola api di setiap aliran darahku, mata sayu itu memandang ke arahku dan terus mendekat dengan langkah pasti yang anggun dan aku semakin tidak karuan dibuatnya. Gadis itu terus berjalan, hau.... tetapi melewatiku, dan ternyata ada temannya di belakangku, dan tadi gadis itu melambai kepada temannya, Astagfirulloh malunya aku.
Rasa malu perlahan bisa kubuang bersama lalu-lalang peserta konferensi rajab yang saat itu membeludak. Gadis-gadis anggun menjadi pemandangan yang tak ingin ku lewatkan saat itu, walaupun tak seanggun gadis berpakaian merah muda yang terlihat asyik ngobroldi belakangku itu. Malu rasanya kalau aku melihat ke belakang, sehingga aku tak terlalu memperhatikannya. Mengurangi rasa suntukku, ku ambil sebuah buku kecil yang aku pinjam di perpustakaan Banjarbaru beberapa hari yang lalu, sebuah buku berjudul ”Tasawuf” itu kulahap kata demi kata. Ada yang lewat di sampingku. Apakah gadis berbaju merah muda itu?. Bukan. Bukan gadis itu, tetapi teman yang di sebelahnya tadi. Dan berarti? Iya berati dia sendirian. ”Wah ini peluang emasku untuk mendekatinya”. Pikirku. Tetapi kejadian memalukan tadi membuatku mengurungkan niat, dan tetap fokus dengan santapan kata demi kata pada buku yang kupegang saat ini.
Panas terik terus menjilat-jilat perut bumi. Deru takbir masih saja terdengar jelas dari luar stadion ini.
”Boleh aku duduk di sini?”. Tiba-tiba gadis yang di belakangku tadi menyapa dan langsung duduk tanpa kupersilahkan. Dan aku hanya senyum saat itu. Walaupun detak jantung tak karuan.
“Baca buku apa?”. Tanyanya pelan. Dan suara itu. Entahlah, kenapa rasanya terlalu lembut kata-kata itu ku dengar, dan menyentuh gendang telingaku dengan perlahan.
“Buku ‘Tasawuf’, kemaren pinjam di perputakaan daerah”. Jawabku santai. Begitulah jurusku keluar. (Sok cool dan cuek. Padahal ngarep.ckckck).
”Suka ’Tasawuf’ ya?”. Tanyanya lagi.
”Iya, Tasawuf membawa ketenangan jiwa”. Jawabku
”Dari mana?”. Tanyanya singkat.
”Apanya yang dari mana?”. aku bingung balik tanya.
”Sampeyan dari mana?”. tanyanya memperjelas.
”Oh, Aku toh, dari Martapura”. Jawabku. Dan masih dengan jurus sok cool.
“Sudah lama jadi anggota HTI?”. Tanya lagi.
”Aku bukan anggota HTI”. Jawabku singkat.
”Terus kenapa bisa hadir di acara ini?”. Tanyanya lagi.
”Dapat tiket dari teman”. Jawabku singkat.
”Kalau bukan anggota, kenapa jadi minat datang kesini?”. Tanya lagi.
Aku sempat berpikir ”Wah ini orang nanya terus, untung ini orang sangat cantik, jadi biar ditanyai sampai malam, bakalan aku jawab terus”.
”Ouy, kok bengong”. Sapanya.
”Oh iya, nyari inspirasi aja ke sini”. Jawabku.
”Inspirasi apa?”. Tanyanya.
”Inspirasi cerpen atau puisi”. Jawabku.
”Kamu penulis ya?”. Tanyanya antusias. Dan aku tak menjawab.
“Udah dapat inspirasinya?”. Tanyanya lagi.
”Udah”. Jawabku singkat
”Apa inspirasinya?”. Tanyanya dengan mimik penasaran.
”Gadis cantik dengan pakaian serba merah muda, mata sayu, senyum manis dan tutur lembut, yang saat ini ada di sampingku dan berbicara denganku adalah inspirasinya”. Jawabku sekenanya sambil berdiri dan berjalan menuju pintu masuk stadion.
”Berarti aku dong?”. Teriak gadis itu ketika aku meninggalkannya beberapa langkah. Dan aku hanya berpaling sebentar mengedipkan mata, kemudian dibalas dengan senyumannya dan aku terus berjalan menuju pintu stadion.
Gemuruh takbir terus berkumandang saat itu, aku berjalan untuk mencari tempat kosong di tribun, dan mataku tertuju pada sekelompok orang yang membentangkan pamplet bertuliskan ”Forum Mahasiswa Kesehatan Kalimantan Selatan, Siap Berjuang untuk Negeri Khilafah”. Aku mendekati kelompok itu dan tak perlu waktu lama bagiku untuk dekat dengan mereka, karena sama-sama dari kesehatan, maka pembicaraan kamipun satu arah. Walaupun mereka dari perguruan tinggi swasta, tetapi intelektualitas mereka tentang kesehatan sangat baik. Takbir kembali bergumuruh, dan acara memasuki aksi teatrikal. Dalam teatrikal itu digambarkan dengan beberapa orang yang bersatu memegang peta dunia, kemudian beberapa orang itu berlari berpencar, masing-masing membawa bagian belahan dunia yang melambangkan pecahnya dunia islam, setelah itu masuk sekitar sepuluh orang, tiap orang membawa papan nama bertuliskan beberapa negara, ada Palestina, Irak, Iran, Afganistan, Arab Saudi, Mesir dan beberapa negara Islam lainnya. Dalam teatrikal itu diperlihatkan orang yang membawa papan nama Amerika Serikat dan papan nama Israel bersalaman, kemudian satu persatu menjatuhkan beberapa orang yang memegang papan nama negara Islam lainnya. Beberapa saat kemudian masuk tiga orang siswa SMU yang memainkan adegan tauran, dua orang memerankan pemabuk, dan empat orang memerankan adegan pengemis meminta-minta kepada si kaya. Teatrikal terlihat jelas menggambarkan semerautnya keadaan dunia islam saat ini, dan selang beberapa saat muncul lah beberapa orang berlarian dengan bendera al-liwa’ dan ar-rayah. Mereka datang mengatur dan menghapus segala kekacauan itu dan dibarengi dengan masuknya beberapa orang yang memegang peta dunia, melambangkan bersatunya negeri khilafah. Tepuk tangan dibarengi takbir berkumandang, kemudian sebuah lagu perjuangan khalifah yang entahlah, aku sendiri tidak terlalu jelas mendengarnya, mungkin telingaku kurang peka karena aku terlalu cinta dengan NKRI, walaupun tidak keberatan dengan kepemimpinan khalifah. Acara ditutup dengan sebuah do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh yang kembali aku tidak ingat namanya. Ingatanku malah terfokous pada gadis tadi, gadis dengan pakaian merah muda dan dibuat serasi serba merah muda. Matanya yang sayu, bibirnya merah delima, alis tebal dan senyum menawan bak primadona di siang itu, kembali membuyarkan pikiranku. ”Bodoh, kenapa tadi engga nanya namanya?”. Pikirku dalam hati. Aku berjalan keluar dari stadion dan sedikit berdesakan. Tiba-tiba dari kejauhan aku meliahat gadis itu, ya gadis yang tadi ngobrol denganku. Aku lihat dia sudah masuk mobil. Bukan. Bukan masuk mobil, tapi sepertinya dipaksa masuk mobil oleh beberapa temannya yang berpakaian serba putih. Iya, aku sangat hapal pakaian teman-temannya itu, logo Poltekkes pada lengan baju sebelah kiri, dan pada sebelah kanan bertuliskan ’jurusan keperawatan’, menjelaskan bahwa teman-temannya itu mahasiswa Poltekkes Banjarmasin, jurusan keperawatan.
Aku berdiri di tepi jalan, dan pandangaku masih tertuju pada mobil itu, mobil dimana gadis itu berada didalamnya. Dari jendela mobil, gadis itu terlihat senyum ke arahku, kemudian melambaikan tangannya dan aku pun melihat kesekitarku, melihat ke kiri dan kekanan, melihat ke depan dan ke belakang, takut kejadian yang barusan terjadi beberapa jam yang lalu terulang lagi, takut kalau-kalau dia tidak melambai kepadaku, karena malunya bukan main. Tetapi benar, benar dia melambai tangan kepadaku, dan aku pun mendekat ke arah mobil itu dengan detak jantung yang kian kencang, dan setelah aku hampir sangat dekat, mobil itu jalan. Iya, mobil berplat merah itu jalan, jalan meninggalkanku dan gadis itu sempat melemparkan sebuah kertas ke arahku. Aku mengambil kertas itu dan membukanya:
”Namaku Selvi, kalau mau kenal lebih jauh, hubungi aku di nomor 0511-4433221”.
Aku tersenyum girang, kemudian menyimpan kertas itu.
Sesampainya di rumah aku langsung menghubungi nomor yang ada di kertas itu, dan seorang wanita yang mengangkat.
”Hallo, Assalamu’alaikum”. Aku mengucap salam setelah telepon di angkat.
”Wa’alaikum salam, Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Ada yang bisa saya bantu?”. Kata wanita yang mengangkat telepon itu. Dan aku sangat kaget dengan jawaban itu.
”Maaf, apakah ini nomor 0511-4433221?”. Tanyaku sedikit bingung.
”Iya, Benar Pak”. Kata wanita itu.
”Maaf Mba, apakah di sana ada seorang perawat yang bernama Selvi?”. Tanyaku sedikit gugup.
”Emm. Kalau perawat tidak ada sepertinya. Tapi kalau pasien ada yang namanya Selvi, dan kami biasanya memanggilnya Miss.Pink, karena dia suka memakai pakaian serba merah muda. Bahkan tadi siang dia sempat kabur dari sini, tapi alhamdulillah kami berhasil menemukannya di depan Stadion 17 Mei Banjarmasin”. Jelas Wanita itu
”Memangnya kenapa Pak?”. Lanjut wanita itu.
”Engga, engga papa Cuma nanya aja”. Jawabku gugup dan langsung mematikan telpon.
Aku menghela napas, dan menyapu keringat di keningku. Kemudian aku tertawa geli dan senyum-senyum sendiri di kamar.***

Astambul, 4 Juni 2011.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/miss-pink/10150377136478242

0 komentar: