Cerpen Khairi Muhdarani: Seonggok Biru Langit
Aku akan bercerita. Bukan dengan deraian mata yang rasanya tidak terlalu penting untuk dijelaskan. Cerita yang terlalu membirukan hati tetapi menggambarkan senyum buram di wajahku. Rasanya terlalu biasa dunia ini, ya sangat biasa. Dunia ini hanya rotasi jam dari angka satu sampai angka dua belas yang kembali ke angka satu lagi. Ya, cuman rotasi hari yang membosankan, dari hari Minggu sampai Sabtu, toh! Kembali ke hari minggu lagi. Atau rotasi bulan yang di awali Januari sampai Desember yang tak tau malah kembali ke Januari lagi. Bisik-bisik kegembiraan hanya bualan alam yang tak pernah nyata dalam hidupku. Baiklah, kalian harus mendengar ceritaku, walaupun aku sedikit berbisik. Dan kalian harus menyaksikan cerita ini walaupun aku tampilkan dalam keadaan sedikit buram. Dan inilah ceritaku, cerita tentang seonggok biru langit.Aku masih saja terdiam memandang seonggok biru langit. Dan kening sedikit mengerit. Indah dan memang indah karena dipingit. Iya dipingit oleh alam yang membuatku sakit. Seonggok biru langit ini kurampas dari alam semak belukar. Setelah melewati hutan yang lebat tak terjamah oleh mentari yang katanya cahayanya kekar. Gurat-gurat seonggok biru langit kurampas dalam diam dan kuambil dalam malam yang kelam. Masih ku ingat singa jingga yang meraung geram, atau ular kobra yang mendesis sinis. Iya, aku memang lancang, aku mengambil seonggok biru langit dalam kelam malam. Iya, karena terlalu banyak penjaga di siang hari yang masih saja terlihat malam di hutan mencekam itu.
Aku menatap seonggok biru langit yang kini kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Karena dia sangat benci dengan seonggok biru langit yang sangat menjijikan katanya. Desah, kagum dan nafsu berselimut tajam dalam benakku. Walupun aku sudah mengambilnya dalam diam. Seonggok biru langit ini katanya menjadi rebutan pendekar-pendekar di dunia persilatan lidah ini. Mungkin aku terlalu beruntung mendapatkan seonggok biru langit ini. Walaupun aku mengambilnya dalam diam. Dalam tidurnya.
Gelegar. Buyar. Kacau. Bagai badai menerpa geram. Muka seperti dicoret arang ketika pendekar-pendekar itu mendengar berita tentang hilangnya seonggok biru langit dari hutan mencekam itu. Apalagi seonggok biru langit itu dicuri seorang pemuda biasa dari kampung lusuh negeri seberang. Geram dan terus mencari pemuda yang telah mencuri seonggok biru langit dari hutan mencekam merupakan kewajiban bagi pendekar-pendekar yang merasa terlecehkan dengan semua itu.
Aku masih saja menatap seonggok biru langit yang kini kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Seonggok biru langit bergerak dan bercahaya. Iya, cahaya seonggok biru langit itu menyesakkan kamarku. Saraf-sarafku yang tadinya tersusun rapi menjadi buyar dan bergerak memacu aliran darahku yang membentuk gumpalan-gumpalan dahsyat dan meledak-ledak tepat di jantungku. Iya, cahaya seonggok biru langit mencoba membobol jendela kamar atau celah-celah lain untuk mengeluarkan cahayanya. Dan tidak, aku tidak akan membiarkan orang lain menikmati cahaya ini. Aku tak ingin ada yang melihat cahaya dari seonggok biru langit selain aku. Aku mendekap seonggok biru langit, menutupinya dengan tubuhku. Tentu saja agar cahayanya tidak memantul ke luar dan menerobos celah-celah jendela kayu di kamarku ini. Aku mendekapnya erat, sangat erat, dan menghasilkan pergumpalan yang membuat seonggok biru langit mendesah dan munutup rapat cahayanya, kemudian kembali tertidur dalam cahaya buram.
Aku masih saja menatap seonggok biru langit yang kini kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Desahnya masih sangat samar, cahayanya masih meredup oleh dekapanku yang perlahan kulepas tenang. Riuh rendah di luar semakin menggerutu. Pendekar-pendekar berlari mondar-mandir tidak tentu. Ada juga yang bersemedi dengan jin dan hantu. Atau yang geram menendang pintu. Dengan tujuan yang masih satu. Iya, tujuan masih satu, mencari seonggok biru langit yang keberdaan tak menentu.
Aku masih saja menatap seonggok biru langit yang kini kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Hening. Dan sedikit sepi. Senja itu , tak tau dan buta aku akan warnanya, ku rasa angin sejuk menggerayangi tubuh, kemudian menggelitik pundakku. Mataku masih tertuju pada satu titik, titik dimana seonggok biru langit mendesah liar. Senja itu, senja dimana pikir dan hati berdebat keras, lebih keras dari ” PANSUS CENTURY” yang main politisir. Sepi, hening, senyap. Begitulah suasana saat itu, mentari mulai menepi di sudut bumi, lemas, lemas kemudian hilang. Burung-burung kembali ke singgasananya, malam mulai membuka jubah hitamnya yang pekat, diwarnai nyanyian binatang malam yang berisik. Rembulan pun pucat pasi dan gurat-gurat awan seakan melukiskan kekecewaan langit terhadap bumi. Aku pun masih di sini, di sudut ruangan ini. Masih dengan tatapan tajam ke arah seonggok biru langit yang ku curi kemaren malam. Malam yang dena mematrikan ketakutanku. Takut akan cahaya seonggok biru langit yang akan menerangi malam ini. Takut cahayanya mengundang perhatian pendekar-pendekar sakti dari negeri seberang melihatnya. Dan takut. Aku lebih takut cahaya seonggok biru langit di lihat oleh pacarku. Cahaya seonggok biru langit yang memenuhi kamarku ini dapat menyulut geram pacarku.
Aku masih saja menatap seonggok biru langit yang masih kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Dia kembali mengeliat dan dalam buram kembali memancarkan cahayanya perlahan. Butiran keringan sebiji jagung tumbuh dikeningku. Gemetar dan aku menggigil. Aku mendekapnya kembali dalam gumalan kepasrahannya dan ketakutanku. Takut cahayanya dilihat orang. Takut cahayanya dilihat pendekar-pendekar dari negeri seberang. Takut cahayanya mengundang perhatian pacarku yang sebentar lagi menjadi isteriku.
Aku masih saja menatap seonggok biru langit yang masih kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja tanpa sepengatahuan pacarku. Aku menyudutkan pikir. Memandang ke angin mendayu dan ke rasa tak terjamah. Bisik-bisik alam seakan mengataiku. Desir angin seakan melototiku. Pekik binatang malam seakan menghujatku. Aku seakan dikepung rasa bersalah. Bersalah karena mencuri seonggok biru langit dari hutan mencekam di negeri seberang. Bersalah karena menyimpan seonggok biru langit di kamarku, tanpa sepengetahuan pacarku yang sebentar lagi menjadi isteriku. Iya, pacarkan akan menjadi isteriku dan tinggal di kamar ini bersamaku. Terus bagaimana jika dia melihat seonggok biru langit ini di kamarku?. Betapa murkanya dia terhadapku jikalau dia melihat semua ini. Iya, aku harus mengembalikan seonggok biru langit ini. Mengembalikannya ke hutan mencekam di negeri seberang.
Aku berjalan menyelinap dalam gelap. Tanganku masih memegang seonggok biru langit yang bernafas sedikit mangap. Gerimis malam memercikan dunia mistis. Aku terus saja berjalan. Menunggu pendekar-pendekar itu tertidur, dan menunggu pacarku terlelap, kemudian terus berjalan membawa seonggok biru langit. Hutan mencekam adalah tujuanku. Akan kuletakkan kembali seonggok biru langit di sana dengan terpaksa. Sepi. Dan sangat sepi sepertinya. Aku menelusuri jalan setapak. Terus berjalan tanpa melepas seonggok biru langit. Dan aku tersentak kaget. Obor-obor itu mendekat. Iya, kerumunan pendekar-pendekar itu berlari ke arahku. Nampak juga disana pacarku. Iya, pacarku disana bersama mereka. Bersama pendekar-pendekar itu yang akan menghakimiku dengan sangat tidak adil. Aku berlari. Berlari sangat kencang. Meninggalkan seonggok biru langit ditengah jalan. Tanganku yang takut melepas seonggok biru langit begitu saja. Aku lari selarinya. Aku bersembunyi disebuah bukit setan. Iblis-iblis gentayangan sepertinya melindungiku. Aku menatap ke arah kerumunan obor itu dari puncak bukit setan. Mereka mengerumuni seonggok biru langit yang kulepas di jalan.
”Wah, ini ya seonggok biru langit itu?”. Desus salah seorang pendekar dari telaga mayat.
”Indah ya?”. timpal seorang pendekar dari bukit serigala.
”Mana cahayanya?”. Timpal pacarku penasaran.
“Iya, mana cahayanya?”. Yang lain ikut menimpali.
“Wah, cahayanya sudah hilang”. Seorang pendekar dari hutan kobra berucap sambil mengacungkan obor ke arah seonggok biru langit.
“Iya, cahayanya sudah hilang, sepertinya cahayanya sudah diambil pencuri dari negeri seberang itu”. Timpal pendekar dari gunung macan hijau.
“Ah, percuma. Sudah tidak ada cahayanya lagi”. Lirih pendekar dari telaga mayat sambil berbalik meninggalkan seonggok biru langit itu. Pendekar-pendekar yang lain pun secara bergantian meninggalkan seonggok biru langit itu. Dan tinggallah seonggok biru langit di tepi jalan.
Pekat malam mematrikan sepi. Aku turun dari bukit setan dan mendekati seonggok biru langit. Seonggok biru langit mendesah dengan kedatanganku. Memelas dan merintih. Sepertinya mengaharap iba dariku yang merenggut cahayanya. Aku memungut seonggok biru langit dan membawannya kembali ke rumahku. Ke kamarku.
Aku menatap seonggok biru langit yang kembali kutaruh rapi di kamarku. Tentu saja kali ini dengan sepengatahuan pacarku. Iya, kali ini sepengetahuan pacarku yang batal menjadi isteriku. Seonggok biru langit itu samar-samar sedikit memancarkan cahaya. Terus memancarkan cahaya. Perlahan dan terus hingga cahayanya menerangi kamarku. Dan aku membiarkan cahaya seonggok biru langit membobol jendela kayu di kamarku. Membiarkan cahaya seonggok biru langit menembus celah-celah sempit dikamarku. Membiarkan pendekar-pendekar negeri seberang melihatnya. Membiarkan pacarku melihatnya. Membiarkan mereka melihat cahaya seonggok biru langit yang kudekap tanpa ada lagi rasa takut. Tanpa ada lagi rasa bersalah. Karena cahayanya memang untukku.
Astambul, 14 Juni 2011.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/seonggok-biru-langit/10150391601728242
0 komentar: