Cerpen Khairi Muhdarani: Balasan Surat Melia (Lukisan Malam)
Ismul yang malang,Suratmu sudah kuterima siang kemaren, lengkap bersama “Lukisan Malam” yang temaram. Tak suatu apapun yang kurang dari lukisan itu. Warnanya masih jelas, walaupun hanya ada putih dan hitam. Baunya juga masih wangi. Mungkin parfum yang kamu gunakan adalah merk nomor satu. Tapi bagaimana kamu bisa membeli parfum semahal itu. Bukankah kamu orang yang tak berpunya. Lebih tepatnya melarat. Sekarat. Mudah-mudahan bukan keparat. Apakah kamu mencuri parfum itu? Atau kamu menabung untuk membelinya. Ah, entahlah. Aku hanya ingin menyampaikan tentang “Lukisan Malam” ini.
Ismul yang malang dan akan selalu malang,
Sebelumnya aku tidak menduga kau akan mengirimkan sebuah “Lukisan Malam” untukku. Aku pun sudah lupa, apakah benar aku pernah memintanya kepadamu? Mungkin. Aku juga tak terlalu mengingatnya. Karena aku bukanlah orang yang mudah mengingat sesuatu, apalagi yang tidak penting. Sebuah kepentingan memang sesuatu yang relatif, tak bisa diukur berdasarkan takaran semua orang. Karena setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda. Sama seperti pentingnya “Lukisan Malam” ini untukmu. Tapi apakah lukisan ini penting bagiku? Tentu saja kamu harus mengetahuinya.
Aku tidak mengerti ”Lukisan Malam” ini. Lebih tepatnya aku tidak mengerti cara kamu berpikir. Bagaimana mungkin kamu hanya melukis malam dengan dua warna. Hanya ada hitam dan putih. Terlalu sederhana atau malah disederhana-sederhanakan. Terus kenapa kamu tidak bisa menyederhanakan cintamu kepadaku?. Aku tak bisa memandang malam sesederhana itu. Mungkin di desamu malam hanyalah hitam dan putih. Tetapi kau harusnya tahu di tempatku. Di sini malam ada kemerlap patamorgana cahaya. Seluruh cahaya bebaur dari sorot kemerlap lampu kota. Dan sangat omong kosong jika malam hanyalah hitam dan putih. Hidupku penuh cahaya. Segala sesuatu adalah cahaya. Segala cahaya adalah tindakan. Mungkin menurutmu tindakan hanyalah hitam dan putih. Dan mungkin itulah yang menginspirasimu membuat ”Lukisan Malam” untukku, dengan warna hitam dan putih. Tetapi bagiku segala tindakan adalah segala cahaya. Setiap tindakan mempunyai cahaya sendiri. Bukan hanya hitam dan putih yang kamu jelaskan dalam lukisan itu. Mungkin orang bisa membenarkan omong kosongmu tentang ”Lukisan malam”. Kau bilang segala kehidupan adalah hitam dan putih. Ketika orang bebuat baik adalah putih dan berbuat jahat adalah hitam. Sesederhana itukah kehidupan dimatamu?
Aku sangat, sangat tidak sependapat denganmu, Mul. Setiap tindakan tak bisa diukur dengan menggunakan pandangan pribadi. Lagian pandangan akan terus berbeda. Apakah yang menurutmu baik akan terlihat baik juga di tempatku? Apakah yang kau rasakan juga harus kurasakan. Tidak. Sekali lagi tidak, Mul.
Ismul yang malang, Ismul yang bodoh,
Kenapa kau harus menciptakan ”Lukisan Malam” untukku? Aku bukanlah seorang penikmat lukisan, Mul. Kenapa kau harus memaksakan mengirim lukisan itu kepadaku. Aku tidak melihat keindahan dalam lukisan malammu. Karena aku bukanlah seorang pengkhayal sepertimu, yang bisa berimajinasi keindahan dalam keburukan. Aku bukan pengkhayal sepertimu, Mul. Yang bisanya mengkhayal bahwa kehidupan adalah hitam dan putih. Sementara kenyataannya, kehidupan adalah corak warna yang tak terbilang. Kehidupan berjuta keindahan warna dari berjuta pandangan. Setiap pandangan mempunyai warna tersendiri. Dan pandangan warnaku tidak akan bisa menyerupai pandangan warnamu, yang hanya ada hitam dan putih. Sama seperti aku yang tidak bisa menyerupai perasaanmu. Aku tidak mencintaimu, Mul. Sekali lagi tidak mencintaimu. Dulu, sekarang, nanti dan selamnya.
Ismul yang bodoh, Ismul yang tak tau diri,
Ketika surat ini berada di tanganmu. ”Lukisan Malam” sudah kumasukkan dalam sebuah tong sampah. Dan diangkut dengan truk sampah pada besok pagi. Lukisan itu akan dibakar oleh pengelola sampah atau ditimbun dalam tanah. Bahkan bisa saja lukisan malam itu dibuat menjadi bubur kertas dan dijadikan kerajinan tangan. Tetapi aku yakin, Mul. Kerajinan tangan itu tidak akan menarik, apabila terbuat dari bahan lukisan malammu yang memuakkan. Harusnya kau memikirkan dulu, sebelum membuat ”Mukisan Malam” itu untukku. Apakah aku akan menerimanya atau tidak? Oh, iya, aku lupa kalau kamu adalah seorang pengkhayal. Dan kamu pasti mengkhayal aku menerima lukisan malammu dengan terkesimak. Memuji lukisan malammu yang terlihat lebih buruk dari hasil anak TK menggambar. Menyanjung-nyanjungmu, memikirkanmu, kemudian mulai mencintaimu. Ah, sungguh kau pengkhayal kelas wahid, Mul. Seandainya ada festival mengkhayal, mungkin kau akan menjadi pengkhayal terbaik, Mul. Tapi apakah itu tidak menyakitimu, Mul. Mengakhayal terus menerus. Mengaharap cintaku yang tak mungkin kuberikan kepada pengkhayal dan penggombal sepertimu. Sadarlah, Mul.
Ismul yang malang, goblok, bodong dan dungu.
Harusnya kau berhenti membunuh dirimu secara diam-diam. Menggambarkan malam dengan demikian temaram. Tahukah kau apa yang terjadi setelah lukisan malam yang kau kirimkan itu? Kau mungkin menduga aku langsung menerima dan membacanya. Kau salah besar, Mul. Orang yang pertama membaca adalah Mas Bram ku tersayang. Dia menyalahkanku, Mul. Dia menyalahku karena membuatmu begitu mencintaiku. Kami sempat berdebat keras. Aku tak mau disalahkan. Jelas-jelas ini bukan salahku. Jelas-jelas ini kebodohanmu. Sudah tau aku tidak mencintaimu, tetap saja kau kirim ”Lukisan Malam” untukku. Untunglah Mas Bram bisa sabar denganku yang keras kepala. Oh, ya Mas Bram itu orangnya supel, Mul. Mas Bram itu orangnya santai dan bersahaja. Bukan sepertimu yang banyak omong dan bisanya hanya menyusun kata. Iya, kamu bisanya hanya menyusun kata. Tanpa perduli makna kata yang kau susun itu. Tanpa peduli betapa kata-katamu bisa membuat hati orang membiru memendam rasa. Harusnya kata-katamu hanya untuk satu hati. Bukan ditebar di atas langit bersama hujan. Kemudian membiarkannya membasahi seluruh permukaan bumi. Menumbuhkan tiap benih-benih cinta di sudu-sudut kehidupan bumi. Harusnya kau pake otak, Mul.
Ismul yang malang, dan akan selalu malang,
Demikian surat ini kubuat. Dengan tinta yang hangat dan memburat. Kuharap kau bisa menangkap dari apa yang tersurat. Tentang perasaan yang tak bisa dipaksa dan dijerat. Tentang hatiku yang sudah kepada orang lain tertambat. Tentang cinta dan keinginanmu yang sudah terlambat. Dan tak lupa bersama surat ini ku selipkan undangan berwana coklat. Undangan pernikahanku yang sakral dan bermartabat. Sekali lagi kuharap kau sadar dan taubat.
Astambul, 19 Oktober 2011.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 20 November 2011
https://www.facebook.com/notes/khairi-muhdarani/balasan-melia-lukisan-malam/10150517913363242
0 komentar: